Surau.co. Di tengah dunia yang bergerak cepat, manusia sering kali terjebak pada satu sisi kehidupan: sebagian sibuk mencari ilmu tanpa mengamalkannya, sebagian lain beramal tanpa landasan pengetahuan. Dalam pandangan Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani, dua hal ini — ilmu dan amal — bagaikan dua sayap yang menuntun manusia menuju keselamatan.
Melalui karya monumentalnya, Kasyīfatu al-Sajā fī Syarḥ Ṣafīnatin-Najā, beliau menegaskan bahwa ilmu dan amal tidak boleh dipisahkan. Ilmu memberi arah, sementara amal memberi makna. Tanpa keduanya, hidup manusia kehilangan keseimbangan spiritual.
Ketika Ilmu Menjadi Cahaya dan Amal Menjadi Gerak
Syaikh Nawawi al-Bantani memulai pembahasan dengan kalimat yang menggugah:
«العلمُ بلا عملٍ كالشجرِ بلا ثمرٍ، والعملُ بلا علمٍ كالسيرِ بلا طريقٍ»
“Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah, dan amal tanpa ilmu bagaikan berjalan tanpa arah.”
Ungkapan ini tidak hanya menunjukkan keindahan bahasa, tapi juga kedalaman makna. Ilmu adalah cahaya yang menuntun langkah, sementara amal adalah gerak yang menjadikan cahaya itu nyata dalam kehidupan.
Dalam konteks sehari-hari, kita sering melihat orang yang pandai berbicara tentang kebaikan namun lalai melakukannya. Di sisi lain, ada yang rajin berbuat tanpa pemahaman mendalam, hingga amalnya kehilangan arah.
Syaikh Nawawi mengingatkan bahwa keduanya harus berjalan bersama — seperti dua mata yang memandang dalam satu arah.
Ilmu sebagai Petunjuk Jalan
Dalam Kasyīfatu al-Sajā, Syaikh Nawawi menjelaskan hakikat ilmu sebagai jalan menuju pengenalan Allah:
«العلمُ ما يُقرِّبُ العبدَ إلى الله تعالى»
“Ilmu adalah yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah Ta‘ala.”
Dengan ilmu, seseorang mengenal mana yang benar dan salah, mana yang halal dan haram, serta mana yang membawa berkah atau murka. Ilmu bukan sekadar hafalan, tetapi penerangan dalam kegelapan hidup.
Namun, beliau juga memperingatkan:
«ليس العلمُ بكثرة الرواية، ولكن العلمَ نورٌ يقذفه الله في القلب»
“Ilmu bukanlah banyaknya hafalan, melainkan cahaya yang Allah tanamkan di dalam hati.”
Artinya, ilmu sejati tidak berhenti di kepala, melainkan mengakar di hati dan memancar dalam tindakan.
Seseorang bisa memiliki gelar tinggi, tetapi tanpa adab dan keikhlasan, ilmunya hanya seperti lentera tanpa minyak — terang sebentar, lalu padam.
Amal sebagai Bukti Keimanan
Bagi Syaikh Nawawi, amal bukan sekadar rutinitas, tapi bukti cinta kepada Allah.
Beliau menulis:
«العملُ الصالحُ ثمرةُ الإيمانِ، ولا إيمانَ بلا عملٍ»
“Amal saleh adalah buah dari iman, dan tiada iman tanpa amal.”
Amal menjadi manifestasi dari ilmu yang hidup. Ketika seseorang mengetahui pentingnya shalat tetapi enggan melaksanakannya, maka ilmunya belum berbuah.
Sebaliknya, orang yang beramal tanpa ilmu bagaikan menanam tanpa tahu musim — hasilnya mungkin tumbuh, tapi tak bertahan lama.
Dalam kehidupan modern, kita bisa menafsirkan ajaran ini dengan sederhana: seorang dokter yang berilmu akan berhati-hati dalam memberikan obat, karena tahu risikonya; demikian pula, seorang beriman akan berhati-hati dalam amalnya karena tahu akibatnya di hadapan Allah.
Ilmu membentuk niat, amal menyempurnakan hasil. Keduanya adalah dua dimensi yang membuat hidup manusia utuh dan selamat.
Keselarasan Antara Akal dan Hati
Syaikh Nawawi memiliki pandangan yang sangat indah tentang keseimbangan ini. Beliau menulis:
«من جمع بين العلم والعملِ، فقد جمعَ بين العقلِ والدينِ»
“Barang siapa memadukan ilmu dan amal, sungguh ia telah memadukan akal dan agama.”
Kalimat ini mengandung hikmah besar. Akal tanpa agama bisa menyesatkan; agama tanpa akal bisa menimbulkan fanatisme buta. Maka, ilmu berfungsi mengasah logika, sedangkan amal menumbuhkan rasa dan moralitas.
Kita hidup di zaman di mana kecerdasan sering kali tidak diimbangi dengan kebijaksanaan. Banyak orang tahu caranya hidup, tapi tidak tahu untuk apa hidup.
Melalui ilmunya, Syaikh Nawawi mengajak umat Islam untuk menyatukan pengetahuan dan penghayatan.
Belajar tidak cukup hanya membaca, tapi juga menghidupkan nilai yang dibaca.
Sebab, ilmu yang tidak menggerakkan amal hanyalah teori yang membeku di atas kertas.
Fenomena Sehari-Hari: Ketika Ilmu Tidak Lagi Menenangkan
Hari ini, kita menyaksikan fenomena menarik: semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin sering pula ia merasa gelisah.
Mengapa? Karena ilmu sering dicari untuk kekuasaan, bukan untuk pencerahan.
Orang berlomba mengejar gelar, tetapi lupa bahwa tujuan ilmu sejati adalah mendekatkan diri kepada Allah dan menenangkan hati.
Syaikh Nawawi berkata:
«العلمُ إن لم يُثمرِ العملَ فهو حجةٌ على صاحبه»
“Ilmu yang tidak menghasilkan amal, akan menjadi hujjah (beban) atas pemiliknya.”
Betapa menakutkannya kalimat ini. Ilmu yang tidak diamalkan justru menjadi saksi di akhirat — bukan penyelamat, tetapi penuntut. Maka, seseorang tidak akan benar-benar berilmu sampai ilmunya mengajarkan rendah hati dan tanggung jawab.
Penutup: Dua Sayap yang Harus Selalu Bergerak
Ilmu dan amal adalah dua sayap yang membuat manusia bisa terbang menuju ridha Allah. Tanpa ilmu, amal kehilangan arah; tanpa amal, ilmu kehilangan ruh.
Allah SWT berfirman:
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
“Kepada-Nya naik perkataan yang baik, dan amal saleh yang mengangkatnya.” (QS. Fāṭir [35]: 10)
Ayat ini menjelaskan bahwa ilmu (kalimah thayyibah) akan diterima jika disertai amal saleh yang mengangkatnya ke hadapan Allah.
Syaikh Nawawi al-Bantani menutup banyak penjelasannya dengan seruan agar manusia tidak puas dengan pengetahuan semata, tetapi berjuang untuk menjadikannya penerang dalam amal dan akhlak.
Maka, jadilah orang berilmu yang beramal, bukan yang hanya berkata.
Sebab, sebagaimana dikatakan beliau:
«العلمُ والعملُ توأمان، من فرّق بينهما ضلّ»
“Ilmu dan amal adalah dua saudara kembar, siapa yang memisahkan keduanya akan tersesat.”
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo’ Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
