Khazanah
Beranda » Berita » Jenazah dan Kematian: Pelajaran dari Penghujung Kehidupan

Jenazah dan Kematian: Pelajaran dari Penghujung Kehidupan

Jamaah Muslim berdoa di tepi makam di bawah langit senja, simbol kesadaran dan ketenangan dalam menghadapi kematian.
Menggambarkan kesyahduan dan refleksi spiritual atas kematian sebagaimana dijelaskan oleh Nawawi al-Bantani.

Surau.co Kematian bukan akhir dari segalanya, melainkan pintu menuju kehidupan yang sesungguhnya. Dalam Kasyīfatu al-Sajā fī Syarḥ Ṣafīnatin-Najā, Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani membahas bab jenazah (ahkām al-jana’iz) dengan nada yang lembut sekaligus menggugah: bahwa kematian adalah guru paling jujur bagi manusia. Ia mengingatkan bahwa setiap hembusan napas sejatinya adalah langkah menuju akhir, dan bahwa merawat jenazah bukan sekadar kewajiban, tetapi bentuk penghormatan terakhir kepada makhluk Allah yang telah menyelesaikan tugas hidupnya.

Kematian Sebagai Cermin Diri

Dalam Kasyifatus Saja, Syaikh Nawawi menulis:

“الْمَوْتُ بَابٌ وَكُلُّ النَّاسِ دَاخِلُهُ، فَاعْمَلْ لِنَفْسِكَ قَبْلَ الْمَوْتِ.”
“Kematian adalah sebuah pintu yang akan dilalui oleh semua manusia, maka beramallah untuk dirimu sebelum kematian datang.”

Kata-kata ini sederhana, tapi mengandung hikmah mendalam. Setiap manusia tahu bahwa kematian pasti datang, namun sedikit yang benar-benar bersiap.
Dalam kehidupan modern yang sibuk, manusia lebih banyak menghindari percakapan tentang mati. Padahal, justru dengan mengingat kematian (dzikr al-maut), hati menjadi lembut dan amal menjadi tulus.

Syaikh Nawawi menekankan bahwa mengingat mati bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk menyadarkan. Dengan menyadari kefanaan hidup, manusia akan lebih ringan melepas dunia, lebih tenang menjalani ujian, dan lebih berhati-hati dalam bertindak.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Mengurus Jenazah: Tanda Kehormatan kepada Sesama

Dalam penjelasan fiqihnya, Syaikh Nawawi memaparkan kewajiban umat Islam terhadap jenazah: memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan menguburkannya. Ia menulis:

“غُسْلُ الْمَيِّتِ فَرْضُ كِفَايَةٍ، كَفَايَةُ الْمُسْلِمِينَ لِأَخِيهِمْ بَعْدَ مَوْتِهِ.”
“Memandikan mayit adalah fardu kifayah; kewajiban umat Islam terhadap saudaranya setelah ia meninggal dunia.”

Dalam kalimat ini, Syaikh Nawawi menekankan pentingnya solidaritas bahkan setelah kematian. Mengurus jenazah bukan hanya ritual keagamaan, tapi juga ekspresi kasih sayang sesama mukmin.
Ketika kita memandikan jenazah, sesungguhnya kita sedang meneladani kelembutan Rasulullah ﷺ yang memperlakukan setiap tubuh yang wafat dengan penuh penghormatan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“إِنَّ كَسْرَ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا.”
“Mematahkan tulang orang mati sama dengan mematahkannya ketika hidup.” (HR. Abu Dawud)

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Hadis ini, sebagaimana dijelaskan Syaikh Nawawi, menunjukkan betapa Islam menjaga kehormatan manusia bahkan setelah ruhnya pergi.

Fenomena: Kematian di Tengah Kehidupan Modern

Kini, kematian sering dipandang dengan jarak yang jauh. Rumah sakit, layanan pemakaman, dan teknologi membuat banyak orang tidak lagi bersentuhan langsung dengan proses kematian.
Syaikh Nawawi mengingatkan:

“مَنْ غَفَلَ عَنِ الْمَوْتِ قَسَا قَلْبُهُ، وَضَلَّ سَعْيُهُ.”
“Barang siapa lalai dari kematian, hatinya akan menjadi keras dan usahanya akan tersesat.”

Kalimat ini menjadi peringatan yang relevan bagi zaman kita.
Kematian bukan sekadar peristiwa biologi, tapi peringatan spiritual: tentang kefanaan, tentang tanggung jawab, dan tentang makna hidup yang sejati.
Bagi Syaikh Nawawi, kematian harus diingat bukan dengan ketakutan, tetapi dengan kebijaksanaan. Karena dengan mengingat mati, manusia belajar untuk hidup dengan lebih bermakna — memaafkan lebih cepat, bersyukur lebih dalam, dan memberi lebih tulus.

Shalat Jenazah: Doa dari yang Hidup untuk yang Telah Pergi

Syaikh Nawawi menjelaskan secara rinci tata cara shalat jenazah, namun beliau juga menyelipkan makna batin di baliknya.
Ia menulis:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

“الصَّلَاةُ عَلَى الْمَيِّتِ دُعَاءٌ لَهُ بِالرَّحْمَةِ وَالْمَغْفِرَةِ، وَهِيَ حَقُّ الْأُخُوَّةِ فِي الدِّينِ.”
“Shalat atas jenazah adalah doa baginya agar diberi rahmat dan ampunan; dan itu merupakan hak persaudaraan dalam agama.”

Shalat jenazah bukan hanya kewajiban sosial, tapi manifestasi cinta antar mukmin.
Ketika seseorang menyalatkan jenazah, ia sedang mempersembahkan hadiah terakhir: doa agar Allah melapangkan kuburnya, menghapus dosanya, dan menempatkannya di sisi yang baik.

Di sisi lain, shalat jenazah juga menjadi pengingat bagi yang hidup — bahwa suatu saat nanti, posisi kita akan berganti. Kita yang kini mendoakan, suatu hari akan didoakan.

Mengiringi Jenazah: Simbol Solidaritas Iman

Syaikh Nawawi mengutip anjuran Rasulullah ﷺ:

“مَنْ تَبِعَ جَنَازَةَ مُسْلِمٍ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا، وَكَانَ مَعَهُ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا وَيُفْرَغَ مِنْ دَفْنِهَا، فَإِنَّهُ يَرْجِعُ مِنَ الْأَجْرِ بِقِيرَاطَيْنِ.”
“Barang siapa mengikuti jenazah seorang Muslim dengan iman dan mengharap pahala, lalu menyertainya hingga dishalatkan dan dikuburkan, maka ia kembali dengan dua qirath pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Nawawi menjelaskan bahwa dua qirath di sini berarti pahala besar yang setara dengan dua gunung besar.
Namun yang lebih penting, beliau menekankan makna kebersamaan dalam iman. Mengiringi jenazah adalah bentuk nyata bahwa kematian tidak memutus hubungan ukhuwah, tapi justru memperkuatnya dalam doa dan kepedulian.

Merenungi Kehidupan dari Kematian

Bagi Syaikh Nawawi, bab jenazah dalam Kasyifatus Saja bukan sekadar kumpulan hukum fiqih, tetapi ajakan untuk merenungi hidup. Ia menulis:

“تَذَكُّرُ الْمَوْتِ يُحْيِي الْقَلْبَ وَيُزَهِّدُ فِي الدُّنْيَا.”
“Mengingat kematian menghidupkan hati dan menumbuhkan sikap zuhud terhadap dunia.”

Kalimat ini terasa lembut namun dalam.
Kematian, dalam pandangan beliau, bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dihayati. Ia adalah cermin yang jujur: bahwa dunia ini fana, dan setiap kesibukan yang tidak mengingat akhir hanya akan melahirkan kekosongan.

Dengan menyadari kematian, manusia akan lebih mudah memaafkan, lebih ringan memberi, dan lebih tenang menghadapi takdir.

Kesimpulan: Menghidupkan Hati Lewat Kematian

Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani melalui Kasyifatus Saja mengajak umat Islam untuk melihat kematian bukan sebagai tragedi, melainkan sebagai pengingat akan kebesaran Allah dan kelemahan diri.
Ia mengajarkan bahwa mengurus jenazah adalah amal kasih, menyalatkannya adalah bentuk doa tulus, dan mengingatnya adalah jalan menuju kebijaksanaan.

Kematian tidak pernah jauh, tapi ia juga bukan musuh. Ia adalah sahabat yang mengingatkan agar kita hidup dengan hati yang bersih, amal yang tulus, dan cinta yang mendalam kepada Allah.
Dan pada akhirnya, ketika saat itu tiba, semoga kita kembali dengan tenang — sebagaimana firman Allah:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai.” (QS. Al-Fajr [89]: 27–28)

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement