Khazanah
Beranda » Berita » Tauhid sebagai Pondasi Agama: Penjelasan Syaikh Nawawi al-Bantani

Tauhid sebagai Pondasi Agama: Penjelasan Syaikh Nawawi al-Bantani

Santri muda memandang langit malam dengan mushaf di tangan, melambangkan makna tauhid dalam Kasyifatus Saja.
Ilustrasi menggambarkan refleksi spiritual santri yang menemukan ketenangan melalui tauhid, sesuai ajaran Nawawi al-Bantani.

Surau.co. Tauhid sebagai pondasi agama adalah akar dari seluruh pohon keimanan. Dalam Kasyīfatu al-Sajā fī Syarḥ Ṣafīnatin-Najā, Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani menjelaskan tauhid bukan sekadar konsep teologis, melainkan napas yang menghidupkan seluruh amal. Ia adalah fondasi yang menentukan apakah sebuah ibadah bernilai atau tidak, apakah hidup manusia berakar pada makna, atau sekadar berjalan tanpa arah.

Makna Tauhid dalam Kehidupan yang Modern dan Bising

Di tengah dunia yang hiruk-pikuk dengan ambisi, citra, dan pencarian identitas, ajaran tauhid sering kali terasa jauh dari praktik hidup sehari-hari. Namun Syaikh Nawawi menulis dengan tegas:

“اَلْتَّوْحِيْدُ أَصْلُ الدِّينِ، وَمَنْ لَا تَوْحِيْدَ لَهُ لَا دِيْنَ لَهُ.”
“Tauhid adalah pokok agama; siapa yang tidak memiliki tauhid, maka ia tidak memiliki agama.”

Ungkapan itu bukan ancaman, melainkan peringatan lembut: tauhid adalah akar yang menegakkan batang dan ranting agama. Seperti pohon yang takkan hidup tanpa akar, iman seseorang pun takkan kokoh tanpa tauhid yang jernih.

Dalam kehidupan modern, tauhid menuntun manusia untuk tidak menggantungkan hati kepada selain Allah—baik itu harta, jabatan, atau popularitas. Ia membebaskan manusia dari perbudakan modern yang halus: perbudakan terhadap opini, angka, dan validasi.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Menemukan Ketulusan di Tengah Banyak Ketergantungan

Syaikh Nawawi menulis dalam Kasyifatus Saja bahwa tauhid sejati bukan hanya pengakuan lisan, melainkan kesaksian hati yang menafikan segala penguasa selain Allah. Ia menulis:

“مَعْنَى لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ: لَا مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ سِوَى اللهِ.”
“Makna ‘Lā ilāha illā Allāh’ adalah: tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah.”

Kalimat ini sering diucapkan, tetapi tidak selalu dihayati. Dalam konteks sehari-hari, banyak orang menyembah “ilah” modern: pekerjaan, pasangan, status sosial.
Syaikh Nawawi tidak menolak dunia, namun mengingatkan agar hati tidak melekat padanya. Dunia boleh dimiliki, tapi jangan sampai memiliki hati.

Tauhid, dalam pandangan beliau, bukan sekadar konsep teologi di ruang kelas, tapi latihan kesadaran. Ia mengajarkan manusia untuk memusatkan cinta, takut, dan harap hanya kepada Allah. Inilah makna yang menumbuhkan ketenangan di tengah gempuran dunia yang serba cepat.

Tauhid dan Ketenangan Jiwa

Dalam satu penjelasannya, Syaikh Nawawi mengutip kalimat indah dari ulama terdahulu:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

“مَنْ وَحَّدَ اللهَ طَابَتْ حَيَاتُهُ، وَسَكَنَ قَلْبُهُ.”
“Barang siapa mentauhidkan Allah, kehidupannya akan baik dan hatinya akan tenang.”

Kalimat ini menjadi penawar bagi kegelisahan zaman. Banyak orang merasa lelah bukan karena kurang waktu, tapi karena hatinya terbagi ke banyak arah. Tauhid menyatukan kembali hati yang tercerai-berai.
Ia membuat manusia sadar bahwa segala yang terjadi—baik rezeki, ujian, atau kehilangan—berasal dari satu tangan: tangan kasih Allah.

Rasa tenang dalam tauhid bukan berarti pasif. Ia justru melahirkan kekuatan. Karena ketika hati hanya bergantung kepada Allah, manusia menjadi berani mengambil keputusan tanpa takut kehilangan manusia lain.

Ilmu Tauhid: Dari Akal Menuju Hati

Syaikh Nawawi menegaskan bahwa memahami tauhid tidak cukup dengan logika, harus disertai penyaksian batin. Ia menulis:

“لَا يَنْفَعُ الْعِلْمُ بِالتَّوْحِيْدِ إِذَا لَمْ يَكُنْ مَقْرُوْنًا بِالْيَقِيْنِ.”
“Ilmu tentang tauhid tidak bermanfaat bila tidak disertai keyakinan yang kuat.”

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Kalimat ini sangat relevan di era informasi. Kita mudah belajar, mudah mengutip ayat, namun sering kehilangan keyakinan yang hidup. Tauhid menuntut dzauq—rasa iman—yang hanya muncul bila ilmu itu diamalkan dan direnungi.

Maka, memahami tauhid bukan hanya membaca kitab, melainkan menjalani kehidupan dengan kesadaran penuh akan kehadiran Allah. Syaikh Nawawi mengajarkan agar setiap amal, sekecil apa pun, diorientasikan kepada Allah: bekerja, menolong, menulis, semuanya berlandaskan tauhid.

Tauhid dan Tanggung Jawab Sosial

Banyak orang mengira tauhid hanya menyangkut hubungan vertikal dengan Tuhan. Namun dalam Kasyifatus Saja, tauhid juga menjadi dasar moral sosial. Jika seseorang yakin bahwa hanya Allah yang memiliki segalanya, ia tidak akan zalim. Ia tidak akan menindas sesama untuk keuntungan pribadi.
Tauhid melahirkan rasa adil, jujur, dan kasih. Karena siapa pun yang mengesakan Allah akan melihat seluruh makhluk sebagai ciptaan yang harus dihormati.

Tauhid, dengan demikian, bukan hanya fondasi teologi, tetapi juga sumber etika sosial. Ia mengikat manusia untuk berbuat baik bukan karena takut manusia, tetapi karena sadar Allah Maha Melihat.

Menjadi Hamba yang Merdeka

Pada akhirnya, inti tauhid adalah pembebasan. Manusia yang mentauhidkan Allah menjadi hamba yang merdeka. Ia tidak terikat oleh penilaian orang, tidak takut miskin, tidak terjebak dalam kemarahan, karena ia sadar bahwa segala sesuatu kembali kepada Tuhan yang satu.

Tauhid mengajarkan kita untuk menyeimbangkan akal dan hati, dunia dan akhirat.
Dalam dunia yang sering kehilangan arah, ajaran Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Kasyifatus Saja adalah peta menuju ketenangan: bahwa seluruh jalan, bila dilalui dengan niat ikhlas dan hati bertauhid, pasti menuju keselamatan.

Kesimpulan

Tauhid menurut Syaikh Nawawi al-Bantani adalah pondasi agama yang tidak hanya menegakkan iman, tapi juga menuntun perilaku. Ia menyatukan antara logika dan cinta, antara pengetahuan dan penghambaan.
Dalam Kasyifatus Saja, beliau menghidupkan kembali makna kalimat Lā ilāha illā Allāh sebagai nyawa kehidupan: sederhana, tapi menyelamatkan.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement