Khazanah
Beranda » Berita » Kenapa Kita Rajin Ibadah Tapi Gampang Marah? Ini Kata Risālatul Mu‘āwanah

Kenapa Kita Rajin Ibadah Tapi Gampang Marah? Ini Kata Risālatul Mu‘āwanah

rajin ibadah tapi masih mudah marah dalam risalatul muawanah
Seorang manusia duduk tenang di dalam cahaya lembut, sementara bayangan dirinya tampak memegang hati bercahaya — melambangkan pergulatan batin antara ibadah dan emosi. Nuansa lembut, realistik, dan filosofis.

Surau.co. Kita semua pernah merasa heran: sudah rajin salat, ikut pengajian, bahkan sedekah rutin — tapi kok masih gampang tersulut emosi? Ada yang tersinggung sedikit, langsung naik pitam. Ada yang hatinya cepat panas walau hanya karena hal kecil. Fenomena ini nyata dan sering terjadi di sekitar kita, bahkan pada diri kita sendiri.

Dalam Risālatul Mu‘āwanah, Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad memberikan panduan yang sangat mendalam. Ia menegaskan bahwa ibadah tanpa kesadaran hati hanya akan menjadi rutinitas lahiriah yang belum tentu berbuah ketenangan batin. Habib Abdullah menulis:

فَاعْلَمْ أَنَّ الْعِبَادَةَ إِذَا لَمْ تُصْحَبْ بِالْإِخْلَاصِ وَالتَّأَدُّبِ لَا تُثْمِرُ ثَمَرَتَهَا.

“Ketahuilah, ibadah yang tidak disertai dengan keikhlasan dan adab tidak akan menumbuhkan buahnya.”

Ibadah sejatinya adalah jalan untuk menata hati, bukan hanya memenuhi kewajiban ritual. Ketika ibadah belum menyentuh lapisan batin, maka ego dan amarah masih mudah muncul.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Akar Masalah: Ibadah Tanpa Kesadaran Hati

Banyak orang beribadah dengan benar secara syariat, tapi lupa menanamkan kesadaran tentang untuk siapa ibadah itu dilakukan. Dalam kondisi seperti ini, ibadah bisa menjadi formalitas — indah di luar, tapi hampa di dalam.

Al-Qur’an menyinggung hal ini dalam firman Allah:

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ، الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
“Maka celakalah orang-orang yang salat, yaitu mereka yang lalai dari salatnya.” (QS. Al-Mā‘ūn [107]: 4–5)

Lalai di sini bukan berarti tidak salat, tapi salat tanpa hati. Lalai berarti hadir tubuhnya, tapi ruhnya pergi entah ke mana. Hatinya masih sibuk dengan dunia, dengan gengsi, dengan amarah yang belum diolah.

Habib Abdullah al-Haddad menjelaskan, ibadah yang tidak diiringi dengan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) akan sulit menumbuhkan kelembutan hati. Maka tidak heran jika orang yang rajin beribadah masih mudah marah — karena amarah bukan dilawan dengan banyaknya ibadah, tapi dengan pengendalian diri (mujāhadah an-nafs).

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Marah: Letupan Nafsu yang Belum Terkendali

Marah adalah bagian dari fitrah manusia. Namun, marah yang tak terkendali menunjukkan bahwa hati masih dikuasai oleh nafsu. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang kuat bukanlah yang menang dalam gulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa kekuatan sejati bukan fisik, melainkan kekuatan menguasai emosi. Dalam konteks Risālatul Mu‘āwanah, ini disebut sebagai mujāhadah an-nafs — perjuangan melawan hawa nafsu.

Habib al-Haddad menulis:

وَاعْلَمْ أَنَّ النَّفْسَ إِذَا لَمْ تُرَاضَ عَلَى الصَّبْرِ وَالْحِلْمِ لَا تَسْتَقِيمُ عَلَى طَاعَةٍ.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

“Ketahuilah, jiwa jika tidak dilatih dengan kesabaran dan kelapangan hati, ia tidak akan istiqamah dalam ketaatan.”

Artinya, jiwa yang tidak terbiasa dilatih menahan diri, akan sulit tenang meski banyak ibadahnya.

Mengapa Ibadah Tak Selalu Mengubah Perilaku?

Salah satu penyebab utama ibadah tidak membentuk akhlak adalah karena fokus kita hanya pada bentuk, bukan pada makna. Salat dianggap selesai setelah salam. Padahal, hakikat salat baru dimulai setelah itu — ketika kita kembali berhadapan dengan manusia, dengan ujian sabar, dengan amarah, dan dengan ego.

Al-Qur’an menegaskan fungsi ibadah yang sejati:

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
“Sesungguhnya salat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabūt [29]: 45)

Jika salat tidak mencegah kita dari sifat marah, kasar, dan buruk sangka, mungkin bukan salatnya yang salah, tapi kesadaran kita saat salat yang belum hadir.

Habib al-Haddad menekankan pentingnya murāqabah (merasa diawasi Allah). Orang yang hatinya sadar bahwa Allah selalu melihatnya, tidak akan mudah terpancing amarah, karena ia malu menampakkan keburukan di hadapan Tuhannya.

Belajar dari Proses: Amarah sebagai Cermin Jiwa

Salah satu kunci ajaran Risālatul Mu‘āwanah adalah memahami diri melalui reaksi batin. Saat kita marah, itu adalah alarm dari Allah agar kita menengok isi hati. Apakah amarah itu muncul karena ego? Karena ingin dihormati? Karena merasa benar sendiri?

Dalam salah satu bagiannya, Habib al-Haddad menulis:

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”

Amarah dapat menjadi cermin yang memantulkan siapa diri kita sebenarnya. Jika kita jujur melihatnya, maka kita akan menemukan celah-celah yang harus diperbaiki.

Menikmati proses mengendalikan marah adalah bagian dari perjalanan menuju kematangan iman. Ia tidak instan, tetapi bertahap. Sama seperti tanaman yang tumbuh perlahan, iman pun tumbuh melalui latihan sabar yang berulang.

Melatih Hati agar Ibadah Berbuah Akhlak

Bagaimana agar ibadah tidak berhenti di ritual, tapi berbuah akhlak?
Habib Abdullah al-Haddad memberi beberapa panduan sederhana dalam Risālatul Mu‘āwanah:

  1. Jaga niat sebelum, saat, dan sesudah ibadah.
    Ibadah yang dimulai dengan niat mencari ridha Allah akan menembus hati. Jika niatnya sekadar menggugurkan kewajiban, maka hasilnya pun sebatas itu.
  2. Perbanyak zikir dan tafakkur.
    Zikir menenangkan batin dan menyalakan kesadaran. Dengan zikir, hati menjadi lentur, tidak cepat bereaksi keras terhadap gangguan.
  3. Jangan menunda istighfar.
    Istighfar bukan hanya permintaan ampun, tetapi juga latihan menyadari kekhilafan diri sebelum menyalahkan orang lain.
  4. Latih kesabaran dengan perbuatan kecil.
    Menahan diri saat ingin membalas komentar tajam di media sosial juga bagian dari ibadah.

Dengan langkah-langkah kecil ini, ibadah kita tidak berhenti di masjid atau sajadah, tetapi meluas ke setiap aspek kehidupan.

Jalan Kedewasaan Iman: Dari Reaksi ke Refleksi

Kedewasaan iman bukan diukur dari seberapa sering kita beribadah, melainkan dari seberapa tenang kita menghadapi ujian. Orang yang dewasa imannya tidak mudah marah, karena ia memahami bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari ketentuan Allah.

Ketika hati mulai tenang, marah tidak lagi menjadi pelarian, tapi bahan perenungan. Dari sinilah lahir sifat rahmah (kasih sayang) dan hilm (santun).

Rasulullah ﷺ adalah contoh tertinggi dari pengendalian diri. Beliau pernah dihina, dilempari batu, bahkan diusir — namun beliau tetap tersenyum dan berdoa:

اللهم اغفر لقومي فإنهم لا يعلمون
“Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Beliau tidak membalas dengan amarah, tapi dengan doa. Inilah puncak dari ibadah yang melahirkan kasih sayang.

Penutup

Menjadi pribadi yang lembut dan tenang bukan berarti tidak punya emosi, melainkan mampu menata emosi dengan kesadaran. Risālatul Mu‘āwanah mengajarkan bahwa setiap ibadah sejatinya adalah latihan untuk melunakkan hati, bukan sekadar menggugurkan kewajiban.

Jika kita masih mudah marah, jangan berkecil hati. Itu tanda bahwa Allah sedang mendidik kita agar naik ke tingkat yang lebih tinggi — dari sekadar beribadah, menjadi hamba yang beradab.

“Karena buah dari setiap ibadah adalah hati yang lembut. Dan hati yang lembut adalah tempat bersemayamnya cinta Allah.”

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement