Surau.co. Di tengah era informasi tanpa batas, kita sering merasa tahu segalanya. Hanya dengan menonton satu video dakwah, membaca satu utas media sosial, atau menonton potongan ceramah tiga menit, seseorang bisa langsung merasa paham agama. Namun, dari sinilah muncul bahaya halus: ilusi pengetahuan. Banyak orang merasa “sudah cukup tahu”, padahal sebenarnya baru menguasai kulit luar.
Fenomena ini bukan hal baru. Sejak berabad-abad lalu, para ulama mengingatkan bahaya belajar tanpa adab. Dalam kitab klasik Risālatul Mu‘āwanah, Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad menulis dengan nada lembut tapi tajam:
«وَعَلَيْكَ بِتَعَلُّمِ مَا يَجِبُ عَلَيْكَ مِنْ عِلْمِ الدِّينِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَيَدُلُّ عَلَى الصَّوَابِ»
“Wajib bagimu mempelajari ilmu yang menjadi kewajibanmu dalam agama, karena ilmu adalah cahaya yang menunjuki kepada kebenaran dan menunjukkan jalan yang benar.”
Habib al-Haddad mengingatkan, belajar bukan tentang banyaknya informasi yang dikumpulkan, melainkan tentang mencari cahaya yang menuntun hati menuju kebenaran. Ilmu sejati bukanlah yang membuat seseorang semakin sombong, tetapi yang justru menambah rendah hati. Karena itu, “ngaji ilmu biar nggak sok tahu” bukan sekadar ungkapan sederhana, melainkan pesan mendalam agar kita belajar dengan hati yang tunduk, bukan kepala yang tinggi.
Menundukkan Hati Sebelum Menundukkan Kepala
Banyak orang mengejar gelar atau status keilmuan, tetapi lupa bahwa etika belajar dimulai dari sikap batin. Dalam tradisi pesantren, murid diajarkan untuk “ngalap berkah” dari guru, bukan hanya menyalin ilmu dari buku. Ini bukan soal mistik, melainkan adab: penghormatan kepada sumber ilmu sebagai jalan menjaga keikhlasan.
Habib al-Haddad berkata:
«إِنَّ الْعِلْمَ لَا يَنْتَفِعُ بِهِ صَاحِبُهُ حَتَّى يَعْمَلَ بِهِ، وَيُرِيدَ بِهِ وَجْهَ اللهِ تَعَالَى»
“Seseorang tidak akan memperoleh manfaat dari ilmunya hingga ia mengamalkannya dan mengharap wajah Allah semata.”
Kalimat itu menampar halus kesadaran kita. Berapa banyak orang yang belajar hanya untuk menang debat di kolom komentar? Berapa banyak yang membaca kitab, tapi bukan untuk mengamalkan, melainkan untuk membuktikan diri paling benar? Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ، أَوْ يُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ، أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ، أَدْخَلَهُ اللهُ النَّارَ»
“Barang siapa menuntut ilmu untuk mendebat orang bodoh, atau menyombongkan diri di hadapan ulama, atau menarik perhatian manusia kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke neraka.” (HR. Tirmidzi)
Etika belajar dimulai dari keikhlasan niat. Belajar bukan ajang menunjukkan kepintaran, tetapi latihan menundukkan ego. Seseorang yang tulus mencari ilmu justru semakin sadar akan kebodohannya, bukan semakin merasa paling tahu.
Guru: Cermin Bukan Berhala
Generasi muda kini punya ribuan guru digital. Kita bisa belajar tafsir, akhlak, atau fikih dari berbagai platform. Namun, Risālatul Mu‘āwanah mengingatkan agar tidak semua yang berbicara agama langsung dipercaya tanpa adab mendengarkan. Habib al-Haddad menulis dengan halus:
«وَاحْذَرْ أَنْ تَأْخُذَ الْعِلْمَ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِ، فَإِنَّ مَنْ أَخَذَ الْعِلْمَ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِ ضَلَّ وَأَضَلَّ»
“Berhati-hatilah mengambil ilmu dari bukan ahlinya, karena siapa yang mengambil ilmu dari bukan ahlinya, ia sesat dan menyesatkan.”
Pesan ini terasa sangat relevan hari ini. Media sosial membuat siapa pun bisa bicara seolah-olah ia ustaz. Ada yang mengutip setengah ayat, memelintir makna hadis, lalu menebar kebingungan. Karena itu, mencari guru yang lurus dan beradab sangat penting. Guru bukanlah sosok tanpa salah, tetapi cermin tempat kita belajar keikhlasan dan kebijaksanaan.
Etika kepada guru juga mencakup cara bertanya. Belajar bukan untuk “menguji” guru, melainkan untuk memahami kebenaran. Dalam tradisi keilmuan Islam, murid yang sopan lebih cepat paham dibanding murid yang pintar tapi congkak. Orang yang datang dengan hati terbuka akan pulang membawa cahaya. Sedangkan yang datang dengan kesombongan, pulang hanya membawa kebingungan.
Ilmu yang Bermanfaat: Antara Hafal dan Faham
Kita sering mengukur keberhasilan belajar dari seberapa banyak yang dihafal. Padahal, hafalan tidak sama dengan pemahaman. Habib al-Haddad menegaskan bahwa ilmu sejati adalah yang menghidupkan hati, bukan hanya memenuhi kepala. Beliau berkata:
«إِنَّ الْعِلْمَ إِذَا دَخَلَ الْقَلْبَ أَنْتَجَ الْخَشْيَةَ»
“Sesungguhnya ilmu, bila telah masuk ke dalam hati, akan melahirkan rasa takut kepada Allah.”
Ayat Al-Qur’an juga menguatkan:
﴿إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ﴾
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” (QS. Fathir [35]: 28)
Ilmu yang bermanfaat bukan yang membuat kita merasa unggul, tapi yang menuntun kita untuk lebih taat. Maka, belajar tidak berhenti di ruang kelas, tetapi berlanjut dalam sikap sehari-hari. Menahan diri dari menghina, belajar mendengar, menundukkan pandangan, atau menahan jari dari komentar yang menyakitkan — semua itu adalah bentuk pengamalan ilmu.
Kita sering lupa bahwa setiap pengetahuan membawa tanggung jawab moral. Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin besar kewajiban untuk menjaga akhlaknya. Sebab, sebagaimana api memberi cahaya sekaligus bisa membakar, ilmu juga bisa menerangi atau menghancurkan, tergantung siapa yang menggunakannya.
Ngaji Ilmu di Era Digital: Antara Scroll dan Tadabbur
Di masa kini, tantangan belajar bukan hanya malas membaca, tapi terlalu banyak membaca yang dangkal. Informasi datang terus-menerus, membuat kita sulit membedakan antara pengetahuan dan kebisingan. Dalam kondisi seperti ini, ngaji ilmu bukan lagi soal mencari guru, tapi juga melatih fokus dan kesabaran dalam mencari makna.
Habib al-Haddad mengajarkan keseimbangan: belajar, merenung, dan mengamalkan. Beliau berkata:
«عَلَيْكَ بِالْعِلْمِ النَّافِعِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ، فَإِنَّ بِهِمَا تَبْلُغُ سَعَادَةَ الدَّارَيْنِ»
“Hendaklah engkau menekuni ilmu yang bermanfaat dan amal saleh, karena dengan keduanya engkau akan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.”
Di era digital, belajar tidak cukup hanya dengan “scroll” cepat. Kita perlu tadabbur, membaca dengan hati, memahami pelan-pelan, dan menanyakan: “Apakah ilmu ini mendekatkanku kepada Allah, atau justru menambah ego?” Jika jawabannya membuat hati terasa lebih ringan dan tenang, maka itu tanda ilmu yang bermanfaat.
Belajar di zaman modern berarti juga mengatur asupan pengetahuan. Tidak semua yang viral layak dipercaya, dan tidak semua yang tenang itu membosankan. Kadang, justru ilmu yang tak populer itulah yang paling dalam maknanya.
Menjaga Adab agar Ilmu Tetap Hidup
Etika belajar bukan aturan kaku, melainkan napas yang menjaga ilmu tetap hidup. Ketika seorang murid menjaga adabnya, Allah akan membuka jalan ilmu yang tidak tertulis di buku mana pun. Imam Malik pernah berkata, “Pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari ilmu.” Habib al-Haddad pun menegaskan bahwa adab adalah buah dari ilmu yang berakar pada keikhlasan.
Adab tidak selalu tampak dalam kata-kata indah, tetapi dalam sikap sederhana: tidak memotong guru, tidak sombong dengan sedikit pengetahuan, dan tidak menjelekkan pendapat orang lain. Dalam dunia yang penuh kebisingan, menjaga adab berarti menjaga ketenangan batin.
Ilmu sejati hanya bisa tumbuh di hati yang bersih. Karena itu, belajar adalah proses membersihkan, bukan sekadar mengisi. Orang yang belajar dengan hati bening akan melihat kebenaran bahkan dalam hal-hal kecil. Sedangkan yang belajar dengan hati kotor akan kehilangan cahaya, meski dikelilingi banyak kitab.
Penutup: Belajar yang Menghidupkan Hati
Ngaji ilmu bukan sekadar rutinitas intelektual, tetapi perjalanan spiritual. Ia mengubah cara kita memandang dunia, menuntun kita menjadi manusia yang lebih sabar, lembut, dan bijak. Setiap pelajaran, sekecil apa pun, adalah ajakan untuk mengenal Allah lebih dekat.
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad menutup Risālatul Mu‘āwanah dengan doa yang indah:
«جَعَلَنَا اللهُ وَإِيَّاكَ مِنَ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ»
“Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan nasihat dan mengikuti yang terbaik darinya.”
Belajar sejatinya adalah perjalanan kembali kepada Allah — dari ketidaktahuan menuju pengenalan, dari keangkuhan menuju kerendahan hati. Maka, jangan berhenti ngaji. Bukan agar terlihat pintar, tapi agar kita tidak menjadi orang yang sok tahu. Karena ilmu tanpa adab hanyalah kebisingan, sedangkan ilmu dengan adab adalah cahaya yang menuntun langkah menuju kebahagiaan sejati.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
