Surau.co. Puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus. Dalam pandangan Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani dalam Kasyīfatu al-Sajā fī Syarḥ Ṣafīnatin-Najā, puasa adalah latihan spiritual untuk menundukkan hawa nafsu dan membuka jalan mengenal Allah. Beliau menulis bahwa hakikat puasa adalah “imsāk an kulli mā yasuddul qalb ‘anillāh” — menahan diri dari segala hal yang menghalangi hati dari mengingat Allah.
Di tengah kehidupan modern yang penuh distraksi, puasa mengembalikan manusia pada hakikat dirinya: makhluk yang bergantung pada Tuhan. Dengan lapar, manusia belajar tentang kelemahan; dengan menahan diri, ia belajar tentang makna kebebasan sejati.
Makna Puasa Menurut Syaikh Nawawi al-Bantani
Dalam Kasyifatus Saja, Syaikh Nawawi menjelaskan secara mendalam makna puasa dengan kalimat:
“الصِّيَامُ إِمْسَاكٌ عَنِ الْمُفَطِّرَاتِ مَعَ النِّيَّةِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ.”
“Puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan disertai niat sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.”
Namun, beliau menambahkan bahwa makna puasa tidak berhenti pada dimensi lahiriah. Menahan lapar hanyalah kulitnya, sedangkan intinya adalah menahan diri dari dosa dan hawa nafsu.
Menurut beliau, puasa yang hanya menahan makan dan minum, tapi tidak menahan lidah dari dusta atau mata dari pandangan maksiat, belum mencapai makna sejatinya.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
“رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَالْعَطَشُ.”
“Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan dari puasanya selain lapar dan haus.” (HR. Ibnu Majah)
Puasa sejati, dalam pandangan Syaikh Nawawi, adalah ibadah yang menumbuhkan kesadaran spiritual — menyadarkan manusia bahwa keberadaan dirinya sangat bergantung kepada kasih Allah.
Menahan Nafsu Sebagai Jalan Pembersihan Hati
Syaikh Nawawi menulis dengan penuh hikmah:
“إِنَّ الْجُوْعَ يُضَيِّقُ مَجَارِيَ الشَّيْطَانِ، وَيُنَوِّرُ الْقَلْبَ بِنُوْرِ الْإِيْمَانِ.”
“Sesungguhnya lapar mempersempit jalan setan dan menerangi hati dengan cahaya iman.”
Makna lapar dalam kalimat ini bukan sekadar rasa perut yang kosong, tapi simbol dari penyucian diri. Saat manusia lapar, ia menjadi sadar betapa bergantungnya hidup ini pada pemberian Allah. Lapar meruntuhkan kesombongan yang sering tumbuh dari rasa cukup.
Fenomena modern menunjukkan betapa manusia sering takut lapar — tidak hanya dalam arti fisik, tapi juga dalam makna kehilangan kenyamanan. Namun, justru dari kekurangan itulah lahir rasa syukur.
Puasa mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak datang dari berlebih, tetapi dari kemampuan menahan diri.
Syaikh Nawawi juga mengingatkan bahwa lapar yang ditanggung dengan ikhlas membuka jalan bagi cinta Allah. Ia menulis:
“مَنْ صَبَرَ عَلَى الْجُوْعِ أَفَاضَ اللهُ عَلَيْهِ أَنْوَارَ الْمَعْرِفَةِ.”
“Barang siapa bersabar menanggung lapar, Allah akan limpahkan kepadanya cahaya makrifat.”
Puasa bukan hanya menahan, tetapi mengolah — dari menahan diri menjadi mengenal diri, dan dari mengenal diri menjadi mengenal Tuhan.
Puasa Sebagai Sekolah Keikhlasan
Dalam Kasyifatus Saja, Syaikh Nawawi menegaskan bahwa puasa adalah ibadah yang tidak bisa dipamerkan. Karena hanya Allah dan hamba-Nya yang tahu apakah seseorang benar-benar berpuasa atau tidak.
Beliau menulis:
“الصِّيَامُ سِرٌّ بَيْنَ الْعَبْدِ وَرَبِّهِ، لَا يَطَّلِعُ عَلَيْهِ إِلَّا اللهُ.”
“Puasa adalah rahasia antara hamba dan Tuhannya; tidak ada yang mengetahuinya selain Allah.”
Inilah yang menjadikan puasa sebagai madrasah keikhlasan. Tidak ada ruang bagi riya atau pamer, karena nilainya terletak pada kejujuran batin.
Puasa melatih manusia untuk berbuat baik tanpa perlu dilihat, menahan amarah tanpa perlu dipuji, dan menolak godaan tanpa perlu pengakuan.
Fenomena kehidupan sekarang sering memperlihatkan sebaliknya: banyak amal baik dilakukan demi validasi. Puasa datang sebagai koreksi lembut, mengingatkan bahwa yang paling penting bukan siapa yang tahu, tapi untuk siapa amal itu dilakukan.
Dimensi Sosial dari Ibadah Puasa
Selain dimensi spiritual, Syaikh Nawawi juga menekankan dimensi sosial dari puasa. Beliau menulis:
“فِي الصِّيَامِ تَذْكِرَةٌ لِلْغَنِيِّ بِحَالِ الْفَقِيْرِ، فَيَرْقُّ قَلْبُهُ وَيَزْدَادُ إِحْسَانُهُ.”
“Dalam puasa terdapat pengingat bagi orang kaya terhadap keadaan orang miskin, sehingga hatinya menjadi lembut dan kebaikannya bertambah.”
Puasa membuat manusia lebih empatik. Lapar menumbuhkan rasa iba yang tulus, bukan dari rasa kasihan, tetapi dari rasa sepenanggungan. Ketika seseorang merasakan lapar yang sama, ia memahami makna berbagi bukan sebagai kemurahan, tetapi sebagai keadilan hati.
Dalam masyarakat yang materialistis, puasa menghidupkan kembali kesadaran kolektif. Ia mengajarkan bahwa menolong bukan hanya memberi materi, tapi juga membagi rasa dan perhatian.
Fenomena: Ketika Puasa Hanya Jadi Rutinitas
Banyak orang berpuasa, namun tetap terjebak dalam rutinitas tanpa ruh. Syaikh Nawawi mengingatkan bahwa puasa tanpa kesadaran akan menjadi kosong.
Beliau menulis:
“مَنْ لَمْ يَصُمْ عَنْ غَيْبَةٍ وَلَا نَمِيْمَةٍ فَلَيْسَ بِصَائِمٍ حَقًّا.”
“Barang siapa tidak menahan diri dari ghibah dan namimah, maka ia belum benar-benar berpuasa.”
Puasa sejati melibatkan seluruh anggota tubuh: mata berpuasa dari pandangan maksiat, lidah berpuasa dari kebohongan, hati berpuasa dari kebencian.
Dengan cara itu, puasa menjadi sarana penyembuhan spiritual — menyucikan manusia dari dalam.
Kesimpulan: Menahan Diri untuk Mengenal Allah
Puasa menurut Syaikh Nawawi al-Bantani bukan hanya ibadah fisik, melainkan perjalanan menuju kedalaman spiritual. Ia adalah latihan kesadaran untuk menundukkan ego dan membuka mata hati.
Lapar menjadi bahasa keheningan antara hamba dan Tuhan. Melalui rasa lemah, manusia belajar tentang kekuatan kasih Allah.
Puasa mengajarkan bahwa mengenal Allah tidak selalu lewat ilmu tinggi atau amal besar, tetapi bisa dimulai dari hal sederhana — menahan diri. Karena dalam menahan diri, manusia menemukan dirinya, dan di dalam dirinya, ia menemukan Tuhan.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
