Surau.co. Kita hidup di zaman yang riuh. Suara notifikasi, percakapan, dan opini berseliweran tanpa henti. Diam sering dianggap malas, tidak produktif, atau tidak tahu apa-apa. Padahal, dalam pandangan Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, diam bisa menjadi bentuk dzikir yang paling dalam — jika hati masih terhubung dengan Allah.
Dalam kitab Risālatul Mu‘āwanah, Habib Abdullah menulis dengan lembut :
وَاعْلَمْ أَنَّ السُّكُوتَ مَعَ الْقَلْبِ الْحَاضِرِ ذِكْرٌ.
“Ketahuilah, diam yang disertai kehadiran hati adalah dzikir.”
Kalimat ini sederhana, tapi maknanya dalam. Ia mengajarkan bahwa dzikir bukan hanya dengan lidah, tapi juga dengan kesadaran. Bahkan ketika mulut tak bergerak, hati bisa tetap menyebut nama-Nya. Inilah dzikir diam — dzikir yang hening tapi hidup.
Dzikir Bukan Sekadar Ucapan, Tapi Kesadaran
Kita sering mengira bahwa dzikir harus berupa lantunan kalimat, seperti Subhānallāh, Alhamdulillāh, atau Lā ilāha illallāh. Semua itu benar dan mulia. Namun, Risālatul Mu‘āwanah menuntun kita lebih dalam: dzikir sejati adalah kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap helaan napas.
Al-Qur’an menegaskan hal ini:
ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًۭا وَقُعُودًۭا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ
“(Ialah) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan berbaring, serta mereka memikirkan ciptaan langit dan bumi.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 191)
Ayat ini menggambarkan dzikir sebagai kondisi batin yang menyatu dalam hidup, bukan sekadar aktivitas lisan. Dzikir seperti ini tidak membutuhkan waktu khusus atau tempat tertentu — karena Allah selalu hadir di mana pun hati hadir.
Saat Diam Lebih Nyaring dari Seribu Kata
Habib Abdullah al-Haddad menyadarkan kita bahwa dalam diam pun seseorang bisa dekat dengan Allah. Diam bukan tanda kosong, tapi tanda penuh — penuh makna, penuh kesadaran, penuh tafakkur.
Dalam Risālatul Mu‘āwanah, beliau menulis:
وَكَمْ مِنْ سُكُوتٍ خَيْرٌ مِنَ الْكَلَامِ، وَكَمْ مِنْ كَلَامٍ خَيْرٌ مِنَ السُّكُوتِ، وَالْعِبْرَةُ فِي ذٰلِكَ بِالنِّيَّةِ وَالْحَالِ.
“Berapa banyak diam yang lebih baik daripada berbicara, dan berapa banyak bicara yang lebih baik daripada diam; semuanya tergantung pada niat dan keadaan hati.”
Diam yang penuh kesadaran jauh lebih berharga daripada bicara yang penuh kelalaian. Dalam diam, hati bisa berdialog dengan Allah. Sementara dalam banyak kata, bisa jadi hati justru makin jauh.
Diam yang Menghidupkan: Dzikir dalam Keheningan
Dzikir diam bukan sekadar diam secara fisik, tetapi diam yang hidup. Seperti seseorang yang duduk menatap langit sore, lalu hatinya bergetar karena menyadari betapa kecil dirinya dan betapa luas kasih sayang Allah. Ia tidak berkata apa pun, tapi hatinya berdzikir tanpa suara.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ ذَكَرَ اللّٰهَ فِي نَفْسِهِ ذَكَرَهُ اللّٰهُ فِي نَفْسِهِ
“Barang siapa mengingat Allah dalam dirinya, maka Allah pun mengingatnya dalam Diri-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan betapa agungnya dzikir batin. Allah membalas dzikir hening dengan ingatan kasih dari sisi-Nya. Maka, diam bukan berarti tidak berdzikir. Diam bisa jadi bentuk dzikir yang paling murni — karena ia tidak mencari perhatian siapa pun selain Allah.
Hening yang Menguatkan: Latihan Menyambung Hati
Di tengah hiruk pikuk kehidupan, hening adalah ruang penyembuhan. Banyak orang kehilangan kedamaian bukan karena kurang beribadah, tapi karena terlalu banyak suara dunia yang memenuhi pikirannya.
Habib Abdullah al-Haddad mengingatkan:
وَاحْرِصْ عَلَى الْخَلْوَةِ وَالْعُزْلَةِ، فَفِيهِمَا تَسْلُو الْقُلُوبُ وَتَسْتَنِيرُ الْأَرْوَاحُ.
“Berusahalah untuk menyendiri dan berdiam diri, karena di dalamnya hati menjadi tenang dan ruh mendapatkan cahaya.”
Artinya, diam dan menyepi bukan sekadar menjauh dari manusia, tapi mendekat pada Allah. Dalam keheningan, seseorang bisa melihat isi dirinya dengan jujur. Ia bisa merasakan apakah hatinya masih nyambung dengan Allah, atau sudah terputus oleh kesibukan dunia.
Diam yang seperti ini melahirkan kejernihan — dari sinilah tumbuh kebijaksanaan dan ketenangan iman.
Diam yang Salah dan Diam yang Benar
Tentu tidak semua diam itu dzikir. Ada diam yang lahir dari malas, dari takut, atau dari acuh. Itu bukan dzikir, tapi kelalaian. Sedangkan diam yang benar adalah diam yang sadar — hati tetap aktif mengingat, meski lidah berhenti bicara.
Seorang ulama pernah berkata, “Lidah bisa diam, tapi hati tetap berbicara.” Itulah dzikir sejati.
Diam yang benar menumbuhkan rasa hadir (hudhur). Orang yang hatinya hadir tidak akan terseret oleh reaksi dunia. Ia tenang ketika dipuji, dan sabar ketika dicaci.
Dalam Risālatul Mu‘āwanah, Habib al-Haddad memberi peringatan:
وَإِيَّاكَ وَالْغَفْلَةَ فَإِنَّهَا مَوْتُ الْقُلُوبِ.
“Jauhilah kelalaian, karena kelalaian adalah kematian hati.”
Maka, diam yang tidak diisi dengan dzikir akan menjadi kelalaian yang mematikan hati. Namun, diam yang diisi dengan kesadaran menjadi dzikir yang menghidupkan.
Diam di Tengah Dunia yang Sibuk
Tidak mudah menjaga keheningan batin di tengah dunia yang terus bergerak. Namun, itulah makna sejati dari muraqabah — merasa diawasi dan terhubung dengan Allah kapan pun, di mana pun.
Kita bisa diam meski sedang bekerja. Kita bisa berdzikir meski sedang mengajar, berkendara, atau menulis. Kuncinya bukan pada suara, tapi pada arah hati.
Habib Abdullah al-Haddad mengingatkan:
كُنْ مَعَ اللّٰهِ حَيْثُ مَا كُنْتَ
“Hendaklah engkau bersama Allah di mana pun engkau berada.”
Artinya, dzikir bukan urusan waktu tertentu, tapi keadaan hati yang terus terjaga. Jika kita mampu menjaga kesadaran ini, maka bahkan kesibukan pun bisa menjadi dzikir.
Dzikir Diam Sebagai Puncak Kedewasaan Ruhani
Ketika seseorang sudah terbiasa dengan dzikir diam, ia tidak lagi sibuk membandingkan ibadahnya dengan orang lain. Ia tenang karena tahu bahwa yang penting bukan seberapa sering ia bicara tentang Allah, tapi seberapa dalam ia merasa bersama Allah.
Dzikir diam adalah tanda kedewasaan rohani. Ia tidak mencari pengakuan, tidak haus sanjungan, dan tidak terganggu oleh keramaian dunia. Seperti laut yang tenang di permukaan, tapi dalam di bawahnya.
Rasulullah ﷺ sendiri dikenal sebagai pribadi yang banyak diam dan merenung. Para sahabat meriwayatkan bahwa beliau sering duduk dalam hening panjang, dengan wajah tenang namun bercahaya. Dalam diam itu, hati beliau selalu terhubung kepada Allah.
Penutup: Diam yang Menyambung, Bukan Memutus
Diam yang baik bukan menjauh dari dunia, tapi menjauh dari kebisingan batin. Bukan berarti pasif, tapi aktif dalam kesadaran.
Kalau hati masih nyambung dengan Allah, setiap diam bisa menjadi dzikir.
Setiap tarikan napas bisa menjadi tasbih.
Setiap kesunyian bisa menjadi ruang pertemuan antara hamba dan Penciptanya.
“Ketika lidah berhenti, biarlah hati yang berbicara. Sebab diam yang sadar adalah bahasa jiwa yang hanya dimengerti oleh Allah.”
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
