Khazanah
Beranda » Berita » Zakat: Menyucikan Harta, Menyuburkan Jiwa

Zakat: Menyucikan Harta, Menyuburkan Jiwa

Seorang muslim menyerahkan zakat kepada fakir miskin di bawah cahaya senja, simbol penyucian harta dan jiwa.
Menggambarkan makna zakat sebagai ibadah yang menyejukkan hati dan mempererat hubungan sosial.

Surau.co. Zakat bukan hanya kewajiban sosial, tetapi juga simbol pembersihan jiwa dan penyubur keberkahan. Dalam Kasyīfatu al-Sajā fī Syarḥ Ṣafīnatin-Najā, Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani menegaskan bahwa zakat adalah “tajarrud anil hubb lid-dunyā”—pelepasan hati dari kecintaan berlebihan terhadap dunia. Ia mengajarkan bahwa memberi bukan sekadar berbagi, melainkan bentuk ketaatan yang membebaskan jiwa dari kerakusan dan membawa ketenangan spiritual.

Syaikh Nawawi menulis dengan bahasa lembut tapi bernas, menempatkan zakat bukan hanya sebagai kewajiban hukum, melainkan ibadah yang mengandung rahasia batin tentang keikhlasan, cinta sesama, dan kesadaran bahwa semua harta adalah titipan Allah.

Zakat: Antara Kewajiban dan Pembersihan

Dalam pandangan Syaikh Nawawi, zakat adalah wujud nyata dari penyucian—baik bagi harta maupun pemiliknya. Ia mengutip sabda Nabi ﷺ:

“زَكِّ أَمْوَالَكُمْ بِالزَّكَاةِ تُطَهَّرْ نُفُوسُكُمْ وَتَزْكُو أَعْمَالُكُمْ.”
“Sucikanlah harta kalian dengan zakat, maka jiwa kalian akan bersih dan amal kalian akan berkembang.”

Beliau menjelaskan bahwa zakat berasal dari akar kata zakā, yang berarti tumbuh, berkembang, dan suci. Maka, zakat bukan hanya mengurangi harta, tetapi justru menumbuhkan keberkahan di dalamnya.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Dalam konteks kehidupan modern, kita sering terjebak pada logika ekonomi: memberi dianggap mengurangi. Namun, Syaikh Nawawi menegaskan bahwa dalam logika ilahi, memberi justru memperbanyak. Karena zakat bukan sekadar transaksi, melainkan kepercayaan spiritual bahwa apa yang kita keluarkan akan kembali dalam bentuk berkah yang tak terukur.

Harta: Amanah yang Harus Dijaga dan Dibersihkan

Syaikh Nawawi menulis dalam Kasyifatus Saja:

“الْمَالُ أَمَانَةٌ فِي يَدِ الْعَبْدِ، يُمْتَحَنُ بِهِ أَيَشْكُرُ أَمْ يَكْفُرُ.”
“Harta adalah amanah di tangan hamba, dengannya ia diuji: apakah ia bersyukur atau kufur.”

Menurut beliau, zakat adalah ujian kejujuran hati. Banyak orang mudah berbicara tentang iman, tapi sulit melepaskan sebagian harta. Itulah sebabnya zakat menjadi barometer keimanan yang nyata.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat dua wajah manusia terhadap harta: yang pertama menjadikannya alat kebaikan, dan yang kedua menjadikannya sumber keserakahan.
Syaikh Nawawi mengingatkan bahwa kekayaan tanpa zakat hanyalah ujian yang menjerumuskan, karena ia menumbuhkan cinta berlebihan pada dunia.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Allah ﷻ berfirman:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah zakat dari harta mereka untuk membersihkan dan mensucikan mereka dengannya.” (QS. At-Taubah [9]: 103)

Ayat ini menjadi dasar bagi penjelasan Nawawi bahwa zakat bukan hanya ibadah sosial, tetapi terapi spiritual yang membersihkan hati dari penyakit cinta dunia (ḥubb ad-dunyā).

Menyuburkan Jiwa Lewat Kedermawanan

Syaikh Nawawi memandang zakat sebagai latihan jiwa untuk mencapai derajat ihsan—menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya.
Beliau menulis:

“مَنْ أَدَّى الزَّكَاةَ طَيِّبَةً بِهَا نَفْسُهُ، زَكَى قَلْبُهُ وَأَنْبَتَ اللهُ فِي مَالِهِ الْبَرَكَةَ.”
“Barang siapa menunaikan zakat dengan hati yang ridha, maka Allah akan menyucikan hatinya dan menumbuhkan keberkahan dalam hartanya.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Kata “menumbuhkan” di sini memiliki makna ganda: harta bertambah keberkahannya, dan jiwa bertambah kebahagiaannya.
Fenomena sehari-hari menunjukkan bahwa orang yang gemar memberi hidupnya lebih tenang. Ada kelapangan batin yang tidak dimiliki oleh mereka yang terus menimbun.

Zakat melatih manusia untuk percaya pada janji Allah bahwa tidak ada harta yang hilang karena sedekah. Rasulullah ﷺ bersabda:

“مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ.”
“Tidak akan berkurang harta karena sedekah.” (HR. Muslim)

Bagi Syaikh Nawawi, hadis ini bukan hanya keterangan hukum, tetapi pernyataan tentang hukum spiritual yang lebih tinggi: memberi adalah cara Allah memperbanyak.

Fenomena Zakat di Era Modern: Antara Angka dan Jiwa

Kini zakat sering dipandang sebagai urusan administratif—dibayar lewat transfer atau aplikasi. Praktis, tapi sering kehilangan ruh.
Syaikh Nawawi mengingatkan bahwa zakat yang sah secara hukum belum tentu sah secara ruhani bila tanpa niat ikhlas. Ia menulis:

“لَا بَرَكَةَ فِي زَكَاةٍ تُؤَدَّى رِيَاءً أَوْ مَعَ تَأَفُّفٍ.”
“Tidak ada keberkahan dalam zakat yang ditunaikan karena riya atau dengan keluh kesah.”

Zakat sejati adalah zakat yang keluar dari hati yang ringan, bukan tangan yang berat. Karena memberi bukan tentang jumlah, tapi tentang kebersihan niat.

Dalam dunia yang materialistis, pesan ini begitu relevan. Banyak orang bisa memberi, tetapi sedikit yang memberi dengan cinta. Padahal, zakat adalah latihan untuk menyeimbangkan antara tanggung jawab sosial dan kedalaman spiritual.

Zakat dan Solidaritas Umat

Selain membersihkan hati, zakat juga menguatkan ikatan sosial. Syaikh Nawawi menjelaskan bahwa zakat memiliki dimensi sosial yang tinggi. Ia menulis:

“إِذَا أَدَّى الْغَنِيُّ زَكَاتَهُ، سَدَّ حَاجَةَ الْفَقِيْرِ وَاسْتَقَرَّ الْمَجْتَمَعُ بِالسَّلَامِ.”
“Ketika orang kaya menunaikan zakatnya, kebutuhan orang miskin terpenuhi dan masyarakat pun hidup dalam kedamaian.”

Kalimat ini menegaskan pandangan beliau bahwa zakat bukan hanya kewajiban individu, tapi juga pondasi keadilan sosial.
Jika zakat dijalankan dengan benar, tidak akan ada kesenjangan ekstrem antara si kaya dan si miskin. Karena zakat mengalirkan harta seperti darah yang menyalurkan kehidupan ke seluruh tubuh umat.

Kesimpulan: Zakat sebagai Jalan Pencerahan

Dalam Kasyifatus Saja, Syaikh Nawawi al-Bantani menempatkan zakat sebagai ibadah yang mengandung dua keindahan: kesucian lahir dan ketenangan batin.
Zakat menyucikan harta dari hak orang lain, dan menyucikan jiwa dari egoisme. Ia mengajarkan manusia untuk melihat harta bukan sebagai milik mutlak, tetapi sebagai titipan yang harus dikelola dengan amanah.

Bagi beliau, zakat adalah “tanda syukur yang paling nyata.” Dengan berzakat, manusia tidak hanya membantu sesama, tetapi juga membangun dirinya menjadi pribadi yang bersih, tenang, dan berdaya.

Zakat adalah seni memberi yang memuliakan — karena ketika tangan memberi, sesungguhnya hati sedang menerima cahaya dari Allah.

 

* Reza AS
Pengasuh ruangkontempatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement