Surau.co. Rukun iman dalam pandangan Nawawi al-Bantani – Dalam kesibukan zaman, sering kali kita lupa bahwa iman bukan hanya untuk diucapkan, tetapi untuk dihidupkan. Ia bukan sekadar keyakinan di dada, melainkan napas yang menuntun cara kita bekerja, berbicara, dan bermimpi. Inilah yang dimaksud oleh ulama besar Nusantara, Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani, dalam karyanya yang mendalam: Kasyīfatu al-Sajā fī Syarḥ Ṣafīnatin-Najā.
Bagi beliau, rukun iman bukan teori abstrak, melainkan fondasi yang membentuk manusia agar selaras dengan kehendak Allah. Iman bukan benda diam, melainkan makhluk hidup yang tumbuh, berakar, dan berbuah di setiap perbuatan.
Iman yang Hidup: Bukan Sekadar Hafalan
Kita mengenal enam rukun iman: beriman kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan qadar. Namun dalam pandangan Syaikh Nawawi, yang menarik bukan sekadar jumlahnya, melainkan cara iman itu bernapas dalam kehidupan manusia.
Beliau menulis:
«أركان الإيمان ستة، وهي أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر والقدر خيره وشره»
“Rukun iman ada enam: beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan qadar, baik maupun buruk.”
Syaikh Nawawi menekankan bahwa iman sejati adalah keyakinan yang melahirkan tindakan.
Seseorang yang beriman kepada Allah, kata beliau, seharusnya tidak hanya menyebut nama-Nya, tetapi juga mencerminkan kasih, kejujuran, dan keadilan yang menjadi sifat-Nya.
Iman kepada Allah: Menemukan Akar dalam Diri
Iman pertama — iman kepada Allah — menjadi akar bagi seluruh rukun lainnya. Tanpa akar, batang tidak akan tegak, daun tidak akan hijau.
Syaikh Nawawi menulis:
«أن تؤمن بالله بأن تعتقد على التفصيل أن الله تعالى موجود، قديم، باقٍ، مخالف للحوادث»
“Engkau beriman kepada Allah dengan meyakini secara terperinci bahwa Allah itu ada, qadim (tanpa permulaan), kekal, dan berbeda dari makhluk.”
Kalimat ini terdengar teologis, tapi maknanya amat lembut: iman sejati tumbuh dari kesadaran bahwa kita berasal dari-Nya dan kembali kepada-Nya.
Ketika seseorang berbuat baik tanpa pamrih, menolong meski tak dikenal, itulah cermin iman kepada Allah yang hidup. Ia menjadikan Tuhan bukan hanya objek keyakinan, tetapi teman bicara di dalam hati.
Iman kepada Malaikat dan Kitab: Menata Laku dan Ilmu
Setiap amal manusia, sekecil apa pun, tidak pernah hilang. Dalam Kasyīfatu al-Sajā, Syaikh Nawawi menjelaskan:
«أن تؤمن بملائكته بأنهم عباد مكرمون، لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون»
“Beriman kepada malaikat berarti meyakini bahwa mereka hamba-hamba yang dimuliakan, tidak pernah durhaka kepada Allah dan selalu melaksanakan perintah-Nya.”
Iman kepada malaikat menumbuhkan rasa diawasi, bukan karena takut, tetapi karena ingin tetap layak di hadapan Tuhan.
Demikian pula dengan iman kepada kitab-kitab Allah, yang beliau jelaskan:
«أن تؤمن بكتبه بأن الله أنزلها لهداية خلقه»
“Engkau beriman kepada kitab-kitab Allah, bahwa Dia menurunkannya sebagai petunjuk bagi makhluk-Nya.”
Jika seseorang menata hidupnya dengan cahaya wahyu — membaca Al-Qur’an tidak hanya dengan lidah, tapi dengan hati — maka ia sedang menghidupkan dua rukun iman sekaligus.
Dalam kehidupan modern, ini berarti belajar jujur di tengah godaan tipu daya digital, menulis dengan niat menyebarkan manfaat, dan menggunakan teknologi untuk kebaikan. Semua itu bagian dari iman yang aktif, iman yang bergerak.
Iman kepada Rasul dan Hari Akhir: Meneladani dan Menyadari
Syaikh Nawawi menguraikan:
«أن تؤمن برسله بأنهم مبعوثون لهداية الخلق إلى الحق»
“Beriman kepada para rasul berarti meyakini bahwa mereka diutus untuk membimbing manusia menuju kebenaran.”
Rasul bukan hanya tokoh sejarah. Mereka adalah cermin hidup dari sifat-sifat Allah: sabar, kasih, pemaaf, teguh. Ketika kita meniru akhlak Rasulullah ﷺ — dalam kesederhanaan, kasih sayang, dan integritas — saat itulah iman kita hidup.
Sedangkan iman kepada hari akhir melatih manusia untuk berpikir jauh ke depan:
«أن تؤمن باليوم الآخر بأن الناس يبعثون ويحاسبون على أعمالهم»
“Beriman kepada hari akhir berarti meyakini bahwa manusia akan dibangkitkan dan dihisab atas amal perbuatannya.”
Keyakinan ini menumbuhkan etika batin: berhati-hati dalam keputusan, menjaga waktu, menimbang akibat.
Ia menuntun manusia untuk tidak sombong, sebab semua akan dipertanggungjawabkan.
Iman kepada Qadar: Keteguhan di Tengah Takdir
Rukun terakhir — iman kepada qadar — mungkin yang paling berat, namun juga paling mendalam. Syaikh Nawawi menjelaskan:
«أن تؤمن بالقدر خيره وشره بأن الله خلق الخير والشر لحكمة»
“Beriman kepada qadar berarti meyakini bahwa Allah menciptakan baik dan buruk dengan hikmah yang sempurna.”
Ini bukan ajaran pasrah buta, melainkan latihan keteguhan hati.
Orang yang beriman pada qadar tidak berhenti berusaha, tapi juga tidak putus asa saat gagal. Ia tahu: Allah tidak pernah menulis sesuatu tanpa makna.
Betapa indahnya ketika seseorang tersenyum di tengah ujian, bukan karena tidak peduli, tapi karena yakin di balik luka ada rahmat. Inilah iman yang hidup — yang membuat manusia kuat tanpa menjadi keras.
Menghidupkan Rukun Iman di Zaman Modern
Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, iman sering kali terasa seperti gema samar di antara notifikasi dan kabar buruk.
Namun, rukun iman dalam pandangan Nawawi al-Bantani justru mengajarkan kebalikannya: bahwa iman bisa hidup di mana pun, kapan pun, selama manusia mau mendengar bisikan hatinya.
Ketika kita menahan diri dari komentar kasar di media sosial — itu iman kepada malaikat pencatat.
>Ketika kita memilih jujur dalam pekerjaan meski tidak diawasi — itu iman kepada Allah.
>Ketika kita tetap sabar atas kesulitan hidup — itu iman kepada qadar.
Dan ketika kita mengingat bahwa semua akan kembali kepada Allah — itu iman kepada hari akhir.
Iman yang hidup bukanlah sesuatu yang besar, tapi yang terus tumbuh. Seperti pohon yang diam namun tak pernah berhenti menyerap cahaya.
Penutup: Menjadi Manusia yang Beriman dengan Nyata
Iman bukan sekadar ada, tapi harus menjadi.
Dalam pandangan Syaikh Nawawi al-Bantani, iman yang hidup adalah iman yang dirasakan, diterapkan, dan diperjuangkan.
Ia mengubah manusia dari sekadar percaya menjadi sadar, dari hanya tahu menjadi taat, dari pasif menjadi pembawa cahaya.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
“Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah (dengan sebenar-benarnya) kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS. an-Nisā’: 136)
Ayat ini seolah berpesan: jangan hanya memiliki iman, hidupkanlah iman itu.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Seerambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
