Surau.co. Di tengah kemajuan teknologi dan kebebasan berpendapat, kata adab sering terdengar seperti peninggalan masa lalu. Padahal, kalau kita cermati, krisis terbesar manusia modern bukan kurang pengetahuan, tapi kurang adab. Orang makin pandai bicara, tapi sulit menahan diri. Media sosial memperlihatkan banyak kecerdasan logika, tapi sedikit kecerdasan hati.
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, seorang ulama besar dari Tarim, Yaman, melalui karyanya Risālatul Mu‘āwanah, menghadirkan pelajaran penting tentang adab — bukan sekadar sopan santun formal, tapi sebagai wujud kecerdasan sosial dan spiritual. Menurut beliau, adab bukan simbol kuno, tapi cermin kedewasaan iman dan kematangan jiwa.
Adab: Cerminan Iman dan Akhlak
Adab bukan sekadar cara duduk atau cara berbicara, tapi tentang bagaimana seseorang menempatkan dirinya di hadapan Allah, manusia, dan kehidupan. Dalam Risālatul Mu‘āwanah, Habib Abdullah menulis:
وَاعْلَمْ أَنَّ الْأَدَبَ مَعَ اللّٰهِ وَمَعَ خَلْقِهِ مِنْ أَعْظَمِ أُصُولِ الدِّينِ.
“Ketahuilah bahwa adab terhadap Allah dan terhadap makhluk-Nya merupakan salah satu fondasi terbesar dalam agama.”
Ini berarti, seseorang yang beriman tapi tidak beradab belum sempurna imannya. Rasulullah ﷺ pun menegaskan hal serupa:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Adab, dalam pandangan al-Haddad, adalah jembatan antara ilmu dan amal. Orang berilmu tanpa adab akan sombong, sedangkan orang beramal tanpa adab akan tersesat dalam ego.
Kecerdasan Sosial: Wajah Modern dari Adab
Kalau di masa lalu adab identik dengan etika, di masa kini ia bisa disebut sebagai kecerdasan sosial. Adab menuntun seseorang untuk peka terhadap perasaan orang lain, tahu kapan harus bicara, kapan mendengarkan, dan bagaimana bersikap dengan bijak di ruang sosial.
Habib Abdullah al-Haddad menulis:
وَكُنْ لَيِّنَ الْجَانِبِ مَعَ النَّاسِ، بَسَّامًا فِي وُجُوهِهِمْ، غَيْرَ عَبُوسٍ وَلَا قَطُوبٍ.
“Bersikaplah lembut terhadap manusia, tersenyumlah di wajah mereka, jangan bermuka masam dan jangan bersikap keras.”
Kalimat ini menggambarkan adab sosial yang dalam — lembut dalam tutur, ramah dalam wajah, dan rendah hati dalam pergaulan.
Di dunia yang makin terpolarisasi oleh opini, sikap seperti ini bukan kelemahan, tapi kekuatan.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ صَدَقَةٌ
“Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah.” (HR. Tirmidzi)
Jadi, adab bukan hanya soal sopan, tapi tentang memberi energi baik kepada sesama. Ia adalah bentuk kecerdasan sosial yang bersumber dari keimanan.
Adab kepada Allah: Dasar dari Segala Hubungan
Sebelum belajar beradab kepada manusia, Habib Abdullah menekankan pentingnya adab kepada Allah. Ia menulis:
عَلَيْكَ بِأَدَبِ الْعُبُودِيَّةِ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ.
“Wajib bagimu menjaga adab kehambaan, baik lahir maupun batin.”
Adab kepada Allah berarti menyadari posisi diri sebagai hamba — tunduk, sopan, dan penuh hormat. Ia tampak dalam cara kita berdoa, beribadah, bahkan dalam cara berpikir tentang takdir.
Ketika hati beradab kepada Allah, maka lidah, pikiran, dan tindakan pun ikut beradab kepada manusia. Karena itu, seseorang yang benar-benar beradab kepada Tuhan akan otomatis berperilaku lembut, sabar, dan pemaaf kepada sesama.
Allah berfirman:
وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًۭا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَـٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَـٰمًۭا
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah mereka yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang damai.” (QS. Al-Furqān [25]: 63)
Adab kepada Allah menciptakan ketenangan batin, sedangkan adab kepada manusia menciptakan kedamaian sosial.
Adab dalam Bicara: Cermin Kedewasaan Iman
Zaman media sosial membuat kata-kata bisa lebih cepat menyakiti daripada pedang. Karena itu, menjaga adab dalam berbicara adalah bentuk kecerdasan spiritual yang tinggi.
Habib Abdullah menasihatkan:
إِحْفَظْ لِسَانَكَ عَنِ الْكَذِبِ وَالْغِيبَةِ وَالنَّمِيمَةِ وَالْكَثْرَةِ الْفَارِغَةِ.
“Jagalah lidahmu dari dusta, ghibah, namimah (adu domba), dan pembicaraan yang sia-sia.”
Orang yang beradab tidak asal bicara. Ia menimbang kata dengan hati, bukan dengan ego. Ia tahu kapan diam lebih bijak daripada membalas.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di sini terlihat, adab bicara bukan hal kecil. Ia adalah ukuran keimanan. Orang yang beriman akan mengontrol lisannya, karena ia tahu kata-kata bisa menjadi pahala atau dosa.
Adab dalam Pergaulan: Sederhana Tapi Dalam
Habib Abdullah menekankan bahwa adab juga tampak dalam interaksi sosial. Ia menulis:
إِذَا جَلَسْتَ مَعَ النَّاسِ فَكُنْ حَسَنَ الْجُلُوسِ، لَطِيفَ الْمُجَالَسَةِ، وَتَرَكْتَ مَا لَا يَعْنِيكَ.
“Apabila engkau duduk bersama orang lain, maka duduklah dengan baik, bersikaplah lembut, dan tinggalkan hal-hal yang tidak berguna.”
Ini bukan hanya nasihat sopan santun, tapi ajaran tentang empati dan kepekaan sosial. Dalam pergaulan, yang penting bukan berapa banyak kita bicara, tapi seberapa nyaman orang berada di sekitar kita.
Orang beradab tahu bagaimana menjaga jarak tanpa menjauh, menasihati tanpa merendahkan, dan menegur tanpa melukai. Ia tahu bahwa setiap orang punya kehormatan yang harus dijaga.
Adab dalam Dunia Modern: Dari Meja Kerja sampai Media Sosial
Kalau Habib Abdullah hidup di masa kini, barangkali beliau akan menasihatkan: “Beradablah juga di dunia digital.” Sebab, adab tidak berhenti di masjid atau majelis ilmu — ia harus hadir di kolom komentar, di ruang rapat, dan di ruang digital yang ramai.
Kita bisa belajar dari prinsip yang beliau ajarkan:
وَكُنْ مُنْصِفًا فِي كُلِّ أُمُورِكَ، وَاتَّقِ اللّٰهَ فِي سِرِّكَ وَعَلَانِيَتِكَ.
“Berlaku adillah dalam segala urusanmu, dan bertakwalah kepada Allah baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan.”
Artinya, adab bukan soal tempat, tapi soal kesadaran. Orang yang beradab tidak akan menggunakan media sosial untuk menjatuhkan orang lain. Ia menjaga tutur digital sebagaimana ia menjaga tutur lisan.
Kecerdasan sosial ala al-Haddad ini sangat relevan hari ini. Dunia butuh lebih banyak orang beradab — yang tidak hanya cerdas otak, tapi juga cerdas hati.
Adab Sebagai Jalan Kedewasaan Spiritual
Seseorang yang belajar adab sejatinya sedang belajar menjadi manusia seutuhnya. Ia melatih empati, menahan ego, dan membangun hubungan yang sehat dengan Allah dan manusia.
Habib Abdullah menulis:
اِعْلَمْ أَنَّ الْعِبَادَةَ لَا تَنْفَعُ إِلَّا بِالأَدَبِ.
“Ketahuilah, ibadah tidak akan bermanfaat tanpa adab.”
Adab menjadi ruh dari setiap amal. Orang yang beradab tidak hanya shalat tepat waktu, tapi juga tahu bagaimana menjaga perasaan orang di sekitarnya. Ia tidak hanya pandai membaca doa, tapi juga mengamalkan kasih dalam perilaku.
Ketika adab menjadi kebiasaan, seseorang akan tumbuh dewasa secara rohani. Ia tidak mudah tersinggung, tidak mudah marah, dan tidak haus pengakuan. Ia tahu bahwa kemuliaan sejati terletak pada ketenangan batin.
Penutup: Adab, Bahasa Hati yang Tak Pernah Kuno
Adab tidak akan pernah usang. Ia selalu hidup di hati orang-orang yang ingin menjadi manusia yang lebih baik. Dunia boleh berubah, teknologi boleh maju, tapi nilai adab tetap abadi.
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad mengajarkan bahwa adab bukan hiasan moral, melainkan pondasi iman.
Adab adalah bentuk kecerdasan yang tidak bisa digantikan oleh mesin, algoritma, atau sertifikat akademik.
“Adab adalah wangi ruhani yang membuat ilmu terasa indah, amal terasa ringan, dan kehidupan terasa damai.”
Jadi, jangan malu untuk beradab. Karena dalam adab, ada cinta. Dalam adab, ada kebijaksanaan. Dan dalam adab, ada Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
