Khazanah
Beranda » Berita » Dzikir Itu Bukan Cuma Tasbih: Seni Mengingat Allah di Tengah Notifikasi HP ala Risālatul Mu‘āwanah

Dzikir Itu Bukan Cuma Tasbih: Seni Mengingat Allah di Tengah Notifikasi HP ala Risālatul Mu‘āwanah

Pemuda berdzikir dengan cahaya lembut di tengah notifikasi ponsel yang menyala
seorang pemuda duduk bersila dalam ruangan tenang, memegang tasbih di tangan kanan sementara di sampingnya ponsel menyala dengan notifikasi. Cahaya lembut keemasan turun menyinari wajahnya, menggambarkan ketenangan batin di tengah kebisingan dunia digital.

Surau.co. Setiap hari, ponsel kita bergetar ratusan kali. Notifikasi pesan, berita, video singkat, dan komentar terus muncul tanpa henti. Dalam hiruk-pikuk itu, hati kita sering lelah, seolah tak punya ruang untuk diam dan hening. Di tengah derasnya informasi digital, dzikir—mengingat Allah—sering menjadi kegiatan yang kalah cepat dari notifikasi HP.

Namun, Risālatul Mu‘āwanah karya Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad mengingatkan bahwa dzikir bukan sekadar gerakan lidah, tetapi seni menjaga kesadaran hati. Dzikir tidak berhenti di tasbih, tidak hanya diucapkan di masjid atau majelis, melainkan bisa hidup di sela-sela kesibukan, bahkan di antara notifikasi yang datang bertubi-tubi.

Habib al-Haddad berkata dengan lembut namun dalam:

«وَعَلَيْكَ بِالذِّكْرِ الدَّائِمِ، فَإِنَّهُ مِفْتَاحُ السَّعَادَةِ وَسَبَبُ الْوِصَالِ إِلَى اللهِ تَعَالَى»
“Hendaklah engkau senantiasa berdzikir, karena dzikir adalah kunci kebahagiaan dan jalan menuju kedekatan dengan Allah.”

Kalimat ini terdengar sederhana, tetapi di dalamnya tersimpan pesan penting: dzikir adalah seni menjaga hati tetap hidup di tengah kebisingan dunia.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Makna Dzikir yang Terlupakan

Bagi sebagian orang, dzikir identik dengan tasbih di tangan atau untaian lafaz setelah salat. Padahal, dalam makna yang lebih luas, dzikir berarti menghadirkan Allah dalam kesadaran kita di setiap waktu. Itulah sebabnya Al-Qur’an menegaskan:

﴿الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ﴾
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan berbaring.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 191)

Ayat ini mengajarkan bahwa dzikir sejati tidak bergantung pada posisi tubuh, melainkan pada keadaan hati. Artinya, seseorang bisa berdzikir bahkan saat mengendarai motor, mengerjakan tugas, atau sedang sibuk di kantor—asal hatinya tidak lupa kepada Allah.

Namun, di era digital, kita mudah terjebak dalam dzikir semu. Kita “mengingat” banyak hal—like, followers, notifikasi—tapi lupa mengingat Sang Pemberi segala nikmat. Hati pun penuh, tapi bukan oleh cahaya Allah, melainkan oleh suara dunia yang berisik. Di sinilah seni dzikir diuji: bisakah kita tetap ingat Allah di tengah deru notifikasi yang tak berhenti?

Seni Mengingat di Zaman Sibuk

Habib al-Haddad dalam Risālatul Mu‘āwanah tidak menekankan dzikir hanya pada jumlah, tetapi pada kehadiran hati. Beliau menginatkan:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

«لَا تَكُنْ غَافِلًا عَنِ الذِّكْرِ، فَإِنَّ الْغَفْلَةَ تُقَسِّي الْقَلْبَ»
“Janganlah engkau lalai dari dzikir, karena kelalaian dapat mengeraskan hati.”

Lalai di sini tidak selalu berarti tidak mengucap dzikir, tapi kehilangan makna di baliknya. Seorang yang melafalkan “Subḥānallāh” tanpa rasa kagum pada keagungan Allah, sejatinya sedang menggerakkan bibir tanpa menyentuh hati. Sebaliknya, seseorang yang mengucap “Astaghfirullāh” dari kedalaman penyesalan, meski pelan, bisa mengguncang langit.

Di masa modern, seni dzikir bisa dimulai dengan kesadaran kecil. Misalnya, mengubah reaksi otomatis terhadap notifikasi menjadi jeda untuk mengingat Allah. Saat HP bergetar, tarik napas sejenak, lalu ucapkan dalam hati, “Allāh hadir, aku tidak sendiri.” Tindakan kecil ini bisa menumbuhkan dzikir kontemporer—mengingat Allah tanpa meninggalkan dunia.

Antara Suara Dunia dan Suara Hati

Kita hidup dalam zaman yang membanjiri kita dengan suara. Ada musik, podcast, berita, dan perdebatan digital. Tapi suara hati, tempat dzikir bersuara, sering tenggelam di bawah bising dunia. Habib al-Haddad mengingatkan pentingnya keheningan:

«إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تُنَوِّرَ قَلْبَكَ فَأَقِلَّ مِنَ الْكَلَامِ وَالطَّعَامِ وَالنَّوْمِ»
“Jika engkau ingin hatimu bercahaya, maka kurangi banyak bicara, banyak makan, dan banyak tidur.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Pesan ini mengandung pelajaran penting: keheningan bukan berarti diam dari kata, tetapi menyaring kata agar hati punya ruang untuk mendengar Allah. Ketika terlalu banyak bicara tentang dunia, hati menjadi bising, dan cahaya dzikir pun sulit masuk.

Cobalah sesekali diam dari layar. Letakkan ponsel lima menit tanpa menyentuhnya, lalu hadapkan diri sepenuhnya kepada Allah. Rasakan napas, rasakan detak jantung, rasakan kehadiran-Nya. Dzikir bukan melarikan diri dari dunia, tetapi menghadirkan Allah di tengah dunia yang berisik.

Dzikir Sebagai Latihan Kepekaan Spiritual

Dzikir, dalam pandangan Risālatul Mu‘āwanah, adalah latihan membiasakan hati untuk selalu sadar kepada Allah. Habib al-Haddad menulis:

«اعْلَمْ أَنَّ كُلَّ شَيْءٍ يُذْكَرُ اللهُ فِيهِ يَتَبَرَّكُ وَيَتَنَوَّرُ»
“Ketahuilah, segala sesuatu yang disebut bersama nama Allah akan diberkahi dan disinari cahaya.”

Maknanya, dzikir tidak hanya ibadah verbal, tetapi energi yang menular ke seluruh aspek hidup. Pekerjaan, belajar, bahkan aktivitas sehari-hari akan berubah menjadi ibadah ketika disertai kesadaran kepada Allah.

Di tengah rutinitas modern, dzikir bisa dihidupkan dalam bentuk-bentuk sederhana: memulai pekerjaan dengan Bismillah, menutup laptop dengan Alhamdulillah, atau menenangkan diri setelah marah dengan Astaghfirullah. Ini bukan ritual kosong, tapi latihan kesadaran batin—agar hati tetap hidup di tengah kesibukan yang menguras.

Rasulullah ﷺ bersabda:

«مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُهُ، مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ»
“Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Tuhannya dan orang yang tidak berdzikir adalah seperti orang hidup dan orang mati.” (HR. Bukhari)

Hadis ini menegaskan: dzikir adalah napas kehidupan hati. Tanpa dzikir, hati bisa hidup secara biologis tapi mati secara spiritual. Ia berdenyut, tapi hampa.

Menemukan Ketenangan di Balik Layar

Banyak orang mencari ketenangan dengan men-scroll media sosial, menonton hiburan, atau bepergian ke tempat sunyi. Namun, ketenangan sejati tidak datang dari luar, melainkan dari hati yang selalu terhubung dengan Allah.

Habib al-Haddad memberi kunci penting:

«إِذَا ذَكَرْتَ اللهَ فِي الرَّخَاءِ، ذَكَرَكَ فِي الشِّدَّةِ»
“Jika engkau mengingat Allah di waktu lapang, Allah akan mengingatmu di waktu sempit.”

Dzikir bukan hanya dilakukan saat sedih atau butuh pertolongan, tetapi justru ketika hati lapang. Karena itu, menjadikan dzikir sebagai kebiasaan harian di era digital bukan hanya ibadah, tapi juga bentuk self-care spiritual. Dzikir menenangkan sistem saraf, menurunkan stres, dan menumbuhkan rasa syukur.

Cobalah mengganti sebagian waktu “scrolling” dengan dzikir ringan. Saat menunggu unduhan, ucapkan Subḥānallāh. Saat HP loading, ucapkan Lā ilāha illallāh. Bukan untuk menggugurkan kewajiban, tapi untuk menumbuhkan rasa hadir. Di situlah seni dzikir: mengingat Allah di sela-sela kesibukan tanpa kehilangan arah.

Digital Dzikir: Mengubah Kebiasaan Menjadi Ibadah

Kita bisa menggunakan teknologi untuk memperkuat, bukan melemahkan dzikir. Ada banyak cara: memasang pengingat waktu dzikir di ponsel, mendengarkan lantunan Asmaul Husna sambil bekerja, atau mengikuti kajian daring dengan niat ikhlas mencari ridha Allah.

Namun, penting diingat bahwa media hanyalah alat, bukan tujuan. Dzikir tetap harus berakar pada hati yang hidup. Habib al-Haddad menulis dalam Risālatul Mu‘āwanah:

«لَا تَنْقَطِعْ عَنْ ذِكْرِهِ وَإِنْ قَطَعَكَ النَّاسُ، وَلَا تَغْفَلْ عَنْهُ وَإِنْ أَشْغَلُوكَ»
“Janganlah engkau berhenti dari mengingat-Nya meski manusia memutusmu, dan janganlah engkau lalai dari-Nya meski mereka menyibukkanmu.”

Inilah kunci spiritual di zaman sibuk: tetap berdzikir meski dunia memalingkan perhatian kita. Dzikir bukan pelarian dari dunia digital, tetapi jalan untuk tetap waras di tengah kebisingan digital. Ia menjadikan teknologi sebagai sarana, bukan tuan.

Penutup: Dzikir Sebagai Nafas Hidup

Dzikir adalah napas batin yang menjaga kita agar tidak tenggelam dalam dunia yang serba cepat. Ia mengajarkan keseimbangan antara online dan inline—antara terhubung dengan dunia dan terhubung dengan Allah.

Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad menutup nasihatnya dengan doa yang lembut:

«نَوِّرِ اللهُ قَلْبَكَ بِذِكْرِهِ، وَاجْعَلْ لِسَانَكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِهِ»
“Semoga Allah menerangi hatimu dengan dzikir kepada-Nya, dan menjadikan lidahmu senantiasa basah dengan menyebut nama-Nya.”

Maka, mari belajar berdzikir bukan hanya dengan tasbih, tetapi dengan kesadaran. Jadikan setiap getar ponsel sebagai panggilan untuk kembali pada-Nya, setiap jeda sebagai kesempatan untuk menenangkan hati, dan setiap detik sebagai ruang mengenal Allah lebih dekat.

Sebab dzikir sejati bukan hanya ritual, tapi cara hidup. Ia mengubah notifikasi dunia menjadi panggilan menuju ketenangan abadi.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement