Surau.co. Dalam dunia fikih, hukum sering kali dipahami secara kaku: boleh atau tidak boleh, halal atau haram, sah atau batal. Namun, dalam pandangan Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani, fiqih tidak berhenti di batas hukum semata. Ia adalah jalan menuju hikmah, jembatan antara teks dan jiwa manusia.
Melalui karya besarnya Kasyīfatu al-Sajā fī Syarḥ Ṣafīnatin-Najā, beliau mengajarkan bahwa hukum syariat bukanlah beban, melainkan cermin kasih sayang Allah yang menuntun manusia pada keseimbangan hidup.
Syaikh Nawawi bukan hanya seorang ahli hukum, tapi juga pembimbing ruhani yang menyalakan hati agar tidak kering di balik teks.
Ketika Fiqih Menyentuh Kehidupan
Bagi sebagian orang, fiqih hanya tampak seperti aturan — batas yang membatasi kebebasan. Padahal, hakikatnya justru sebaliknya. Fiqih menjaga agar kebebasan manusia tetap selaras dengan fitrah dan rahmat Allah.
Syaikh Nawawi menulis:
«الشريعةُ مبناها على المصالحِ ودرءِ المفاسدِ»
“Syariat itu dibangun di atas kemaslahatan dan pencegahan kerusakan.”
Kutipan ini menjadi dasar pandangan beliau: setiap hukum memiliki jiwa, dan setiap larangan menyimpan kasih sayang. Ketika Islam melarang riba, ia bukan sekadar memotong keuntungan, tetapi menyelamatkan manusia dari ketamakan.
Ketika Islam memerintahkan shalat, itu bukan beban waktu, tetapi jeda dari kegelisahan dunia.
Dalam konteks sehari-hari, kita bisa melihatnya pada hal sederhana: seorang pedagang yang menahan diri untuk tidak menipu, atau seorang pegawai yang memilih jujur walau rugi. Itu bukan sekadar kepatuhan hukum, tetapi buah dari hikmah syariat yang hidup dalam hati.
Hukum sebagai Jalan, Hikmah sebagai Tujuan
Syaikh Nawawi menjelaskan bahwa antara hukum dan hikmah terdapat hubungan yang erat — seperti tubuh dan jiwa, atau kulit dan isi. Ia menulis:
«العباداتُ ظواهرُها حركاتٌ، وبواطنُها نياتٌ وإخلاصٌ»
“Ibadah secara lahiriah tampak sebagai gerakan, namun batinnya adalah niat dan keikhlasan.”
Kalimat ini menggugah kita untuk tidak berhenti di kulit hukum.
Shalat bukan hanya berdiri dan rukuk, tapi juga latihan menyatukan niat dengan hati.
Puasa bukan hanya menahan lapar, tapi menundukkan hawa nafsu dan melatih empati.
Syaikh Nawawi mengajarkan bahwa hukum adalah pintu menuju hikmah, dan siapa pun yang hanya berhenti di depan pintu, belum masuk ke rumah makna.
Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقِ»
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Hadis ini seolah mengonfirmasi pesan Nawawi: tujuan akhir syariat adalah akhlak, bukan sekadar kepatuhan.
Fiqih yang Menghidupkan, Bukan Membebani
Dalam Kasyīfatu al-Sajā, Syaikh Nawawi menulis tentang keseimbangan antara teks dan konteks, antara aturan dan rasa:
«فَإِذَا فُهِمَ الْحُكْمُ بِغَيْرِ حِكْمَتِهِ ضَاعَ الْمَقْصُودُ»
“Apabila hukum dipahami tanpa hikmahnya, maka tujuan hukum itu akan hilang.”
Di sini, beliau memperingatkan kita agar tidak menjadikan fiqih sebagai alat untuk menghakimi, melainkan sebagai cermin untuk memperbaiki diri.
Dalam realitas modern, hukum agama kadang disalahgunakan untuk menjustifikasi kekerasan atau kesempitan berpikir. Padahal, Syaikh Nawawi mengajarkan bahwa fiqih harus menumbuhkan kasih, bukan kebencian; ketenangan, bukan ketakutan.
Misalnya, ketika seseorang belajar tentang hukum thaharah (bersuci), ia tidak hanya belajar tata cara mencuci tangan, tapi juga belajar membersihkan hati dari kesombongan.
Ketika memahami zakat, ia belajar bahwa memberi bukan kewajiban berat, melainkan cara membebaskan diri dari keterikatan harta. Hukum Islam yang dihidupi dengan hati akan menjadi taman, bukan pagar.
Menemukan Jiwa Syariat di Tengah Modernitas
Kita hidup di masa di mana banyak orang kehilangan keseimbangan antara agama dan kehidupan. Sebagian memegang hukum tapi kehilangan hikmah, sebagian lagi mencari hikmah tanpa menghormati hukum.
Syaikh Nawawi menempatkan keduanya dalam harmoni yang indah.
Beliau menulis:
«الشريعةُ طريقٌ إلى الحقيقةِ، فمَنْ وقفَ عند الطريقِ ضلَّ، ومَنْ تركَ الطريقَ لم يصلْ»
“Syariat adalah jalan menuju hakikat; siapa yang berhenti di jalan, ia tersesat; dan siapa yang meninggalkan jalan, ia takkan sampai.”
Ungkapan ini adalah kunci keseimbangan. Orang yang hanya memegang hukum tanpa rasa akan keras; yang hanya mencari rasa tanpa hukum akan liar. Hanya dengan memadukan keduanya, kita bisa menjadi hamba yang taat dan bijaksana sekaligus.
Fenomena ini tampak nyata di masyarakat hari ini: ada yang menuntut ketegasan hukum, tapi lupa kelembutan; ada pula yang menuntut kebebasan, tapi lupa batasan.
Fiqih Nawawi hadir untuk menjembatani keduanya — mengajarkan bahwa agama bukan medan konflik, tetapi ruang keseimbangan antara akal dan rasa, aturan dan cinta.
Penutup: Hukum yang Mengarahkan, Hikmah yang Menenangkan
Fiqih, dalam pandangan Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani, bukan sekadar kumpulan hukum, melainkan seni menjalani hidup dengan penuh kesadaran Ilahi.
Ia mengajarkan disiplin tanpa kehilangan kelembutan; mengatur tubuh tanpa mematikan hati.
Allah SWT berfirman:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Dia tidak menjadikan untuk kalian kesempitan dalam agama.” (QS. Al-Hajj [22]: 78)
Ayat ini menegaskan bahwa syariat hadir bukan untuk membebani, melainkan untuk menuntun.
Maka, memahami hukum dengan jiwa hikmah berarti melihat agama sebagaimana ia dikehendaki oleh Allah — penuh kasih, bijaksana, dan manusiawi.
Barang siapa berjalan dengan pandangan fiqih Nawawi, ia tidak hanya akan tahu mana yang halal dan haram, tetapi juga mengapa Allah menetapkannya.
Dan di sanalah letak keindahan Islam — agama yang bukan hanya mengatur hidup, tapi juga menghidupkan hati.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
