Khazanah
Beranda » Berita » Ulama dan Murid: Relasi Ruhani dalam Tradisi Pesantren

Ulama dan Murid: Relasi Ruhani dalam Tradisi Pesantren

kiai duduk bersama santri di serambi pesantren, simbol relasi ruhani ulama dan murid.
Seorang kiai mengajar santrinya dengan kelembutan dan ketenangan di serambi masjid; simbol hubungan ruhani ulama dan murid.

Surau.co

Dalam lintasan sejarah Islam, hubungan antara ulama dan murid tidak sekadar antara pengajar dan pelajar. Ia merupakan tali ruhani — jembatan yang menautkan ilmu, akhlak, dan keberkahan. Menurut Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani, sebagaimana dijelaskan dalam Kasyīfatu al-Sajā fī Syarḥ Ṣafīnatin-Najā, relasi itu menjadi fondasi sejati pendidikan Islam.

Beliau menegaskan bahwa ilmu tanpa adab kehilangan cahaya, sedangkan murid tanpa penghormatan kepada gurunya ibarat tanaman tercerabut dari akar. Dalam tradisi pesantren Nusantara, pandangan ini hidup dalam setiap sujud santri, dalam setiap ta‘zhim kepada kiai, serta dalam keikhlasan para ulama yang mengajar tanpa pamrih.


Ilmu yang Berkah Lahir dari Hati yang Tunduk

Syaikh Nawawi selalu menekankan pentingnya adab sebelum ilmu. Dalam Kasyīfatu al-Sajā, beliau menulis:

«العِلْمُ نُورٌ، وَنُورُ اللهِ لا يُعْطَى لِعَاصٍ»
“Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.”

Ungkapan itu menunjukkan bahwa keberkahan ilmu tidak hanya bergantung pada kecerdasan, tetapi juga pada kebersihan hati serta ketulusan belajar. Oleh karena itu, hubungan guru dan murid tidak berhenti pada penjelasan rasional semata. Cahaya ilmu justru mengalir melalui keikhlasan guru dan ketundukan murid.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Fenomena tersebut masih tampak di pesantren masa kini. Santri rela menempuh perjalanan jauh untuk mencium tangan kiainya — bukan demi formalitas, melainkan tanda penerimaan cahaya ilmu. Menurut Syaikh Nawawi, adab kepada guru adalah wujud tauhid yang hidup; menghormati ilmu berarti memuliakan pancaran nur Ilahi.


Ulama Sebagai Warasatul Anbiya (Pewaris Nabi)

Syaikh Nawawi melihat ulama bukan hanya sebagai pengajar, tetapi sebagai pewaris risalah kenabian. Beliau menulis:

«العلماءُ ورثةُ الأنبياءِ، لأنهم يُبلِّغون عن اللهِ ورسولِه»
“Para ulama adalah pewaris para nabi, karena mereka menyampaikan ajaran Allah dan Rasul-Nya.”

Pandangan itu selaras dengan firman Allah SWT:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (QS. Fāṭir [35]: 28)

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Bagi Syaikh Nawawi, ulama sejati tidak sekadar menyampaikan ilmu, tetapi juga menuntun hati umat. Mereka mengajarkan dengan perbuatan, bukan hanya dengan kata-kata. Keteladanan, kesabaran, dan kesederhanaan mereka menjadi wujud nyata dari ilmu yang hidup.

Dalam pesantren, hal ini tampak jelas dalam keseharian kiai. Ketika santri melihat gurunya diam, sabar, dan rendah hati, mereka belajar bahwa ilmu bukan hanya untuk diketahui, tetapi untuk dihayati.


Murid sebagai Amanah Ilmu dan Akhlak

Syaikh Nawawi juga menekankan tanggung jawab ruhani bagi setiap murid. Beliau menulis:

«مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَلَمْ يَعْمَلْ بِهِ، كَانَ كَالْمِصْبَاحِ يُضِيءُ لِلنَّاسِ وَيَحْتَرِقُ نَفْسُهُ»
“Barang siapa menuntut ilmu namun tidak mengamalkannya, maka ia seperti pelita yang menerangi orang lain namun membakar dirinya sendiri.”

Nasihat itu menegaskan bahwa penuntut ilmu harus mempraktikkan apa yang dipelajari. Seorang murid sejati tidak mencari pengakuan, melainkan berjuang memperbaiki diri.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Kini, ketika akses ilmu begitu mudah, tantangannya justru pada adab. Banyak orang merasa tahu segalanya dari layar gawai, tetapi kehilangan rasa hormat kepada guru. Pesan Syaikh Nawawi terasa semakin relevan: ilmu sejati tidak diunduh dari layar, melainkan diserap oleh hati yang rendah.


Kiai dan Santri: Ikatan Ruhani yang Tak Terputus

Tradisi pesantren di Nusantara merupakan cermin nyata ajaran Nawawi al-Bantani. Kiai bukan sekadar pengajar, melainkan mursyid — pembimbing ruhani yang menuntun hati santri dengan akhlak dan ketulusan.

Beliau pernah berkata:

«من علَّمَك حرفاً فهو أباك في الدين»
“Barang siapa mengajarkanmu satu huruf, maka ia adalah bapakmu dalam agama.”

Ungkapan itu menjadi dasar etika santri: menghormati guru bukan karena status, tetapi karena ilmu yang ditransmisikan membawa berkah. Guru menjadi penyambung sanad, penghubung ruhani antara santri dan Rasulullah ﷺ.

Kehidupan pesantren memperlihatkan hal tersebut dengan indah. Santri membersihkan masjid, menyiapkan air wudhu untuk kiai, dan menunggu giliran sowan dengan sabar. Semua tindakan sederhana itu mencerminkan cinta dan penghormatan, bukan fanatisme. Dari sanalah tumbuh keberkahan ilmu yang hidup di hati mereka.


Menghidupkan Adab di Tengah Modernitas

Di era digital, ilmu memang mudah diakses, tetapi adab justru semakin menipis. Meski demikian, pesan Syaikh Nawawi tetap relevan. Beliau menulis:

«الأدبُ قبل العلمِ، لأنَّ الأدبَ طريقٌ إلى الفهمِ»
“Adab harus didahulukan sebelum ilmu, karena adab adalah jalan menuju pemahaman.”

Dalam dunia pendidikan modern, fenomena ini tampak nyata. Ketika guru kehilangan wibawa dan murid kehilangan rasa hormat, ruh pendidikan pun meredup. Padahal, hakikat ilmu tidak diukur dari nilai ujian, melainkan dari kematangan akhlak.

Pesantren mengajarkan keseimbangan yang lembut: teknologi boleh berkembang, tetapi hati tetap harus tunduk. Guru tetap dimuliakan bukan karena usianya, melainkan karena darinyalah cahaya ilmu mengalir.


Penutup: Cinta, Adab, dan Keberkahan

Relasi antara ulama dan murid dalam pandangan Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani bukan sekadar akademik, melainkan ikatan cinta yang tumbuh dari keikhlasan. Cinta murid kepada guru merupakan bagian dari cintanya kepada ilmu, sedangkan cinta guru kepada murid adalah pantulan kasihnya kepada Allah.

Allah SWT berfirman:

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Ṭāhā [20]: 114)

Doa itu bukan sekadar permohonan agar ilmu bertambah, tetapi juga agar adab dan cahaya dalam hati semakin kuat. Dalam tradisi pesantren, ilmu tidak berhenti pada akal; ia menyentuh jiwa. Di situlah letak rahasia pendidikan Islam — ilmu yang bercahaya karena dilahirkan dari cinta dan disampaikan dengan adab.

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement