Khazanah
Beranda » Berita » Shalat sebagai Tiang Agama: Hukum, Adab, dan Rahasia Ibadah

Shalat sebagai Tiang Agama: Hukum, Adab, dan Rahasia Ibadah

Lelaki bersujud di bawah cahaya masjid, simbol makna shalat dalam pandangan Syaikh Nawawi al-Bantani.
Menggambarkan keheningan dan keikhlasan seorang hamba dalam shalat, sesuai ajaran Kasyifatus Saja.

Surau.co. Shalat sebagai tiang agama tidak sekadar menjadi kewajiban formal, tetapi inti dari seluruh kehidupan spiritual seorang Muslim. Dalam Kasyīfatu al-Sajā fī Syarḥ Ṣafīnatin-Najā, Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa shalat adalah penghubung antara hamba dan Tuhannya, serta cermin bagi kesucian hati dan amal.
Beliau menulis, shalat bukan hanya gerakan tubuh, melainkan simbol dari penyaksian batin bahwa tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah.

Makna Shalat dalam Kehidupan Sehari-hari

Di tengah ritme hidup yang serba cepat, shalat sering kali dilakukan terburu-buru, sekadar menggugurkan kewajiban. Padahal, menurut Syaikh Nawawi, shalat adalah “mī‘rāj al-mu’min” — perjalanan ruhani seorang mukmin menuju Allah. Ia menulis:

“اَلصَّلَاةُ عِمَادُ الدِّينِ، مَنْ أَقَامَهَا فَقَدْ أَقَامَ الدِّينَ، وَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ هَدَمَ الدِّينَ.”
“Shalat adalah tiang agama; siapa yang menegakkannya, maka ia menegakkan agama, dan siapa yang meninggalkannya, maka ia meruntuhkan agama.”

Ungkapan ini menegaskan bahwa nilai seorang Muslim tidak diukur dari banyaknya amal lahir semata, tetapi dari ketekunan dan kekhusyukannya dalam shalat.
Dalam kehidupan modern, shalat menjadi oase di tengah gurun kesibukan. Lima waktu sehari bukan beban, tapi jeda untuk menata jiwa dan mengingat arah hidup.

Hukum dan Syarat: Pondasi dari Shalat yang Sah

Dalam Kasyifatus Saja, Syaikh Nawawi dengan rinci menjelaskan hukum, syarat, dan rukun shalat sesuai mazhab Syafi‘i. Ia menulis:

Hati-hatilah Dengan Pujian Karena Bisa Membuatmu Terlena Dan Lupa Diri

“لَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ إِلَّا بِالطَّهَارَةِ مِنَ الْحَدَثِ وَالنَّجَاسَةِ، وَسَتْرِ الْعَوْرَةِ، وَاسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ، وَدُخُولِ الْوَقْتِ، وَالنِّيَّةِ.”
“Shalat tidak sah kecuali dengan bersuci dari hadas dan najis, menutup aurat, menghadap kiblat, masuk waktu, dan disertai niat.”

Beliau menekankan, kesucian adalah syarat utama. Bukan hanya bersuci dari kotoran lahir, tapi juga dari dosa dan kesombongan batin.
Syaikh Nawawi memandang wudhu dan shalat sebagai dua tahap penyucian: wudhu membersihkan tubuh, sedangkan shalat membersihkan hati.

Dalam praktiknya, hukum-hukum shalat yang beliau jabarkan—seperti rukun, syarat, dan hal-hal yang membatalkan—menjadi pedoman yang kokoh agar ibadah tidak hanya sah, tetapi juga sempurna.

Adab Shalat: Menghadirkan Hati di Hadapan Allah

Selain hukum, Syaikh Nawawi menyoroti adab batin shalat. Ia menulis:

“مَنْ لَمْ يَخْشَعْ فِي صَلَاتِهِ فَقَدْ حُرِمَ لَذَّتَهَا.”
“Barang siapa tidak khusyuk dalam shalatnya, maka ia telah terhalang dari kelezatannya.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Khusyuk, menurut beliau, bukan berarti diam tanpa gerak atau tanpa pikiran, melainkan hadirnya hati bersama Allah.
Ketika seseorang membaca Allāhu Akbar, ia seharusnya melepaskan segala beban dunia, menenggelamkan diri dalam kesadaran bahwa hanya Allah yang agung.

Dalam realitas modern, sulit untuk menjaga kekhusyukan. Pikiran mudah terganggu, notifikasi ponsel datang tanpa henti. Tetapi justru di sanalah ujian shalat: bagaimana seseorang tetap menghadirkan hati di tengah kebisingan dunia.

Rahasia Shalat: Gerakan yang Menyembuhkan Jiwa

Syaikh Nawawi juga menguraikan makna simbolik setiap gerakan dalam shalat.
Beliau menjelaskan bahwa berdiri adalah tanda kehormatan hamba di hadapan Rajanya; rukuk adalah simbol kerendahan hati; sujud adalah puncak kepasrahan total.

“فِي السُّجُودِ يَتَحَقَّقُ الْعَبْدُ بِالذُّلِّ وَالْخُضُوْعِ، وَهُوَ مَقَامُ الْقُرْبِ.”
“Dalam sujud, hamba merealisasikan kehinaan dan ketundukan, dan di situlah derajat kedekatan tertinggi.”

Gerakan shalat bukan hanya ritual fisik, melainkan bahasa tubuh spiritual.
Setiap takbir, rukuk, dan sujud adalah bentuk komunikasi dengan Sang Khalik. Inilah sebabnya mengapa Rasulullah ﷺ bersabda:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

“جُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ.”
“Dijadikan penyejuk mataku dalam shalat.” (HR. Ahmad dan Nasa’i)

Dalam pandangan Syaikh Nawawi, rahasia shalat adalah ketika ibadah itu menjadi kebutuhan batin, bukan kewajiban yang membebani.

Fenomena: Ketika Shalat Hanya Menjadi Rutinitas

Banyak orang shalat tetapi tidak merasakan perubahan dalam diri. Ia masih mudah marah, lalai, atau tamak.
Syaikh Nawawi menegur keadaan seperti ini dengan lembut:

“إِنَّمَا تُنْهَى الصَّلَاةُ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ إِذَا كَانَتْ بِالْخُشُوْعِ وَالْإِخْلَاصِ.”
“Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar jika dilakukan dengan khusyuk dan ikhlas.”

Artinya, shalat yang benar akan meninggalkan bekas dalam perilaku. Bila tidak, berarti masih ada yang kurang dari kesadaran hati.
Beliau mengingatkan agar shalat tidak dilakukan dengan lalai, sebab Allah berfirman:

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ، الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
“Celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dalam shalatnya.” (QS. Al-Mā‘ūn [107]: 4–5)

Shalat sebagai Cermin Keikhlasan

Shalat adalah ujian kejujuran batin. Di hadapan manusia, seseorang bisa berpura-pura. Namun dalam shalat, hanya ia dan Tuhannya.
Syaikh Nawawi menulis bahwa shalat menjadi tolok ukur sejauh mana seseorang benar-benar mengenal Allah.
Beliau berkata, shalat yang penuh kesadaran akan menanamkan adab ruhani — rasa malu, syukur, dan tawakal.

Ketika hati seorang hamba telah merasakan nikmat berdialog dengan Allah, maka ia tidak akan mudah meninggalkan shalat meski dalam keadaan sulit, sakit, atau sibuk.

Kesimpulan: Menegakkan Tiang, Mendirikan Jiwa

Dalam pandangan Syaikh Nawawi al-Bantani, shalat adalah pilar kehidupan spiritual. Ia menyatukan antara hukum, adab, dan rahasia ibadah.
Bila dilakukan dengan ilmu, disertai adab dan keikhlasan, shalat akan menegakkan agama di dalam diri seseorang.
Namun bila dilakukan tanpa hati, ia hanya menjadi gerakan kosong.

Shalat sejati adalah perjumpaan. Di sanalah hamba menunduk bukan karena lemah, tetapi karena cinta.
Dan dari cinta itulah lahir kekuatan untuk hidup dengan sabar, jujur, dan tenang — sebagaimana pesan agung Syaikh Nawawi dalam Kasyīfatu al-Sajā:

“Barang siapa menegakkan shalat dengan hati yang sadar, maka setiap sujudnya akan mengangkat derajatnya di sisi Allah.”

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement