Surau.co. Di zaman yang serba cepat ini, banyak orang mengira bahwa bersikap lembut dan santun adalah tanda kelemahan. Padahal, dalam pandangan Islam — terutama sebagaimana dijelaskan oleh Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam Risālatul Mu‘āwanah — kesopanan adalah kekuatan batin yang lahir dari kematangan iman.
Habib al-Haddad menulis,
“وَلَا تَكُنْ غَلِيظَ الْقَلْبِ، وَلَا جَافِيًا، فَإِنَّ ذَلِكَ يُنَفِّرُ النَّاسَ عَنْكَ.”
“Janganlah engkau keras hati atau kasar, karena itu akan membuat manusia menjauh darimu.”
Ungkapan ini menegaskan bahwa kelembutan bukan bentuk ketundukan, melainkan strategi ruhani untuk menenangkan hati sendiri dan hati orang lain. Di dunia yang gaduh dan penuh ego, adab menjadi tameng yang menjaga manusia tetap beriman dan berakal jernih.
Sopan Santun: Akar dari Iman dan Akhlak
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad memandang adab dan sopan santun sebagai fondasi akhlak seorang mukmin. Dalam Risālatul Mu‘āwanah, beliau menulis panjang tentang pentingnya berperilaku halus terhadap sesama, bahkan terhadap orang yang menyakitimu. Beliau berkata:
“عَامِلِ النَّاسَ بِالطِّيبَةِ وَاللِّينِ وَالْإِحْسَانِ إِلَيْهِمْ، وَلَا تُقَابِلْ أَحَدًا بِسُوءٍ.”
“Perlakukanlah manusia dengan kebaikan, kelembutan, dan ihsan, serta jangan membalas keburukan dengan keburukan.”
Dalam pandangan al-Haddad, sopan santun bukan hanya etika sosial, tetapi latihan spiritual. Orang yang mampu bersikap sopan berarti sudah menaklukkan hawa nafsu dan emosi. Sebab, marah dan kasar adalah cermin jiwa yang belum terlatih.
Sikap santun juga sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
(“Maka berkat rahmat dari Allah engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekitarmu.”)
— QS. Āli ‘Imrān [3]: 159
Ayat ini menegaskan bahwa kelembutan adalah jalan dakwah yang lebih efektif daripada kemarahan. Rasulullah ﷺ pun dikenal bukan karena kekuatan fisik, tetapi karena kekuatan adab dan kasih sayangnya.
Kelembutan Sebagai Kekuatan, Bukan Kelemahan
Banyak orang mengira bahwa orang yang santun akan mudah dimanfaatkan atau dianggap lemah. Tapi Habib al-Haddad melihat sebaliknya. Dalam kesopanan ada kekuatan moral dan wibawa batin. Orang yang mampu menahan diri dari kata-kata kasar dan tindakan tergesa-gesa adalah orang yang benar-benar berkuasa atas dirinya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya saat marah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjadi fondasi moral bagi siapa pun yang berusaha hidup dengan adab. Orang sopan bukanlah orang yang lemah; ia hanya memilih jalan yang lebih sunyi, lebih dalam, dan lebih beradab.
Habib al-Haddad menyebut orang semacam ini sebagai ahlus-sukūn, yaitu mereka yang tenang batinnya dan tidak mudah terpancing. Beliau berkata:
“إِنَّ الْمُؤْمِنَ الصَّادِقَ لَا يَرْفَعُ صَوْتَهُ عَلَى النَّاسِ، وَلَا يُجَادِلُ لِلنَّصْرِ، بَلْ لِلْحَقِّ.”
“Seorang mukmin sejati tidak meninggikan suara di hadapan manusia, dan jika ia berdialog, tujuannya bukan untuk menang, melainkan untuk menegakkan kebenaran.”
Maka, orang santun bukan kalah — ia hanya menang dengan cara yang lebih elegan.
Adab dalam Hubungan Sosial: Cermin Kedalaman Jiwa
Sopan santun bukan sekadar basa-basi. Ia adalah cerminan hubungan seseorang dengan Tuhannya. Orang yang menjaga lidah dan sikapnya kepada manusia sejatinya sedang menjaga kedekatannya dengan Allah.
Dalam Risālatul Mu‘āwanah, Habib al-Haddad mengingatkan agar setiap Muslim berhati-hati dalam pergaulan:
“إِحْذَرْ أَنْ تَسْتَخِفَّ بِأَحَدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ، فَقَدْ يَكُونُ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرًا مِنْكَ.”
“Waspadalah jangan sampai engkau meremehkan seorang pun dari hamba Allah, karena bisa jadi ia lebih mulia di sisi Allah daripada dirimu.”
Kalimat itu sederhana tapi tajam. Di balik sopan santun ada kesadaran bahwa setiap manusia adalah ciptaan Allah. Maka menghormati manusia, sekecil apa pun perannya, sama dengan menghormati Penciptanya.
Sikap ini juga ditegaskan oleh Rasulullah ﷺ:
مَنْ لَا يَرْحَمِ النَّاسَ لَا يَرْحَمْهُ اللَّهُ
“Siapa yang tidak menyayangi manusia, Allah pun tidak akan menyayanginya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan kata lain, kesopanan adalah manifestasi kasih sayang Ilahi dalam diri manusia.
Adab Sebagai Ciri Kedewasaan Spiritual
Habib al-Haddad menegaskan bahwa perjalanan spiritual tidak hanya tentang ibadah formal, tetapi juga tentang membentuk kepribadian yang halus. Orang yang matang secara ruhani ditandai oleh kesabaran, ketenangan, dan kelembutan hati.
Belau berkata:
“مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ نُورُ الْأَدَبِ، أَنْتَجَ لَهُ ذَلِكَ سُكُونًا فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ.”
“Barang siapa yang di hatinya ada cahaya adab, maka ia akan tenang dalam ucapan dan perbuatannya.”
Ketenangan inilah yang membuat seseorang tidak mudah marah atau reaktif. Ia menyadari bahwa setiap situasi adalah ujian dari Allah, dan reaksi yang sopan adalah bentuk dzikir yang diam. Dalam kesantunan, seorang mukmin belajar untuk tidak bereaksi berlebihan, tetapi merespons dengan kesadaran.
Adab menjadi tanda seseorang telah naik tingkat dari sekadar menjalankan syariat menuju hidup dengan hikmah. Sebab, adab adalah wajah batin dari iman.
Melawan Arus Dunia dengan Adab
Di tengah budaya digital yang penuh debat, hujatan, dan adu komentar, menjaga sopan santun terasa seperti perjuangan. Tapi justru di situlah nilai adab menjadi terang. Orang yang tetap santun di dunia yang bising sedang menegakkan peradaban hati.
Habib al-Haddad memberi nasihat yang terasa sangat relevan untuk era media sosial:
“إِذَا كَلَّمْتَ أَحَدًا، فَانْظُرْ فِي قَلْبِكَ، فَإِنْ وَجَدْتَ فِيهِ غَضَبًا، فَاسْكُتْ حَتَّى يَذْهَبَ.”
“Jika engkau berbicara kepada seseorang dan hatimu sedang marah, diamlah hingga amarah itu hilang.”
Diam, dalam hal ini, bukan berarti tidak berani bicara. Diam adalah adab batin yang menahan lidah dari menyakiti. Sopan santun adalah bentuk keberanian yang paling sulit: berani menahan diri ketika bisa membalas, dan berani memaafkan ketika mampu menghukum.
Penutup
Sopan santun tidak kuno, tidak lemah, dan tidak usang. Ia justru menjadi kunci untuk bertahan di dunia yang semakin keras. Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad mengajarkan bahwa adab adalah cermin keimanan, sedangkan kesantunan adalah jalan menuju kebijaksanaan.
Mari kita renungkan pesan halus beliau:
“إِذَا أَصْلَحْتَ أَدَبَكَ مَعَ اللَّهِ وَالنَّاسِ، أَصْلَحَ اللَّهُ حَالَكَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ.”
“Jika engkau memperbaiki adabmu kepada Allah dan manusia, Allah akan memperbaiki keadaanmu di dunia dan akhirat.”
Sopan santun bukan bentuk kepasrahan. Ia adalah pilihan sadar untuk tetap beriman di tengah dunia yang gaduh. Orang santun bukan kalah, tetapi sedang menenun kedamaian yang abadi — di hatinya, di rumahnya, dan di masyarakatnya.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
