Khazanah
Beranda » Berita » Baligh dan Tanggung Jawab: Awal Beban Syariat

Baligh dan Tanggung Jawab: Awal Beban Syariat

remaja muslim di depan masjid menjelang fajar, simbol awal beban syariat.
Remaja baru baligh menatap langit subuh, simbol kesiapan menerima amanah syariat.

Surau.co. Ketika seorang anak mulai menyadari perubahan dalam dirinya — suaranya berubah, wajahnya menampakkan kedewasaan, hatinya mengenal rasa malu sekaligus tanggung jawab — di situlah Islam memandang: telah tiba saatnya awal beban syariat.

Frasa ini memang terdengar berat, tetapi sebenarnya mengandung makna yang lembut: inilah titik di mana manusia diakui oleh Allah sebagai makhluk yang siap menanggung perintah dan larangan-Nya. Sejak saat itu, ia tidak sekadar tumbuh secara fisik, melainkan juga secara spiritual dan moral.

Dalam kitab monumental Kasyīfatu al-Sajā fī Syarḥ Ṣafīnatin-Najā karya Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani — seorang ulama besar Nusantara abad ke-19 — fase baligh digambarkan bukan hanya sebagai perubahan biologis, tetapi juga transisi menuju kedewasaan iman. Dengan kata lain, masa itu menjadi awal seseorang benar-benar hidup sebagai hamba.

Awal Beban Syariat: Saat Manusia Diakui oleh Langit

Syaikh Nawawi menulis dengan jelas:

«وَإِذَا بَلَغَ الإِنسَانُ فَقَدْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ أَحْكَامُ الشَّرْعِ»
“Ketika seseorang telah baligh, maka atas dirinya berlaku hukum-hukum syariat.”

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Kutipan sederhana ini membuka pemahaman penting: baligh adalah gerbang taklīf, yaitu momen ketika manusia mulai dipanggil oleh syariat. Taklīf berarti “pembebanan,” tetapi bukan dalam arti tekanan. Sebaliknya, ia menjadi bentuk penghormatan dari Allah — tanda bahwa manusia telah cukup dewasa untuk memikul peran sebagai khalifah kecil di bumi.

Kini, di tengah kehidupan modern, kita sering menyaksikan anak-anak muda yang mulai berlatih shalat, berpuasa, atau menunaikan zakat kecil dari uang jajannya. Meskipun belum memahami semua dalil, mereka sebenarnya sedang memikul amanah yang sangat mulia: tanggung jawab di hadapan Tuhan. Dengan begitu, masa baligh bukanlah beban, melainkan anugerah kesadaran.

Baligh: Saat Jiwa Belajar Mengemban Amanah

Dalam Kasyīfatu al-Sajā, Syaikh Nawawi menjelaskan bahwa tanda baligh tidak hanya berkaitan dengan fisik, melainkan juga kesiapan batin untuk memikul amanah:

«فَإِذَا بَلَغَتِ الْحُدُودُ فَارْتَبَطَتْ بِهِ الْوَاجِبَاتُ»
“Ketika batas-batas baligh telah tercapai, maka kewajiban pun mulai terpaut dengannya.”

Artinya, begitu seseorang melampaui batas itu, syariat hadir dalam wujud ibadah dan tanggung jawab sosial. Ia belajar wudhu bukan sekadar membasuh tubuh, tetapi juga membersihkan hati dari kelalaian. Ia shalat bukan hanya karena kewajiban, tetapi karena kerinduan untuk terhubung dengan Sang Pencipta.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Lebih jauh lagi, dalam konteks kehidupan masa kini, tanda-tanda baligh tampak pada anak muda yang mulai menjaga lisan di media sosial, belajar berkata jujur, atau berani menolak hal yang salah. Semua itu merupakan langkah-langkah kecil menuju taklīf — latihan kesadaran bahwa setiap tindakan bernilai di mata Allah. Maka, dari sinilah iman mulai tumbuh secara nyata.

Tanggung Jawab Dimulai dari Kesadaran

Syekh Nawawi menulis lagi dengan penuh hikmah:

«وَأَمَرَ اللهُ الْخَلْقَ بِطَلَبِ الْعِلْمِ بَعْدَ الْبُلُوغِ»
“Dan Allah memerintahkan makhluk-Nya untuk menuntut ilmu setelah baligh.”

Menariknya, dalam pandangan beliau, ilmu menjadi tangga pertama setelah seseorang baligh. Ini menunjukkan bahwa Allah tidak membiarkan manusia berjalan dalam gelap. Setelah menyerahkan amanah, Dia langsung menuntun dengan cahaya ilmu.

Karena itu, menuntut ilmu bukan hanya kewajiban, melainkan juga kasih sayang dari Allah agar manusia tahu arah langkahnya. Rasulullah ﷺ bersabda:

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

«طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ»
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)

Jadi, ilmu menjadi jembatan antara beban dan kebahagiaan. Tanpa ilmu, seseorang hanya menanggung kewajiban. Namun dengan ilmu, ia memahami maknanya dan menunaikannya dengan cinta.

Kebijaksanaan Syariat: Tidak Membebani di Luar Kemampuan

Islam tidak datang untuk menakut-nakuti. Justru, ia hadir untuk membimbing dan menenangkan. Syaikh Nawawi menegaskan dalam Kasyīfatu al-Sajā:

«فَمَا لَمْ يَبْلُغِ الإِنسَانُ الْقُيُودَ فَلَا يُكَلَّفُ»
“Selama seseorang belum mencapai batas baligh, maka belum dikenai tanggung jawab.”

Pernyataan ini menegaskan prinsip besar dalam Islam: Allah tidak membebani seseorang di luar kesanggupannya.
Sebagaimana firman-Nya:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya.” (QS. al-Baqarah: 286)

Dengan demikian, baligh bukanlah beban yang menekan, tetapi tanda kesiapan. Syariat turun bukan untuk mengikat, melainkan untuk menuntun. Oleh sebab itu, orang tua dan guru yang memahami makna ini akan mendampingi anak muda dengan kelembutan, bukan ancaman. Kasih sayang menjadi jembatan antara hukum dan hikmah.

Awal Beban Syariat: Saat Hati Mulai Berbicara

Banyak remaja yang baru baligh sering merasa ragu: “Apakah aku sudah cukup baik untuk menanggung kewajiban?”Jawabannya sederhana: belum tentu sempurna, tetapi sudah layak untuk belajar. Justru dari proses belajar itu, iman tumbuh perlahan.

Syekh Nawawi menulis dengan nada lembut:

«فَالتَّكْلِيفُ يَبْدَأُ بِبُلُوغٍ وَلَيْسَ بِمَعْرِفَةٍ»
“Beban syariat dimulai dengan baligh, bukan dengan pengetahuan.”

Artinya, Allah memberi kewajiban bukan karena manusia sudah tahu segalanya, tetapi agar ia mau mencari tahu. Maka, setiap ibadah, setiap kesalahan, dan setiap penyesalan merupakan bagian dari proses menuju kedewasaan spiritual. Dari titik itulah, hati belajar berbicara: bukan dengan suara, melainkan dengan kesadaran.

Refleksi: Baligh Sebagai Gerbang Cahaya

Baligh bukan akhir masa kanak-kanak, melainkan awal kesadaran baru. Seseorang yang berjuang menahan lapar saat puasa, menjaga pandangan, atau berani meminta maaf, sebenarnya sedang belajar menjadi manusia yang merdeka — merdeka dari hawa nafsu dan kebodohan.

Awal beban syariat sesungguhnya adalah awal kebebasan spiritual. Sebab, hanya mereka yang sadar tanggung jawabnya yang benar-benar bebas memilih kebaikan. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah penegak keadilan, sebagai saksi karena Allah.” (QS. an-Nisā’: 135)

Keadilan tidak lahir dari kekuasaan, tetapi dari kesadaran. Dan kesadaran itu muncul ketika manusia pertama kali memikul amanah: saat ia baligh.

Kesimpulan

Menurut Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani, awal beban syariat bukanlah beban berat, melainkan panggilan lembut agar manusia tumbuh seutuhnya. Momen itu seakan menjadi sapaan dari langit: “Sekarang engkau telah siap berjalan bersama-Ku.”

Sejak saat itu, setiap wudhu, setiap sujud, dan setiap kejujuran kecil yang kita lakukan bukan lagi sekadar kewajiban, tetapi bagian dari perjalanan menuju ridha Allah.

Dan di sepanjang perjalanan itu, manusia belajar satu hal penting: bahwa menjadi hamba bukan berarti dibatasi, melainkan diberi kehormatan untuk hidup dalam cahaya.

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo’ Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement