Surau.co. Di zaman yang serba cepat ini, manusia sering terjebak dalam kesibukan lahiriah. Kita menunaikan banyak ibadah—shalat, puasa, sedekah, bahkan mengajar dan menolong sesama—namun tak jarang hati kita kosong dari kehadiran niat yang tulus. Amal yang tampak besar di mata manusia bisa menjadi ringan di hadapan Allah ketika hati tidak hadir di dalamnya.
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam Risālatul Mu‘āwanah menulis dengan lembut namun tegas:
«إيّاكَ والعملَ لغيرِ اللهِ، فإنَّهُ لا يَنفَعُكَ إلاّ ما كانَ خالصًا للهِ»
“Waspadalah engkau dari beramal bukan karena Allah, sebab tidak ada yang bermanfaat bagimu kecuali amal yang tulus karena-Nya.”
Kalimat ini menembus batin. Ia mengingatkan bahwa amal yang dikerjakan tanpa keikhlasan ibarat asap—sekejap tampak, lalu hilang tanpa jejak.
Dalam dunia spiritual Islam, hati adalah pusat nilai dari setiap amal. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu‘arā: 89)
Ayat ini menegaskan bahwa yang diterima Allah bukanlah banyaknya amal, melainkan kebersihan hati di balik amal itu. Tanpa hati yang hadir, amal kehilangan ruhnya.
Amal yang Banyak tapi Tanpa Jiwa
Betapa sering kita sibuk dengan ibadah fisik namun lupa menanamkan makna di dalamnya. Kita membaca Al-Qur’an, tetapi pikiran melayang entah ke mana. Kita shalat, namun hati disibukkan dengan urusan dunia. Amal seperti ini bisa kehilangan nilainya di sisi Allah karena tidak diiringi dengan kesadaran hati.
Habib Abdullah menjelaskan lagi:
«العَمَلُ بلا حُضُورِ القلبِ لا ثَمَرَةَ له»
“Amal yang dilakukan tanpa kehadiran hati tidak memiliki buah.”
Kehadiran hati adalah roh dari amal. Ia seperti api yang menghidupkan bara. Tanpa hati, amal menjadi gerak tubuh tanpa makna. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini bukan hanya tentang niat awal sebelum beramal, tetapi tentang keberlangsungan kesadaran dalam setiap amal. Banyak orang memulai dengan niat baik, namun di tengah jalan hatinya berpaling karena pujian atau kepentingan diri. Di sinilah keikhlasan diuji.
Keikhlasan: Cermin dari Jiwa yang Tenang
Keikhlasan bukan sekadar menghilangkan riya atau pamrih, melainkan menata hati agar merasa cukup dengan pandangan Allah semata. Ia lahir dari keyakinan bahwa hanya Allah yang berhak menilai amal. Habib Abdullah menyebutkan:
«الإخلاصُ هوَ تصفيةُ العملِ مِنْ كُلِّ شَوبٍ»
“Keikhlasan adalah memurnikan amal dari segala campuran (tujuan selain Allah).”
Manusia yang ikhlas tidak terikat oleh penilaian orang. Ia tenang meski tak dikenal, tetap beramal meski tak dipuji. Ia sadar bahwa yang abadi hanyalah ridha Allah.
Al-Qur’an juga mengingatkan:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak diperintah kecuali agar menyembah Allah dengan ikhlas menjalankan agama.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Ayat ini menjadi dasar bahwa keikhlasan bukan sekadar anjuran moral, tetapi perintah ilahi yang menjadi syarat diterimanya ibadah.
Ketika Amal Menjadi Asap
Bayangkan seseorang yang membangun masjid, menyumbang banyak dana, dan melakukan banyak kegiatan sosial, namun hatinya lebih mengharap pujian daripada ridha Allah. Dalam pandangan manusia, amalnya tampak megah. Namun, di hadapan Allah, amal itu mungkin lenyap seperti asap.
Habib Abdullah memberi peringatan halus tapi tajam:
«مَنْ عَمِلَ لغيرِ اللهِ فقدْ جَعَلَ اللهَ شَرِيكًا فِي نِيَّتِهِ»
“Barang siapa beramal bukan karena Allah, maka ia telah menjadikan sekutu bagi Allah dalam niatnya.”
Inilah yang membuat amal kehilangan bobot spiritualnya. Amal yang tidak lahir dari hati yang bersih akan cepat pudar, sebagaimana asap yang hilang ditiup angin.
Kehadiran hati dalam amal bukan sekadar konsentrasi, tetapi kesadaran bahwa setiap gerak adalah persembahan kepada Sang Pencipta. Saat hati hadir, amal sekecil apa pun bisa bernilai besar. Rasulullah ﷺ bersabda:
رُبَّ عَمَلٍ صَغِيرٍ تُكَبِّرُهُ النِّيَّةُ، وَرُبَّ عَمَلٍ كَبِيرٍ تُصَغِّرُهُ النِّيَّةُ
“Bisa jadi amal kecil menjadi besar karena niatnya, dan bisa jadi amal besar menjadi kecil karena niatnya.” (HR. Baihaqi)
Menyucikan Niat di Tengah Dunia yang Sibuk
Zaman ini mengajarkan kita untuk selalu tampil, dilihat, dan diakui. Media sosial membuat ibadah bisa berubah menjadi ajang pamer kebaikan. Namun, orang yang berjuang menghadirkan hati dalam amal tidak mudah tergoda oleh tepuk tangan dunia. Ia sadar bahwa kemurnian niat harus dijaga di tengah godaan yang halus.
Habib Abdullah menulis pesan menenangkan bagi mereka yang berjuang dalam kesunyian:
«مَنْ صَدَقَ فِي عَمَلِهِ نَفَعَهُ اللهُ وَرَفَعَ ذِكْرَهُ، وَإِنْ خَفِيَ عَنِ النَّاسِ»
“Barang siapa jujur dalam amalnya, Allah akan memberinya manfaat dan mengangkat namanya, meski ia tersembunyi dari pandangan manusia.”
Keikhlasan justru membuat amal lebih kuat. Allah tidak memerlukan publisitas, tetapi mencintai kesunyian yang jujur. Dalam diamnya seorang yang ikhlas, ada cahaya yang menembus langit.
Latihan Hati: Dari Pamer Menuju Tulus
Keikhlasan tidak datang seketika. Ia hasil latihan panjang. Hati manusia punya lapisan-lapisan yang harus disucikan: dari pamer (riya’), dari cinta pujian (‘ujub), hingga dari rasa ingin dibalas (gharar). Semua itu perlu disingkirkan perlahan dengan mujahadah—berjuang melawan diri sendiri.
Habib Abdullah memberi panduan:
«عَوِّدْ نَفْسَكَ عَلَى الإِخْلاصِ فِي كُلِّ عَمَلٍ صَغِيرٍ كَانَ أَوْ كَبِيرٍ»
“Biasakan dirimu untuk ikhlas dalam setiap amal, kecil maupun besar.”
Kita bisa memulai dari hal sederhana: menolong tanpa menunggu terima kasih, tersenyum tanpa mengharap balasan, atau berdoa tanpa ingin dipuji sebagai saleh. Jika latihan ini terus dilakukan, hati akan terbiasa hadir dalam amal, dan amal akan tumbuh menjadi cahaya yang abadi.
Keikhlasan sebagai Jalan Kedamaian
Keikhlasan membawa kedamaian batin. Orang yang tulus tidak tertekan oleh penilaian manusia, tidak cemas jika tak dihargai, dan tidak marah jika dilupakan. Ia beramal dengan ringan karena hatinya yakin bahwa Allah Maha Melihat.
Habib Abdullah berkata:
«مَنْ أَخْلَصَ لِلَّهِ كَفَاهُ اللهُ كُلَّ شَيْءٍ»
“Barang siapa ikhlas karena Allah, maka Allah akan mencukupi segala urusannya.”
Kalimat ini menegaskan bahwa keikhlasan bukan hanya soal pahala di akhirat, tetapi juga sumber kekuatan di dunia. Orang yang ikhlas hidupnya sederhana, namun hatinya lapang. Ia bekerja keras, tetapi tak terbakar ambisi. Ia beribadah, tetapi tak terbebani oleh pamer.
Penutup: Hati yang Hadir adalah Cahaya
Akhirnya, keikhlasan adalah perjalanan pulang menuju hati. Amal tanpa kehadiran hati ibarat nyala lilin tanpa sumbu—tampak terang sesaat, lalu padam tanpa bekas. Namun, amal yang lahir dari hati yang tulus akan bertahan, karena ia disinari oleh cahaya ilahi.
Mungkin kita tak selalu bisa ikhlas seutuhnya, tetapi setiap usaha untuk menghadirkan hati adalah langkah menuju keikhlasan sejati. Sebab Allah tidak menuntut kesempurnaan, melainkan kejujuran dalam setiap usaha.
Seperti yang dikatakan Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad:
«مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ عَلَى الإِخْلاصِ أَعَانَهُ اللهُ عَلَيْهِ»
“Barang siapa berjuang memerangi dirinya demi keikhlasan, Allah akan menolongnya untuk meraihnya.”
Maka, jangan biarkan amal kita menjadi asap yang hilang. Hadirkan hati dalam setiap sujud, dalam setiap langkah kebaikan. Sebab hanya hati yang hidup yang mampu menyalakan cahaya amal menuju ridha Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
