Surau.co. Zuhud dan kesederhanaan dalam Syarah Safinatun Najah – Dalam dunia modern yang serba cepat dan konsumtif, kata zuhud sering kali terdengar asing. Sebagian orang mengira zuhud berarti meninggalkan dunia sepenuhnya — hidup miskin, menjauh dari kemewahan, atau menolak teknologi. Padahal, dalam pandangan Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani, zuhud bukan tentang meninggalkan dunia, melainkan tidak menjadikan dunia sebagai tujuan hidup.
Melalui karya beliau yang mendalam, Kasyīfatu al-Sajā fī Syarḥ Ṣafīnatin-Najā, Syaikh Nawawi menanamkan nilai-nilai tasawuf praktis yang membumi: hidup sederhana, hati yang bersih, dan cinta kepada Allah tanpa berpaling dari tanggung jawab dunia.
Makna Zuhud yang Sebenarnya
Syaikh Nawawi menjelaskan makna zuhud secara lembut namun tegas:
«الزُّهْدُ تَرْكُ مَا لاَ يَنْفَعُ فِي الآخِرَةِ»
“Zuhud adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi akhirat.”
Definisi ini menunjukkan bahwa zuhud bukan berarti menolak harta atau rezeki, tetapi mengatur hati agar tidak diperbudak oleh keduanya. Dunia tetap boleh dimiliki, asalkan tidak menguasai hati.
Kita bisa melihat contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari. Seorang pedagang yang jujur, meski bisa menipu untuk untung besar, namun memilih kejujuran — ia zuhud.
Seorang pejabat yang tidak tergoda korupsi, padahal peluang terbuka lebar — ia zuhud. Zuhud bukan pada pakaian lusuh, melainkan pada hati yang tidak silau oleh dunia.
Syaikh Nawawi menulis lebih jauh:
«وَلَيْسَ الزُّهْدُ فِي تَرْكِ الدُّنْيَا، بَلْ فِي عَدَمِ حُبِّهَا»
“Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi tidak mencintainya secara berlebihan.”
Kesederhanaan Sebagai Cermin Kedekatan
Kesederhanaan adalah wujud zahir dari hati yang zuhud. Ia bukan bentuk kemiskinan, tapi pilihan sadar untuk hidup secukupnya.
Syaikh Nawawi mengajarkan bahwa orang yang benar-benar mengenal Allah tidak butuh kemewahan untuk merasa cukup, sebab kecukupan sejati datang dari hati.
Beliau menulis:
«القناعةُ كنزٌ لا يفنى»
“Qana‘ah (merasa cukup) adalah harta yang tidak akan pernah habis.”
Dalam dunia hari ini, di mana media sosial menampilkan gaya hidup glamor, ajaran ini menjadi sangat relevan. Banyak orang hidup dalam kecemasan karena membandingkan diri dengan orang lain. Padahal, ketenangan tidak datang dari apa yang kita punya, tapi dari bagaimana kita memandangnya.
Kesederhanaan, dalam pandangan Nawawi al-Bantani, bukan berarti membatasi kenikmatan, tapi menikmatinya dengan rasa syukur dan tidak berlebih-lebihan.
Orang yang sederhana tahu kapan berhenti, tahu apa yang cukup, dan tahu bahwa kebahagiaan bukan pada banyaknya barang, tapi pada lapangnya hati.
Zuhud sebagai Jalan Menuju Cinta Ilahi
Zuhud, menurut Syaikh Nawawi, bukan tujuan akhir, tetapi jalan menuju mahabbah (cinta kepada Allah).
Beliau menulis:
«مَنْ زَهِدَ فِي الدُّنْيَا أَحَبَّهُ اللَّهُ»
“Barang siapa zuhud terhadap dunia, Allah akan mencintainya.”
Ayat Al-Qur’an yang sejalan dengan pesan ini terdapat dalam firman Allah SWT:
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Dan kehidupan dunia itu hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 185)
Zuhud melatih hati agar tidak tertipu oleh gemerlap dunia. Cinta kepada Allah hanya tumbuh ketika hati bersih dari kecintaan berlebihan terhadap makhluk. Bukan berarti membenci dunia, melainkan menempatkannya di tangan, bukan di hati.
Seseorang yang zuhud bisa tetap kaya, tetap bekerja keras, bahkan tetap menikmati dunia. Tetapi ia melakukannya dengan kesadaran bahwa semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Fenomena Sehari-hari: Ketenangan yang Hilang
Di tengah kesibukan hidup, banyak orang merasa kehilangan ketenangan. Padahal, kesibukan bukan masalahnya — yang hilang adalah makna. Syaikh Nawawi memberi isyarat: ketika seseorang tidak lagi memiliki ruang hening dalam jiwanya, dunia akan terasa menyesakkan.
Zuhud dan kesederhanaan adalah obat dari kegelisahan modern. Ketika seseorang berhenti mengejar pengakuan dan mulai menghargai ketenangan, maka hidupnya akan menemukan kembali keseimbangan.
Inilah tasawuf yang hidup — bukan yang menjauh dari dunia, tetapi yang menyucikan hati di dalam dunia.
Zuhud dan Akhlak Sosial
Zuhud tidak hanya berdampak pada hubungan dengan Allah, tetapi juga pada hubungan dengan manusia. Orang yang zuhud cenderung dermawan, sebab ia tidak terikat oleh harta. Ia rendah hati, sebab tidak haus akan penghormatan.
Syaikh Nawawi menulis:
«الزاهدُ الحقيقيُّ مَن لا يَفْرَحُ بِمَا أَتَى وَلا يَحْزَنُ عَلَى مَا فَاتَ»
“Orang zuhud sejati adalah yang tidak gembira karena dunia datang, dan tidak bersedih ketika dunia pergi.”
Orang seperti ini menjadi sumber ketenangan bagi lingkungannya. Ia bisa berbagi tanpa pamrih, memaafkan tanpa dendam, dan tetap tenang di tengah kehilangan.
Inilah wujud akhlak tasawuf yang diajarkan oleh Syaikh Nawawi — zuhud bukan pelarian, tapi kekuatan batin yang membebaskan manusia dari cengkeraman dunia.
Kesimpulan: Hidup Sederhana, Hati Kaya
Zuhud dan kesederhanaan, sebagaimana diajarkan Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani dalam Kasyīfatu al-Sajā, adalah inti dari kebahagiaan spiritual.
Zuhud menjaga hati agar tidak tamak, kesederhanaan menjaga jiwa agar tenang.
Keduanya membuat manusia hidup di dunia dengan bijak — tidak diperbudak harta, tidak diperdaya waktu.
Rasulullah ﷺ bersabda:
«ازهد في الدنيا يحبك الله، وازهد فيما عند الناس يحبك الناس»
“Zuhudlah terhadap dunia, maka Allah akan mencintaimu; dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, maka manusia akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah)
Zuhud bukan tentang kehilangan, tapi tentang kebebasan hati. Dan kesederhanaan bukan berarti kekurangan, melainkan kecukupan yang disertai syukur.
Dalam dunia yang terus berubah, pesan Syaikh Nawawi tetap abadi:
“Orang zuhud tidak kehilangan dunia, tapi menemukan Allah di dalamnya.”
* Reza AS
Pengasuh ruang kontempaltif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
