Surau.co. Kita hidup di zaman di mana semua orang ingin memperbaiki dunia, tetapi sedikit yang mau memperbaiki dirinya sendiri. Media sosial penuh dengan seruan perubahan, kritik sosial, dan ajakan moral. Namun sering kali, semangat itu tidak berpijak pada dasar yang paling penting: niat yang jernih dan pembenahan diri.
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, seorang ulama besar dari Tarim, Hadramaut, mengingatkan hal ini secara mendalam dalam karya spiritualnya Risālatul Mu‘āwanah (Risalah Pertolongan). Beliau menulis:
وَاجْتَهِدْ فِي تَصْفِيَةِ قَلْبِكَ وَتَخْلِيَتِهِ مِنْ كُلِّ خُلُقٍ ذَمِيمٍ وَتَحْلِيَتِهِ بِكُلِّ خُلُقٍ كَرِيمٍ
“Bersungguh-sungguhlah engkau dalam menyucikan hatimu, membersihkannya dari setiap akhlak tercela, dan menghiasinya dengan setiap akhlak mulia.”
Kata-kata itu terasa lembut, tetapi tajam. Al-Haddad seolah menegur kita dengan kasih: sebelum menata masyarakat, benahilah hatimu; sebelum menuntut keadilan di luar, tegakkan keadilan di dalam dirimu.
Niat: Pondasi dari Segala Amal
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjadi ruh dari seluruh ajaran Islam, dan dalam Risālatul Mu‘āwanah, Habib al-Haddad menjadikannya pilar dalam kehidupan spiritual dan sosial. Ia menulis bahwa seseorang tidak akan memperoleh keberkahan dalam amal jika niatnya tidak lurus karena Allah.
Di era digital, niat sering kabur. Kita mudah berbagi nasihat di media sosial, tetapi tidak jarang niatnya lebih untuk likes dan pengakuan. Habib al-Haddad mengingatkan bahwa keikhlasan bukan hanya untuk ibadah ritual, melainkan juga untuk aktivitas sosial. Jika seseorang menolong orang lain tanpa keikhlasan, amalnya kehilangan ruh.
Maka, membenahi dunia seharusnya dimulai dari menata niat. Setiap gerakan sosial, dakwah, atau pendidikan moral harus dilandasi oleh ketulusan — bukan gengsi, bukan pencitraan, bukan ambisi.
Dunia yang Ingin Diperbaiki, tapi Diri yang Terserak
Fenomena hari ini menunjukkan paradoks besar: kita ingin dunia menjadi lebih adil, tetapi masih menyimpan iri dalam hati; kita menyeru pada kejujuran, tapi masih berbohong demi kenyamanan; kita menyeru pada keikhlasan, tapi mencari tepuk tangan.
Habib al-Haddad menulis dalam Risālatul Mu‘āwanah:
فَكَيْفَ يُصْلِحُ غَيْرَهُ مَنْ لَمْ يُصْلِحْ نَفْسَهُ؟
“Bagaimana mungkin seseorang memperbaiki orang lain, sementara ia belum memperbaiki dirinya sendiri?”
Kata-kata ini seolah menampar lembut wajah kita. Dunia memang perlu dibenahi, tetapi perbaikan sejati lahir dari pribadi yang bersih. Masyarakat adil bukan dibangun oleh kritik yang keras, melainkan oleh manusia yang jujur, sabar, dan rendah hati.
Mulai dari diri sendiri bukanlah sikap egois, melainkan bentuk tanggung jawab spiritual. Karena perubahan sosial tanpa perubahan pribadi hanyalah ilusi.
Refleksi Moral: Dari Hati yang Bersih ke Dunia yang Indah
Habib al-Haddad menekankan bahwa hati adalah pusat dari semua amal. Dalam konteks modern, kita bisa menyebutnya sebagai inner system — pusat kesadaran moral yang menentukan arah hidup seseorang.
Ketika hati jernih, tindakan menjadi jernih. Ketika hati kotor, semua amal kehilangan makna. Al-Qur’an menegaskan hal ini:
يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ، إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Pada hari (kiamat) ketika harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu‘arā: 88–89)
Pesan ini bukan hanya untuk akhirat, tetapi juga untuk dunia. Dunia yang baik hanya lahir dari hati-hati yang selamat. Pendidikan, politik, ekonomi, dan dakwah akan rusak jika dijalankan oleh hati yang kotor.
Karena itu, Risālatul Mu‘āwanah bukan sekadar kitab tasawuf, tapi juga buku etika sosial. Ia mengajarkan bagaimana individu berperan membangun masyarakat dengan dasar spiritualitas.
Niat Sosial: Ikhlas dalam Keterlibatan Publik
Dalam masyarakat modern, banyak aktivis dan pendidik berjuang di ruang publik. Namun, Habib al-Haddad memberi nasihat yang relevan: ikhlaskan semua keterlibatanmu hanya karena Allah.
Beliau menulis:
اجْعَلْ أَعْمَالَكَ كُلَّهَا لِلّٰهِ، وَلَا تُرِدْ بِهَا غَيْرَهُ، فَإِنَّ مَنْ عَمِلَ لِغَيْرِ اللّٰهِ وَكَلَهُ اللّٰهُ إِلَى مَنْ عَمِلَ لَهُ
“Jadikan seluruh amalmu hanya untuk Allah, dan jangan engkau menginginkan selain-Nya. Karena siapa yang beramal bukan karena Allah, maka Allah akan menyerahkannya kepada yang menjadi tujuannya.”
Betapa dalam pesan ini. Jika seseorang berjuang untuk popularitas, maka hasilnya hanyalah ketenaran yang cepat pudar. Tetapi jika ia berjuang karena Allah, maka keberkahan amalnya melampaui zaman.
Aktivisme sosial yang ikhlas melahirkan ketenangan batin dan keberlanjutan moral. Tidak ada kepalsuan, tidak ada rasa ingin diakui. Yang ada hanyalah cinta pada kebaikan itu sendiri.
Pendidikan Diri Sebagai Akar Perubahan Sosial
Habib al-Haddad menekankan pentingnya ta’dib — pendidikan adab — sebelum pendidikan ilmu. Dalam Risālatul Mu‘āwanah, beliau mengingatkan bahwa ilmu tanpa adab akan menimbulkan kerusakan, bukan kemaslahatan.
Dunia modern memuja pengetahuan, tetapi sering melupakan kebijaksanaan. Kita belajar untuk pintar, bukan untuk menjadi baik. Padahal, inti dari pendidikan sejati adalah membentuk manusia yang beradab, bukan sekadar cerdas.
Habib al-Haddad menulis:
العِلْمُ بِلَا عَمَلٍ جُنُونٌ، وَالعَمَلُ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَكُونُ
“Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu tidak akan ada.”
Maka, pembenahan diri menjadi akar dari pembenahan sosial. Jika setiap individu beradab, masyarakat akan beradab. Jika setiap pemimpin memiliki niat yang tulus, kebijakan akan membawa rahmat.
Dunia Baru Dimulai dari Diri yang Lama Diperbarui
Kita sering berpikir perubahan harus besar dan cepat. Padahal, Habib al-Haddad mengajarkan bahwa perubahan sejati dimulai dari hal kecil — dari dalam diri. Menahan amarah, menahan lidah, menahan gengsi — semua itu adalah langkah-langkah kecil menuju dunia yang lebih baik.
Kita tidak perlu menunggu sistem berubah untuk menjadi baik. Kita bisa menjadi baik terlebih dahulu, agar sistem memiliki contoh nyata. Dunia hanya akan damai jika manusia di dalamnya menenangkan diri.
Penutup: Menata Dunia Lewat Cermin Diri
Perjalanan spiritual bukan pelarian dari dunia, melainkan jalan kembali untuk memperbaikinya. Risālatul Mu‘āwanah mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin menolong dunia harus lebih dulu menolong dirinya sendiri dari kejahilan, kesombongan, dan ketamakan.
Seperti kata pepatah, “Dunia luar adalah cermin dari dunia dalam.”
Jika hati kita damai, dunia akan terasa damai. Jika niat kita tulus, amal kita akan membawa cahaya.
Maka marilah memulai dari diri sendiri, bukan dari dunia. Karena dunia akan berubah ketika hati manusia berubah.
*Gerwin Satria N
Pegiatliterasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
