Surau.co. Setiap ibadah yang kita lakukan sejatinya bukan sekadar gerak tubuh, melainkan perjalanan batin menuju Allah. Dalam pandangan Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani — ulama besar Nusantara yang menulis kitab Kasyīfatu al-Sajā fī Syarḥ Ṣafīnatin-Najā — ibadah tanpa etika dan adab bagaikan jasad tanpa ruh. Ia berdiri, tapi tak hidup; bergerak, namun tak bermakna.
Kalimat ini menegaskan: etika dalam ibadah adalah napas yang menghidupkan amal saleh.
Tanpa keikhlasan, tanpa rasa hormat, tanpa penghayatan, ibadah hanyalah rutinitas yang kering. Maka, Syaikh Nawawi menuntun kita bukan hanya untuk melakukan ibadah, tapi untuk menghadirkan hati dalam setiap amal.
Ibadah Bukan Sekadar Gerakan, Tapi Kehadiran
Dalam Kasyīfatu al-Sajā, Syaikh Nawawi menulis:
«العِبَادَةُ بِلاَ نِيَّةٍ كَجَسَدٍ بِلاَ رُوحٍ»
“Ibadah tanpa niat bagaikan jasad tanpa ruh.”
Kutipan ini sederhana, tapi sarat makna. Banyak orang menunaikan shalat, puasa, dan zakat — namun tidak semuanya menghidupkan makna dari ibadah itu sendiri.
Syaikh Nawawi mengingatkan bahwa niat dan kesadaran menjadi pembeda antara ibadah dan kebiasaan.
Fenomena ini sangat nyata dalam kehidupan modern. Kita melihat banyak orang beribadah karena tuntutan sosial — bukan kesadaran spiritual. Ada yang shalat tapi tergesa-gesa, berzakat tapi ingin dilihat, atau berhaji demi status sosial.
Padahal, Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ»
“Sesungguhnya amal-amal itu bergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Makna hadits ini sejalan dengan penjelasan Syaikh Nawawi: ibadah yang sempurna lahir dari kesucian niat dan kesantunan adab.
Menata Adab: Dari Wudhu hingga Sujud
Syaikh Nawawi sangat menekankan adab lahir dan batin dalam setiap ibadah. Beliau menjelaskan:
«الطهارةُ نِصْفُ الإِيمَانِ، فَمَنْ لَا نَظَافَةَ لَهُ فَلَا كَمَالَ فِي دِينِهِ»
“Kesucian adalah separuh dari iman; siapa yang tidak menjaga kebersihan, maka agamanya tidak sempurna.”
Dalam kalimat itu, beliau tidak hanya berbicara tentang kebersihan fisik, tetapi juga kesucian hati.
Wudhu, misalnya, bukan hanya membasuh anggota tubuh, tetapi juga menghapus dosa kecil dan memurnikan batin sebelum menghadap Sang Khalik.
Ketika seseorang berwudhu dengan tergesa-gesa, tanpa kesadaran bahwa air itu membersihkan lahir dan batin, maka ia kehilangan ruh ibadahnya.
Begitu pula dalam shalat: menundukkan pandangan, meluruskan saf, menjaga khusyuk — semuanya bagian dari adab ibadah yang menunjukkan penghormatan kepada Allah.
Syaikh Nawawi menulis lagi:
«وَحُضُورُ الْقَلْبِ فِي الصَّلاَةِ مِنْ أَعْظَمِ الْآدَابِ»
“Kehadiran hati dalam shalat termasuk adab yang paling agung.”
Betapa banyak orang berdiri dalam shalat, tapi hatinya berjalan ke tempat lain.
Adab dalam ibadah mengajak kita untuk hadir sepenuhnya — bukan hanya tubuh, tapi juga jiwa.
Etika Ibadah dalam Kehidupan Sosial
Etika ibadah tidak berhenti di sajadah. Ia merembes ke seluruh sendi kehidupan: pekerjaan, pergaulan, hingga interaksi sosial.
Orang yang benar adabnya dalam ibadah, akan lembut tutur katanya di rumah, jujur dalam pekerjaan, dan rendah hati di hadapan orang lain. Sebab, ibadah sejati selalu menumbuhkan kasih sayang.
Syaikh Nawawi menulis dalam konteks ini:
«مَنْ لَا أَدَبَ لَهُ لَا إِيمَانَ لَهُ»
“Siapa yang tidak memiliki adab, maka tiada iman baginya.”
Kutipan ini tajam namun lembut. Iman bukan hanya keyakinan di hati, tetapi juga terlihat dari cara kita memperlakukan sesama.
Orang yang beribadah dengan benar tapi menyakiti orang lain, sejatinya belum memahami adab ibadah itu sendiri.
Allah SWT berfirman:
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabūt [29]: 45)
Ayat ini menegaskan bahwa ibadah yang benar pasti berdampak pada perilaku sosial.
Jika seseorang rajin shalat tapi masih menipu, berarti adab ibadahnya belum menyentuh batin.
Keikhlasan: Jiwa dari Amal Saleh
Dalam kitabnya, Syaikh Nawawi juga menulis tentang ikhlas sebagai puncak dari adab beribadah:
«الإخلاصُ سرٌّ بينَ العبدِ وربِّهِ، لا يطَّلعُ عليهِ مَلَكٌ فيكتبُه، ولا شيطانٌ فيفسدُه»
“Ikhlas adalah rahasia antara hamba dan Tuhannya; tidak diketahui oleh malaikat untuk ditulis, tidak pula oleh setan untuk dirusak.”
Kalimat ini indah dan dalam. Ikhlas adalah rahasia yang hanya Allah tahu. Ia tidak bisa dipamerkan, tidak bisa dipalsukan.
Ketika seseorang menyembunyikan amalnya dari pujian, ketika ia tetap berbuat baik meski tak ada yang melihat, itulah tanda ibadahnya telah beradab — karena ia sadar, amalnya tidak butuh saksi selain Allah.
Dalam fenomena sehari-hari, kita sering lupa bahwa etika beribadah bukan hanya tentang aturan teknis, tapi tentang menjaga hati agar tetap jujur kepada Tuhan.
Seseorang yang beribadah dengan ikhlas akan tenang, karena ia tidak sedang mencari pengakuan manusia — ia sedang berdialog dengan Allah.
Kesimpulan: Adab, Jembatan Antara Iman dan Amal
Etika dan adab dalam ibadah, menurut Syaikh Nawawi al-Bantani, adalah jembatan yang menghubungkan iman yang tersembunyi dengan amal yang terlihat.
Tanpa adab, ibadah menjadi kosong; tanpa etika, amal kehilangan arah.
Ibadah yang sempurna bukanlah yang paling banyak, tetapi yang dilakukan dengan hati yang hadir, niat yang ikhlas, dan perilaku yang santun.
Seseorang yang memahami ini tidak akan sombong karena ibadahnya, sebab ia tahu: amal saleh bukan kebanggaan, melainkan amanah.
Allah SWT berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا، وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams [91]: 9–10)
Kesucian jiwa itulah buah tertinggi dari adab dan etika dalam ibadah — kesempurnaan amal saleh yang menyentuh langit dan menyejukkan bumi.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
