Surau.co.
Kita sering mendengar kisah heroik para pahlawan yang menaklukkan musuh di medan perang. Namun, jarang sekali kita menyoroti perang yang lebih sunyi: perang melawan diri sendiri. Para ulama menyebutnya mujahadah an-nafs — perjuangan batin untuk menundukkan hawa nafsu dan memperbaiki hati.
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam Risālatul Mu‘āwanah menulis:
«جَاهِدْ نَفْسَكَ فِي طَاعَةِ اللَّهِ جِهَادًا حَقِيقِيًّا، فَإِنَّهَا عَدُوٌّ لَكَ بَاطِنٌ»
“Berjuanglah melawan nafsumu dalam ketaatan kepada Allah dengan sungguh-sungguh, karena sesungguhnya ia adalah musuh batin bagimu.”
Kalimat ini mengetuk dada setiap orang yang sibuk melawan dunia luar, namun lupa bahwa musuh paling licin justru bersembunyi dalam dirinya sendiri. Nafsu tidak bersuara dan tak terlihat, tetapi selalu menggoda lewat pilihan-pilihan kecil: antara sabar atau marah, jujur atau berpura-pura, ikhlas atau pamrih.
Kini, di era notifikasi tanpa henti, medan mujahadah bergeser — bukan lagi di padang pasir, melainkan di layar kaca, tempat jempol sering bereaksi lebih cepat daripada hati sempat berpikir.
Mengenal Makna Mujahadah Menurut Para Ulama
Kata mujahadah berasal dari akar kata “jahada” yang berarti bersungguh-sungguh atau berjuang. Dalam konteks spiritual, mujahadah bermakna upaya keras untuk menundukkan hawa nafsu agar sejalan dengan kehendak Allah.
Al-Qur’an menegaskan hal itu dengan firman-Nya:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabut: 69)
Ayat ini menegaskan bahwa mujahadah bukan hanya upaya moral, melainkan janji bimbingan Ilahi. Siapa pun yang berjuang menundukkan dirinya, Allah akan membukakan jalan hidayah yang tak disangka.
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad menekankan dalam Risālatul Mu‘āwanah bahwa jihad melawan nafsu menjadi pondasi bagi seluruh amal saleh. Tanpa kemampuan mengendalikan hawa nafsu, ibadah hanya berubah menjadi rutinitas tanpa ruh.
«اعْلَمْ أَنَّ أَصْلَ كُلِّ خَيْرٍ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ مُجَاهَدَةُ النَّفْسِ وَالْهَوَى»
“Ketahuilah, bahwa akar dari segala kebaikan di dunia dan akhirat adalah mujahadah terhadap hawa nafsu.”
Dengan kata lain, setiap kebaikan lahir dari peperangan sunyi ini. Tanpa mujahadah, seseorang bisa tampak religius di luar, tetapi kosong di dalam.
Musuh yang Paling Dekat Adalah Nafsu Sendiri
Banyak orang mengira musuh terbesarnya adalah tekanan hidup, pesaing kerja, atau situasi ekonomi. Padahal, musuh paling berbahaya justru dirinya sendiri — sisi yang enggan diatur.
Rasulullah ﷺ bersabda setelah pulang dari perang besar:
«رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الأَكْبَرِ»
“Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar.”Ketika para sahabat bertanya apa yang dimaksud dengan jihad besar, Rasulullah menjawab:
“Jihad melawan hawa nafsu.” (HR. Al-Bayhaqi)
Hadis ini menunjukkan betapa berat perjuangan melawan diri sendiri. Musuh luar hanya menyerang tubuh, sedangkan hawa nafsu menyerang hati dan niat.
Kini, hawa nafsu tampil dalam rupa yang lebih halus — keinginan untuk tampil sempurna di media sosial, dorongan untuk selalu benar, atau hasrat untuk diakui. Mujahadah tidak berarti mematikan keinginan, melainkan menata arah keinginan agar selaras dengan nilai-nilai ilahi.
Mujahadah dalam Dunia Digital: Pertempuran di Ujung Jari
Kita hidup di zaman ketika godaan hadir dalam bentuk cahaya layar. Nafsu kini berwujud notifikasi yang terus muncul, validasi dari “like”, atau dorongan untuk selalu terlihat sibuk. Setiap kali layar menyala, kita diuji: apakah akan tunduk pada dorongan cepat, atau menahan diri untuk tetap sadar?
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad sudah memberi peringatan sejak lama:
«احْفَظْ جَوَارِحَكَ مِنَ الْمَعَاصِي وَالْمَكَارِهِ»
“Jagalah seluruh anggota tubuhmu dari maksiat dan hal-hal yang dibenci oleh Allah.”
Jika diterapkan di masa kini, “anggota tubuh” itu termasuk jari yang mengetik, mata yang menatap layar, dan hati yang mudah terpikat pencitraan digital. Mujahadah berarti hadir sepenuhnya di tengah distraksi — mampu berhenti sejenak dan bertanya: Apakah ini mendekatkan aku pada Allah, atau justru menjauhkan?
Setiap kali seseorang menahan diri untuk tidak membalas komentar dengan emosi, menolak bergosip digital, atau memilih diam daripada mempermalukan orang lain, di situlah mujahadah bekerja secara diam-diam. Perjuangan ini tidak viral, tetapi Allah Maha Tahu siapa yang sedang menahan diri dalam sunyi.
Langkah-Langkah Praktis Mujahadah dalam Kehidupan Sehari-Hari
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam Risālatul Mu‘āwanah memberikan panduan sederhana tapi mendalam bagi siapa pun yang ingin berlatih mujahadah. Beberapa di antaranya:
-
Perbanyak dzikir dan muraqabah (kesadaran akan pengawasan Allah).
Ketika hati sibuk berdzikir, ruang bagi nafsu menjadi sempit. Dzikir bukan hanya tasbih di lisan, tapi kehadiran hati yang sadar bahwa Allah selalu melihat. -
Jaga niat sebelum beramal.
Mujahadah tidak selalu berarti berbuat banyak, tetapi menjaga kesucian niat. Setiap kali hendak berkata atau bertindak, tanyakan: Untuk siapa aku melakukan ini? -
Latih kesabaran dalam hal kecil.
Kesabaran tumbuh bukan hanya saat musibah besar, tapi dari kebiasaan kecil: menahan diri agar tidak membalas pesan dengan kasar, menunggu dengan tenang, atau tetap sopan ketika disalahpahami. -
Batasi keinginan yang berlebihan.
Hati yang penuh keinginan sulit merasa cukup. Mujahadah mengajarkan kita berkata “cukup” bahkan saat bisa mengambil lebih.
Langkah-langkah kecil seperti ini menjadikan mujahadah bagian dari keseharian, bukan konsep tinggi yang jauh dari realitas.
Mengubah Lelah Menjadi Ladang Pahala
Mujahadah memang melelahkan. Namun di balik kelelahan itu, tersimpan ketenangan yang dalam. Setiap kali seseorang menahan amarah, ia sedang menaklukkan iblis kecil dalam dirinya. Setiap kali seseorang memilih ikhlas meski tidak dihargai, ia sedang menundukkan ego yang ingin diakui.
Habib Al-Haddad menulis dalam Risālatul Mu‘āwanah:
«مَنْ لَمْ يُجَاهِدْ نَفْسَهُ لَمْ يَتَطَوَّرْ فِي طَرِيقِ اللَّهِ»
“Barang siapa tidak berjuang melawan dirinya, ia tidak akan pernah maju di jalan Allah.”
Pesan ini menegaskan bahwa kemajuan spiritual tidak diukur dari banyaknya ibadah lahiriah, melainkan dari kemampuan seseorang menaklukkan dirinya sendiri.
Penutup: Mujahadah Adalah Jalan Sunyi yang Menguatkan
Mujahadah adalah seni menaklukkan diri agar tunduk pada cahaya Ilahi. Ia bukan perang sesaat, melainkan perjalanan panjang menuju kejernihan hati. Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh godaan, mujahadah menjadi cara untuk tetap waras — menyadari bahwa hidup bukan tentang menang melawan orang lain, tetapi menaklukkan sisi gelap dalam diri sendiri.
Allah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا • وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9–10)
Berjuang melawan diri sendiri adalah bentuk cinta sejati — cinta kepada Allah, kepada kebenaran, dan kepada kemanusiaan di dalam diri. Kadang perang ini berjalan sunyi, tetapi dari kesunyian itulah lahir kekuatan yang tidak tergoyahkan.
Mujahadah adalah perjalanan tanpa sorak sorai, tanpa kamera, tanpa tepuk tangan. Namun, di balik kesunyian itu, Allah menatap dan tersenyum — kepada jiwa yang berani menundukkan dirinya demi-Nya.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
