Surau.co. Safinatun Najah di Indonesia – Di antara kitab klasik yang menjadi pijakan dasar keilmuan di pesantren-pesantren Indonesia, Safīnatun Najāh karya Sālim bin ʿAbdallāh bin Saʿd bin Sumayr al-Ḥaḍramī menempati posisi istimewa. Kitab kecil berbahasa Arab ini sederhana dalam bentuk, tapi luas dalam pengaruh. Di tangan para kiai dan santri, ia menjadi “perahu keselamatan” — sebagaimana namanya — yang membawa generasi Muslim menuju pemahaman fiqh dasar dengan pendekatan lembut, sistematis, dan penuh hikmah.
Kitab ini adalah salah satu warisan keilmuan Hadramaut, wilayah yang terkenal melahirkan ulama-ulama besar dengan corak keilmuan yang lembut, spiritual, dan penuh kasih. Dari tanah Yaman, warisan ini berlayar jauh ke Nusantara, melebur dalam kultur pesantren, dan membentuk karakter Islam Indonesia yang moderat, beradab, dan berilmu.
Jejak Ulama Hadramaut: Ilmu yang Menyatu dengan Dakwah
Hadramaut, wilayah selatan Jazirah Arab, sejak lama dikenal sebagai pusat spiritual dan intelektual Islam. Dari sana lahir tokoh-tokoh besar seperti Imam Al-Haddad, Al-Seggaf, hingga Sālim bin Sumair — penulis Safīnatun Najāh.
Ulama Hadramaut terkenal karena pendekatannya yang fiqhiyyah (berbasis hukum), tasawwufiyyah (berjiwa spiritual), dan da’wiyyah (bersemangat dakwah). Mereka tidak memisahkan antara ilmu dan pengamalan, antara hukum dan akhlak.
Dalam Safīnatun Najāh, Sālim bin Sumair menulis dengan gaya khas Hadramaut yang penuh keseimbangan:
الْعِلْمُ نُورٌ، وَالْعَمَلُ بِهِ سَبِيلُ النَّجَاةِ
“Ilmu adalah cahaya, dan mengamalkannya adalah jalan keselamatan.”
Kutipan ini menunjukkan filosofi pendidikan Islam yang mengakar: ilmu bukan sekadar diketahui, tetapi harus dihidupi. Itulah yang menjadikan karya ini bukan hanya teks fiqh, tapi juga ajaran moral yang mendalam.
Safīnatun Najāh: Kitab Kecil, Makna Besar
Secara struktur, Safīnatun Najāh sangat ringkas. Ia terdiri dari beberapa bab utama — mulai dari akidah, thaharah (bersuci), shalat, zakat, puasa, hingga haji. Namun, yang membuatnya istimewa adalah cara penyusunan yang sangat sistematis untuk pemula.
Di bagian awal, Sālim bin Sumair menulis tentang keimanan dengan kalimat yang sederhana namun padat:
أركان الإسلام خمسة: الشهادتان، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، وصوم رمضان، وحج البيت.
“Rukun Islam ada lima: dua kalimat syahadat, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menunaikan haji ke Baitullah.”
Dengan kalimat sesingkat itu, beliau mengajak pembaca untuk memulai dari fondasi: mengenal agama melalui pilar-pilar yang jelas. Tidak banyak teori, tidak berputar-putar. Inilah keunggulan Safīnatun Najāh — menjadikan fiqh mudah diakses tanpa mengorbankan kedalaman makna.
Bagi para santri pemula, kitab ini adalah pijakan awal untuk memahami syariat. Dari sinilah mereka kemudian naik ke level kitab yang lebih kompleks seperti Fathul Qarib atau Taqrib karya Abu Syuja’.
Dari Laut Hadramaut ke Samudra Nusantara
Sejarah mencatat, Safīnatun Najāh mulai masuk ke Indonesia melalui jalur dakwah para habaib Hadramaut yang bermigrasi ke Nusantara sejak abad ke-17 hingga ke-19. Mereka membawa bukan hanya silsilah keluarga Rasulullah ﷺ, tapi juga silsilah ilmu dan adab.
Di pesantren-pesantren tradisional seperti di Jawa Timur, Madura, dan Kalimantan Selatan, Safīnatun Najāh di Indonesia menjadi kitab wajib di kelas dasar. Bahkan hingga hari ini, ribuan santri di pesantren salaf masih membuka kitab ini setiap pagi atau malam, dibimbing oleh para kiai dengan penuh kelembutan.
Sebagaimana pepatah pesantren mengatakan:
“Siapa yang belajar Safīnah, ia akan berlayar menuju samudra ilmu.”
Rasulullah ﷺ sendiri menegaskan pentingnya penyebaran ilmu:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhārī)
Dalam konteks ini, Safīnatun Najāh bukan hanya kitab fiqh, melainkan instrumen penyambung sanad keilmuan Islam dari Yaman ke Indonesia.
Metode Pendidikan dalam Safīnatun Najāh: Lembut dan Terarah
Sālim bin Sumair mengajarkan fiqh dengan pendekatan bertahap dan aplikatif. Ia menyusun hukum-hukum dasar secara runut sesuai kebutuhan praktis seorang Muslim dalam keseharian.
Dalam bab thaharah, misalnya, beliau menulis:
الْمَاءُ الَّذِي يُطَهِّرُ هُوَ الْمَاءُ الْمُطْلَقُ
“Air yang dapat menyucikan adalah air yang murni (mutlak).”
Kalimat ini tampak sederhana, tapi di baliknya terkandung dasar-dasar fiqh Syafi’i tentang pembagian air — ilmu yang nantinya berkembang menjadi perdebatan panjang di kitab-kitab lanjutan.
Metode ini menunjukkan kecerdasan pedagogis penulis: memulai dari yang mudah, tanpa menakut-nakuti pemula dengan istilah ilmiah yang rumit.
Selain itu, beliau juga menanamkan adab belajar ilmu agama, sebagaimana disebutkan dalam kutipan berikut:
مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَلَمْ يَعْمَلْ بِهِ كَانَ كَالشَّجَرَةِ لَا تُثْمِرُ
“Barang siapa belajar ilmu namun tidak mengamalkannya, maka ia seperti pohon yang tidak berbuah.”
Fiqh, dengan demikian, bukan hanya aturan kering. Ia adalah proses pembentukan karakter — agar seorang Muslim memahami makna ibadah, bukan hanya bentuknya.
Safīnatun Najāh dan Karakter Islam Nusantara
Pengaruh Safīnatun Najāh di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari corak Islam yang berkembang di tanah air — Islam yang berbasis fiqh Syafi’i, berakhlak tasawuf, dan berdakwah dengan hikmah.
Kitab ini membantu melahirkan generasi santri yang memahami Islam secara rahmatan lil-‘ālamīn, bukan ekstrem dan tidak kaku.
Tak mengherankan jika para ulama besar Nusantara seperti K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Mahfudz Termas, dan K.H. Arwani Kudus sangat menghargai kitab ini. Mereka melihat Safīnatun Najāh bukan sekadar pegangan fiqh, tapi juga pola pembentukan watak keislaman yang ramah dan beradab.
Menghidupkan Kembali Tradisi Ilmu yang Tulus
Di era digital saat ini, ketika belajar agama sering hanya melalui potongan video atau media sosial, Safīnatun Najāh mengingatkan kita pada makna belajar yang sesungguhnya: sabar, mendalam, dan bersanad.
Sālim bin Sumair mengajarkan bahwa ilmu harus dicari dengan kerendahan hati, bukan dengan arogansi digital. Bahwa setiap hukum fiqh bukan sekadar fatwa, tetapi bagian dari perjalanan spiritual yang menuntun manusia menuju Allah.
Sebagaimana firman Allah ﷻ:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādilah: 11)
Ayat ini menjadi pesan abadi bagi para penuntut ilmu: bahwa belajar agama adalah kemuliaan yang tidak tergantikan oleh apa pun.
Penutup: Perahu Kecil yang Tak Pernah Tenggelam
Lebih dari sekadar kitab, Safinatun Najah di Indonesia adalah simbol perjalanan ilmu dari Hadramaut ke Nusantara — perjalanan panjang para ulama yang menyebarkan cahaya Islam dengan kasih sayang.
Karya Sālim bin Sumair telah melahirkan generasi demi generasi pencinta ilmu, dari santri desa hingga ulama besar, yang mengajarkan bahwa fiqh bukan sekadar aturan, tetapi jalan menuju kebijaksanaan dan kasih Ilahi.
Dalam setiap lembar kitab kuning itu, kita menemukan pesan sederhana namun abadi:
Belajarlah dengan cinta, amalkan dengan adab, dan ajarkan dengan keikhlasan.
Dan selama prinsip itu hidup, Safinatun Najah di Indonesia akan tetap menjadi perahu kecil yang membawa umat Islam menuju keselamatan — di lautan zaman yang terus berubah.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
