Surau.co. Ilmu adalah cahaya, dan setiap cahaya membutuhkan niat yang benar agar tidak padam di tengah perjalanan. Dalam kitab Kasyīfatu al-Sajā fī Syarḥ Ṣafīnatin-Najā, Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani membuka karyanya dengan pesan sederhana namun dalam: belajar agama bukan sekadar memahami hukum, tetapi menempuh jalan keselamatan (ṭarīq an-najāh).
Frasa “jalan keselamatan” menjadi kunci utama dalam kitab ini, sebab seluruh penjelasan di dalamnya bertujuan mengantarkan manusia dari kegelapan kebodohan menuju terang pengetahuan dan kedekatan dengan Allah.
Ilmu yang Menyelamatkan, Bukan Sekadar Mengetahui
Dalam mukaddimahnya, Syaikh Nawawi menulis dengan kelembutan seorang guru sekaligus ketegasan seorang ulama:
“اِعْلَمْ أَنَّ الْعِلْمَ هُوَ سَبَبُ النَّجَاةِ وَالسَّعَادَةِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ.”
“Ketahuilah, sesungguhnya ilmu adalah sebab keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.”
Pesan ini menggugah. Ia tidak bicara tentang ilmu sebagai simbol status sosial, melainkan sebagai alat penyelamat. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering tersesat bukan karena kurang pandai, melainkan karena kehilangan arah dalam niatnya.
Di sinilah Syaikh Nawawi mengingatkan: niat adalah kompas spiritual. Ilmu tanpa niat yang benar hanya akan membuat seseorang berputar dalam lingkaran ego.
Niat Sebagai Kompas Ruhani
Kasyifatus Saja menegaskan bahwa setiap langkah menuju ilmu harus dimulai dengan niat yang tulus. Syaikh Nawawi menulis:
“إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، فَمَنْ أَرَادَ الْعِلْمَ لِلَّهِ فَهُوَ سَبِيلُ النَّجَاةِ.”
“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya. Maka barang siapa mencari ilmu karena Allah, itulah jalan keselamatan.”
Betapa banyak orang menuntut ilmu, tetapi tidak semua mencapai keselamatan.
Fenomena ini sangat terasa di zaman modern. Ilmu sering dijadikan alat untuk berdebat, mencari pengakuan, atau membangun pengaruh. Padahal, menurut Syaikh Nawawi, ilmu sejati harus menumbuhkan rasa takut (khauf) dan rasa tunduk (khusyu‘) kepada Allah.
Beliau mengutip firman Allah ﷻ:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” (QS. Fāṭir [35]: 28)
Ilmu tanpa rasa takut, menurut beliau, hanyalah “beban di kepala, bukan cahaya di hati.” Maka, belajar fiqih, akidah, atau tafsir bukan tujuan akhir; ia hanyalah pintu menuju kesadaran batin bahwa kita sepenuhnya milik Allah.
Menata Hati di Tengah Bising Dunia
Di tengah dunia yang serba cepat, pesan Kasyifatus Saja terasa semakin relevan. Banyak orang haus pengetahuan, namun sedikit yang menata hatinya sebelum menimba ilmu.
Syaikh Nawawi mengingatkan:
“مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ حَرَمَهُ اللَّهُ بَرَكَتَهُ.”
“Barang siapa mencari ilmu bukan karena Allah, maka Allah akan mencabut keberkahannya.”
Kita bisa membayangkan konteksnya dalam kehidupan sekarang. Media sosial penuh dengan “ustaz viral” dan “influencer agama” yang pandai bicara tetapi sering lupa mendengar. Dalam situasi ini, pesan Nawawi al-Bantani menjadi renungan penting:
Ilmu sejati bukan yang membuat orang banyak berbicara, tapi yang membuat hati semakin tunduk.
Ilmu dan Keselamatan dalam Perspektif Spiritual
Kata “najah” (keselamatan) yang menjadi judul kitab Safīnatun Najah dan syarahnya Kasyifatus Saja memiliki makna filosofis mendalam. Ia melambangkan kapal keselamatan yang membawa manusia melintasi lautan dunia.
Syaikh Nawawi menulis:
“الدُّنْيَا بَحْرٌ عَمِيقٌ، وَسَفِينَتُهُ الْعِلْمُ وَالْعَمَلُ.”
“Dunia adalah lautan yang dalam, dan kapalnya adalah ilmu dan amal.”
Kalimat ini menggambarkan realitas manusia modern: hidup dalam arus deras informasi, kesenangan, dan ujian. Hanya mereka yang memiliki ilmu dan amal saleh yang dapat menyeberang dengan selamat.
Tanpa keduanya, manusia akan tenggelam dalam gelombang hawa nafsu dan kebingungan.
Ilmu dan Amal: Dua Sayap Keselamatan
Syaikh Nawawi mengajarkan keseimbangan antara ilmu dan amal. Dalam pandangan beliau, keduanya seperti dua sayap burung — tak satu pun boleh patah. Ia menulis:
“مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَّثَهُ اللَّهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.”
“Barang siapa mengamalkan apa yang ia ketahui, Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum ia ketahui.”
Ini bukan sekadar janji teologis, tapi prinsip psikologis: amal memperdalam makna ilmu. Ketika seseorang mengamalkan wudhunya dengan khusyu‘, shalatnya dengan ikhlas, dan zakatnya dengan penuh kasih, maka pemahamannya terhadap ilmu itu akan tumbuh secara ruhani. Itulah makna “barakah ilmu” yang dijelaskan Syaikh Nawawi: ilmu yang hidup dan menumbuhkan, bukan hanya dihafalkan.
Jalan Keselamatan di Tengah Keterasingan Modern
Pesan Kasyifatus Saja tidak hanya hidup di ruang madrasah. Ia menjelma menjadi panduan batin di tengah modernitas yang serba asing.
Ketika manusia mencari makna hidup di antara layar dan rutinitas, pesan mukaddimah Syaikh Nawawi mengajak kita kembali kepada niat: untuk apa semua ini?
Belajar, bekerja, bahkan beribadah — semua menjadi kosong tanpa niat yang jernih.
Dan niat itu, dalam pandangan beliau, adalah jalan keselamatan yang sejati.
Kesimpulan: Cahaya dari Mukaddimah
Mukaddimah Kasyifatus Saja mengajarkan bahwa ilmu bukan sekadar alat logika, tapi jembatan menuju Allah.
Ilmu yang tidak mengantarkan pada rasa takut dan cinta hanyalah beban.
Namun ilmu yang dilandasi niat ikhlas, diamalkan dengan rendah hati, akan menjadi cahaya keselamatan di dunia dan akhirat.
Syaikh Nawawi menutup mukaddimahnya dengan doa: agar Allah menjadikan ilmu kita bermanfaat dan langkah kita terarah menuju ridha-Nya.
Doa itu pula yang layak kita panjatkan setiap kali membuka buku, membaca ayat, atau menulis kalimat — karena dari niat yang benar, lahirlah keselamatan sejati.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
