SURAU.CO-Manisnya kolak, heningnya hati hadir dalam setiap detik menunggu azan maghrib, dan manisnya kolak, heningnya hati langsung mengingatkan kita bahwa puasa bukan hanya ritual, tetapi perjalanan menyadarkan jiwa tentang arti cukup. Setiap orang merasakan bagaimana semangkuk kolak sederhana bisa menghadirkan kedamaian yang tidak membeli kemewahan, melainkan menciptakan kedekatan dengan Allah, keluarga, dan ingatan masa kecil.
Kolak berbicara tentang tradisi, bukan sekadar resep. Ibu menyiapkannya dengan sabar, memilih pisang matang, memotong labu, lalu merebus santan sampai harum. Selain itu, aroma kolak memenuhi rumah dan langsung mengundang kenangan masa kecil ketika kita duduk menunggu berbuka sambil membawa gelas air putih. Tradisi ini tidak pernah meminta untuk dipuja, tetapi terus hidup karena rasa cinta keluarga yang menjaga kehangatannya.
Saat waktu berbuka semakin dekat, suasana rumah berubah menjadi lebih senyap. Kemudian setiap anggota keluarga duduk, menunduk, dan berdoa dalam hati. Hening itu bukan kebetulan, melainkan ruang Allah untuk berbicara pada hati yang lelah. Kolak menjadi hidangan pertama yang menyentuh lidah, lalu tubuh terasa tenang karena puasa seharian tidak berakhir sia-sia.
Saya masih mengingat satu senja Ramadhan di kampung. Listrik padam, lampu minyak menyala, dan kolak pisang terhidang di atas meja kayu tua. Kami tertawa, bercerita, dan menikmati suasana tanpa ponsel dan tanpa tergesa. Momen itu menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak butuh banyak hal, cukup kehangatan, kesunyian, dan rasa manis yang membasuh hati.
Filosofi Kolak dan Kedalaman Hati dalam Ramadhan
Kolak mengajarkan keseimbangan hidup: manis, hangat, dan sederhana. Selain itu, filosofi ini mengingatkan bahwa manusia tidak selalu membutuhkan banyak untuk bahagia. Kita hanya perlu ruang untuk berhenti, merasakan, dan bersyukur. Dalam budaya Nusantara, kolak menjadi simbol penyatu keluarga, pembuka percakapan, dan penanda bahwa Ramadhan kembali pulang.
Heningnya hati saat berbuka menuntun manusia untuk jujur pada dirinya sendiri. Kita tidak menyembunyikan ambisi, tidak mengejar pujian, hanya ingin dekat dengan Tuhan. Kemudian dari suasana itu, kita memahami bahwa kolak tidak sekadar hidangan pemanis, tetapi jembatan menuju kesadaran spiritual—sebuah pengetahuan yang jarang disadari.
Selain itu, meja berbuka menciptakan ruang untuk kebersamaan. Duduk melingkar, menyendok kolak dari mangkuk yang sama, dan mendengar azan bersama menguatkan rasa memiliki. Di sisi lain, bagi mereka yang berbuka sendirian, kolak tetap memberi pelukan yang tidak terlihat, seolah berkata: “Kamu tidak benar-benar sendiri.”
Namun, zaman berubah. Banyak keluarga lebih memilih minuman instan atau makanan cepat saji. Meski demikian, kolak tetap bertahan di hati, di buku resep ibu, dan di penjual takjil yang berdiri teguh di tepi jalan setiap Ramadhan. Di situlah letak timeless-nya: ia tidak hanya hidup di meja, tetapi juga di ingatan.
Kolak, Syukur, dan Warisan Rasa Ramadhan
Manisnya kolak dan heningnya hati selalu mengajari manusia untuk menempatkan syukur di atas lapar. Tradisi ini tidak hanya memulihkan tenaga, tetapi juga memperbaiki cara kita memandang hidup. Selain itu, kolak mengingatkan bahwa kebahagiaan sering datang dari kesederhanaan, bukan dari kemewahan.
Kemudian, menjaga tradisi kolak tidak harus rumit. Kita bisa memasaknya bersama keluarga, membagikannya ke tetangga, atau cukup dengan mendoakan mereka yang pernah membuatkannya untuk kita. Jika ingin memperdalam makna Ramadhan, Anda bisa membaca artikel seperti Puasa, Air Mata, dan Cahaya di tautan internal situs. Untuk dalil berbuka puasa dan kesederhanaan, situs eksternal seperti NU Online atau Muhammadiyah dapat menjadi rujukan.
Akhirnya, kolak bukan hanya menu pembuka. Ia adalah bahasa cinta yang diwariskan ibu, nenek, dan tanah kelahiran. Selama manusia masih duduk di meja berbuka, kolak akan tetap menjadi peluk hangat Ramadhan—manis, sederhana, dan penuh makna. (Hendri Hasyim)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
