Surau.co. Syahadat bukan sekadar kalimat yang diucapkan di awal keislaman seseorang. Dalam Kasyīfatu al-Sajā fī Syarḥ Ṣafīnatin-Najā, Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani menegaskan bahwa kalimat lā ilāha illā Allāh, Muḥammadur Rasūlullāh adalah inti dari seluruh agama. Ia bukan hanya pintu masuk Islam, tapi juga fondasi dari setiap amal yang diterima Allah. Tanpa kesaksian hati dan pembenaran amal, syahadat hanyalah bunyi tanpa makna.
Mengucap Bukan Sekadar Formalitas
Di tengah kehidupan modern yang sibuk dan serba simbolik, banyak orang melafalkan syahadat tanpa memahami kedalamannya. Dalam Kasyifatus Saja, Syaikh Nawawi menulis:
“اَلتَّوْحِيْدُ كَلِمَةُ الْإِخْلَاصِ، وَهِيَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَمَعْنَاهَا نَفْيُ مَا سِوَى اللهِ وَإِثْبَاتُ الْعُبُوْدِيَّةِ لَهُ.”
“Tauhid adalah kalimat ikhlas, yaitu ‘Lā ilāha illā Allāh’, yang bermakna meniadakan segala sesembahan selain Allah dan menetapkan penghambaan hanya kepada-Nya.”
Menurut beliau, kalimat syahadat bukan hanya pengakuan lisan, tapi penyaksian batin yang menuntut kesetiaan.
Mengucap syahadat berarti melepaskan diri dari penghambaan terhadap dunia, manusia, dan ego. Dalam konteks sosial, ini berarti keberanian untuk hidup dengan nilai yang benar, meskipun tidak populer.
Syahadat Sebagai Kesaksian Hati
Syaikh Nawawi mengutip hikmah para ulama:
“لَا يَصِحُّ الْإِسْلَامُ إِلَّا بِالتَّصْدِيْقِ بِالْقَلْبِ، وَالنُّطْقِ بِاللِّسَانِ، وَالْعَمَلِ بِالْجَوَارِحِ.”
“Islam tidak sah kecuali dengan pembenaran hati, pengucapan lisan, dan perbuatan anggota badan.”
Kalimat ini menegaskan keseimbangan antara batin dan lahir.
Syahadat tidak cukup hanya diyakini dalam pikiran. Ia harus hidup dalam perbuatan. Bila seseorang bersyahadat namun masih zalim, sombong, atau lalai, berarti syahadat itu belum bersemi dalam hati.
Sebaliknya, ketika hati sudah bersaksi, amal akan mengikuti dengan ringan.
Inilah yang disebut Syaikh Nawawi sebagai ‘syahadat yang hidup’ — bukan sekadar kata, tapi kesadaran yang menuntun perilaku.
Makna “Menyaksikan” dalam Syahadat
Kata syahida dalam bahasa Arab berarti “menyaksikan dengan pengetahuan dan keyakinan”.
Dalam Kasyifatus Saja, dijelaskan:
“اَلشَّهَادَةُ إِخْبَارٌ عَنِ الْمَعْلُوْمِ مَقْرُوْنٌ بِالْعِلْمِ وَالْيَقِيْنِ.”
“Syahadat adalah pernyataan tentang sesuatu yang diketahui, disertai dengan ilmu dan keyakinan.”
Artinya, seseorang baru benar-benar bersyahadat ketika ia mengenal siapa yang ia saksikan: mengenal Allah dengan sifat-sifat-Nya dan mengenal Rasul dengan risalahnya.
Syahadat yang diucapkan tanpa pengetahuan seperti tanda tangan di atas kertas kosong — sah secara formal, tetapi belum bermakna secara ruhani.
Syaikh Nawawi menegaskan bahwa makna syahadat adalah pengakuan yang melahirkan tanggung jawab: siapa yang mengaku tiada Tuhan selain Allah, maka ia wajib menolak segala bentuk kemusyrikan, keserakahan, dan kezaliman.
Fenomena Kehidupan: Ketika Syahadat Menjadi Identitas Tanpa Kesadaran
Kehidupan modern sering kali menjadikan agama sekadar label identitas.
Banyak yang mengaku Muslim, namun masih bergantung pada dunia lebih dari Allah, mengagungkan materi lebih dari moralitas.
Fenomena ini menjadi bentuk “syahadat pasif”—pengakuan tanpa penghayatan.
Syaikh Nawawi mengingatkan:
“مَنْ نَطَقَ بِاللَّفْظِ وَلَمْ يَعْمَلْ بِمُقْتَضَاهُ فَقَدْ كَذَبَ بِلِسَانِهِ.”
“Barang siapa mengucapkan syahadat namun tidak beramal sesuai maknanya, maka ia telah berdusta dengan lisannya.”
Pernyataan ini tidak untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menggugah kesadaran.
Beliau mengajak setiap Muslim untuk meninjau ulang hubungannya dengan Allah, bukan hanya lewat ritual, tetapi lewat kesetiaan pada nilai kebenaran dalam setiap aspek kehidupan — pekerjaan, hubungan sosial, hingga urusan hati.
Syahadat dan Akhlak: Cermin dari Keimanan
Syahadat yang benar akan menumbuhkan akhlak yang mulia. Sebab pengakuan kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan menuntut manusia untuk bersikap seperti hamba sejati: rendah hati, jujur, dan adil.
Dalam Kasyifatus Saja, Syaikh Nawawi menulis:
“إِذَا صَحَّتِ الشَّهَادَةُ صَحَّ كُلُّ عَمَلٍ بَعْدَهَا، وَإِلَّا فَلَا نَفْعَ فِي الْعِبَادَةِ.”
“Apabila syahadat seseorang sah, maka seluruh amal setelahnya sah pula; namun jika tidak, maka ibadahnya tiada manfaat.”
Ini menunjukkan bahwa syahadat adalah sumber nilai bagi semua amal.
Seseorang yang bersyahadat dengan benar tidak akan mudah berbohong, menipu, atau menyakiti, sebab hatinya selalu diawasi oleh Allah.
Di sinilah syahadat menjadi tolok ukur keaslian iman.
Menjadikan Syahadat Sebagai Jalan Hidup
Makna syahadat tidak berhenti pada ucapan atau hafalan. Ia harus menjadi kompas moral dan spiritual dalam menjalani hidup.
Syaikh Nawawi mengajak umat Islam untuk menjadikan syahadat sebagai landasan berpikir, merasa, dan bertindak.
Ketika seseorang benar-benar memahami bahwa lā ilāha illā Allāh, ia akan melihat seluruh makhluk sebagai ciptaan yang terhubung dengan Sang Pencipta. Tidak ada ruang untuk kebencian, kecuali terhadap kezaliman. Tidak ada tempat bagi kesombongan, sebab hanya Allah yang berhak diagungkan.
Kesimpulan: Menyaksikan dengan Cinta dan Tanggung Jawab
Syaikh Nawawi al-Bantani, melalui Kasyifatus Saja, mengajarkan bahwa syahadat bukan beban, melainkan anugerah. Ia adalah janji antara hamba dan Tuhannya, antara kesadaran dan amal.
Mengucapkannya berarti berkomitmen untuk hidup dalam kejujuran, menolak segala bentuk penghambaan selain kepada Allah, dan mencintai Rasul sebagai teladan utama.
Syahadat sejati adalah ketika hati tenang karena yakin, dan amal menjadi bukti dari keyakinan itu.
- Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorgo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
