Surau.co. Di banyak pesantren dan madrasah di Nusantara, nama Safīnatun Najāh begitu akrab di telinga santri. Kitab kecil bersampul sederhana ini menjadi gerbang awal bagi ribuan pelajar Islam untuk memahami dasar-dasar ilmu fiqh. Ditulis oleh Sālim bin ʿAbdallāh bin Saʿd bin Sumayr al-Ḥaḍramī, seorang alim dari Hadramaut, Yaman, Safīnatun Najāh adalah karya yang melampaui zamannya — ringkas tapi padat, sederhana tapi sangat mendalam.
Kitab ini bukan sekadar teks fiqh, melainkan sebuah metodologi pendidikan Islam klasik yang halus dan menyentuh sisi kemanusiaan. Ia mengajarkan bahwa memulai belajar agama harus dengan cara yang lembut, bertahap, dan disertai adab. Maka, membahas metode pengajaran fiqh untuk pemula dalam Safīnatun Najāh sejatinya adalah berbicara tentang bagaimana seorang alim mengajarkan cinta kepada ilmu, bukan sekadar hukum-hukum kaku.
Fiqh yang Dimulai dari Dasar: Prinsip Kesederhanaan
Dalam dunia modern, kita sering tergoda dengan hal-hal besar: konsep tinggi, teori kompleks, atau istilah akademik yang rumit. Namun, Safīnatun Najāh justru menawarkan sebaliknya — kesederhanaan sebagai pintu kebijaksanaan.
Di bagian awal kitab, Sālim bin Sumair menulis dengan bahasa yang sangat sederhana:
يَجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَعْلَمَ مَا يَصِحُّ بِهِ إِسْلَامُهُ
“Wajib bagi setiap Muslim untuk mengetahui perkara yang dengannya Islamnya menjadi sah.”
Kalimat ini tampak biasa, namun di baliknya tersimpan metodologi mendalam. Ia mengajarkan bahwa belajar agama harus dimulai dari hal-hal yang paling mendasar dan paling dibutuhkan — bukan dari hal-hal yang sekadar memukau.
Sebagaimana seorang bayi belajar berjalan sebelum berlari, demikian pula seorang penuntut ilmu harus memulai dari fondasi: mengenal syahadat, wudhu, dan shalat sebelum membahas hukum muamalah atau perdebatan teologis.
Pendekatan ini selaras dengan sabda Rasulullah ﷺ:
بَدَأَ الإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam dimulai dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing seperti awalnya. Maka berbahagialah orang-orang yang dianggap asing.” (HR. Muslim)
Maknanya, Islam itu sederhana dan murni di awal. Maka, mengajarkan Islam pun harus kembali ke kesederhanaan — bukan sekadar banyak, tapi penuh makna.
Bahasa yang Ramah: Ilmu untuk Semua Kalangan
Salah satu daya tarik utama Safīnatun Najāh adalah gaya bahasanya yang mudah dihafal dan mudah dipahami. Kitab ini ditulis dengan struktur singkat dan padat, tanpa banyak perdebatan mazhab atau istilah rumit. Itulah sebabnya kitab ini menjadi pilihan utama di pesantren untuk santri tingkat dasar.
Sālim bin Sumair memahami satu hal penting dalam pendidikan: bahwa ilmu harus diturunkan sesuai kadar kemampuan murid. Dalam kitabnya ia menulis:
لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Ayat ini dijadikan pijakan pedagogi: jangan memaksa murid melampaui batasnya, karena ilmu akan lebih mudah masuk jika hati dalam keadaan tenang dan siap.
Bahkan dalam Safīnatun Najāh, metode pengajaran fiqh lebih menekankan pada tahapan pemahaman, bukan sekadar hafalan. Santri belajar dengan cara mendengar, menirukan, lalu mengamalkan — metode klasik yang sangat manusiawi, namun terbukti efektif hingga kini.
Fiqh sebagai Cermin Kehidupan Sehari-hari
Menariknya, fiqh dalam Safīnatun Najāh tidak diposisikan sebagai sekadar hukum, melainkan panduan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Setiap bab dalam kitab ini, mulai dari ṭahārah (bersuci) hingga ṣalāh (shalat), disusun secara kronologis mengikuti aktivitas Muslim dari pagi hingga malam.
Misalnya, ketika menjelaskan tentang bersuci, Sālim bin Sumair menulis:
الطَّهَارَةُ نَظَافَةُ الْبَدَنِ وَالثَّوْبِ وَالْمَكَانِ مِنَ النَّجَاسَةِ
“Ṭahārah adalah membersihkan badan, pakaian, dan tempat dari najis.”
Definisi ini tampak sederhana, tetapi menyentuh esensi kehidupan: kebersihan sebagai jalan menuju kesucian spiritual. Fiqh, dalam pandangan beliau, tidak hanya memurnikan jasad, tetapi juga hati.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيمَانِ
“Kebersihan adalah separuh dari iman.” (HR. Muslim)
Dari bersuci, seseorang belajar disiplin, menghargai kebersihan, dan menyadari bahwa segala hal lahiriah adalah refleksi dari keadaan batiniah.
Dengan cara ini, fiqh tidak terasa seperti aturan yang membatasi, melainkan jalan hidup yang menuntun manusia kepada keindahan dan keteraturan.
Keseimbangan antara Ilmu dan Adab
Keistimewaan metode pengajaran fiqh dalam Safīnatun Najāh bukan hanya pada isi materinya, tapi juga pada penanaman adab sebelum ilmu.
Sālim bin Sumair sangat menekankan pentingnya etika belajar dan hormat kepada guru.
Beliau menulis:
مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَلَمْ يَعْمَلْ بِهِ، كَانَ كَالْمِصْبَاحِ يُضِيءُ لِلنَّاسِ وَيُحْرِقُ نَفْسَهُ
“Barang siapa belajar ilmu tapi tidak mengamalkannya, maka ia seperti lampu yang menerangi orang lain namun membakar dirinya sendiri.”
Ungkapan ini menggambarkan pentingnya keseimbangan antara ilmu dan amal, antara pengetahuan dan keteladanan.
Di sinilah peran guru menjadi sangat vital. Dalam tradisi pesantren, Safīnatun Najāh tidak hanya dibaca, tetapi dikaji dan dihayati bersama guru. Santri bukan hanya belajar hukum, tapi juga belajar kesabaran, keikhlasan, dan akhlak.
Dari Hadramaut ke Nusantara: Warisan Ilmu yang Tak Lekang Waktu
Yang menarik, Safīnatun Najāh menunjukkan bagaimana tradisi keilmuan Islam dari Hadramaut berhasil berakar di Nusantara. Para ulama Hadramaut terkenal dengan pendekatan dakwah yang lembut dan penuh kasih — metode yang juga tampak jelas dalam kitab ini.
Dari abad ke-19 hingga kini, kitab ini terus diajarkan di pesantren dan majelis taklim di seluruh Indonesia, dari Aceh hingga Sulawesi. Hal ini menjadi bukti bahwa metode pendidikan Islam klasik tetap relevan bahkan di tengah arus digital modern.
Sālim bin Sumair mungkin hidup ratusan tahun lalu, tapi pesan-pesan beliau tetap segar: ajarkan fiqh dengan cinta, bukan ketakutan; dengan kesederhanaan, bukan kerumitan; dengan keteladanan, bukan hanya kata-kata.
Penutup: Fiqh yang Menyentuh Hati
Safīnatun Najāh bukan hanya kitab kecil tentang hukum-hukum ibadah, tapi peta kehidupan bagi seorang Muslim. Ia mengajarkan bahwa memahami fiqh berarti belajar hidup secara tertib, bersih, dan penuh kasih.
Sālim bin Sumair menutup kitabnya dengan pesan yang lembut namun tegas:
مَنْ عَمِلَ بِعِلْمِهِ نَجَا، وَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ هَلَكَ
“Barang siapa mengamalkan ilmunya, ia akan selamat; dan barang siapa mengabaikannya, ia akan binasa.”
Ilmu fiqh sejatinya bukan tentang banyaknya hafalan, melainkan tentang sejauh mana seseorang mampu menjadikannya bekal hidup yang mengantarkan pada keselamatan.
Dari Hadramaut ke pesantren-pesantren di Nusantara, Safīnatun Najāh terus mengajarkan satu hal abadi: belajar agama harus dengan hati yang bersih, niat yang tulus, dan cinta yang mendalam kepada Allah.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
