Surau.co. Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan penuh distraksi, banyak orang berlari tanpa arah yang jelas — sibuk, tapi sering kehilangan makna. Dalam konteks ini, ilmu fiqh hadir bukan hanya sebagai kumpulan hukum dan aturan, tetapi sebagai peta kehidupan yang mengarahkan manusia agar berjalan dalam koridor kehendak Allah.
Kitab klasik Safīnatun Najāh karya Sālim bin ʿAbdallāh bin Saʿd bin Sumayr al-Ḥaḍramī menjadi salah satu karya penting dalam tradisi keilmuan Islam, terutama di dunia pesantren. Kitab ini ringkas, tapi padat makna — menguraikan dasar-dasar ibadah dan hukum syariat yang menjadi fondasi bagi setiap Muslim yang ingin memahami agama secara utuh.
Dan di balik setiap babnya, tersimpan pesan mendalam: bahwa ilmu fiqh bukan hanya tentang “apa yang boleh dan tidak boleh”, tetapi tentang bagaimana hidup dengan kesadaran, tanggung jawab, dan cinta kepada Allah.
Fiqh: Jalan Menuju Ketenangan dan Kepastian
Fiqh sering dipahami sebatas hukum ibadah — wudhu, shalat, zakat, puasa, dan sebagainya. Namun bagi Sālim bin Sumair, fiqh jauh lebih luas. Ia adalah ilmu tentang bagaimana seorang hamba berhubungan dengan Tuhannya melalui perbuatan yang benar dan bernilai.
Dalam Safīnatun Najāh, beliau menulis dengan lugas:
الْفِقْهُ مَعْرِفَةُ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيلِيَّةِ
“Fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan amal perbuatan, yang diambil dari dalil-dalil terperinci.”
Definisi ini sederhana, tetapi menegaskan bahwa fiqh adalah panduan hidup yang bersumber dari wahyu. Ia membimbing setiap langkah manusia agar bernilai ibadah.
Tanpa fiqh, seseorang bisa tersesat dalam kebaikan yang salah arah — beramal banyak, tapi tanpa dasar ilmu. Sebaliknya, dengan fiqh, ibadah menjadi jernih, terukur, dan bermakna.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Allah akan memahamkannya dalam agama.” (HR. Bukhārī dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa pemahaman agama adalah tanda cinta Allah kepada hamba-Nya. Ilmu fiqh menjadi cahaya yang menuntun manusia agar tidak berjalan dalam gelap.
Fiqh dalam Fenomena Kehidupan Sehari-hari
Dalam realitas modern, manusia sering dihadapkan pada dilema moral: antara tuntutan dunia dan panggilan iman. Di sinilah fiqh berperan sebagai kompas yang menuntun arah hidup.
Seorang karyawan, misalnya, yang bekerja keras mencari nafkah, belajar dari fiqh tentang kehalalan rezeki. Seorang pelajar yang berjuang menuntut ilmu, memahami bahwa setiap langkahnya bisa menjadi ibadah. Bahkan, seseorang yang sedang marah pun bisa belajar dari fiqh tentang bagaimana menahan diri dan tidak menzhalimi orang lain.
Sālim bin Sumair menulis:
لَا يَصِحُّ الْعَمَلُ إِلَّا بِنِيَّةٍ، وَلَا تَقْبَلُ النِّيَّةُ إِلَّا بِالْإِخْلَاصِ
“Tidak sah suatu amal kecuali dengan niat, dan tidak diterima niat kecuali dengan keikhlasan.”
Kutipan ini menegaskan bahwa fiqh bukan hanya tentang tata cara, tetapi juga tentang jiwa ibadah. Amal tanpa niat yang benar hanyalah gerak kosong. Sebaliknya, amal kecil dengan niat ikhlas bisa menjadi besar di sisi Allah.
Ilmu Fiqh dan Keseimbangan Spiritual
Kita hidup di zaman di mana banyak orang mengejar spiritualitas tanpa aturan, dan sebagian lainnya menjalankan aturan tanpa ruh. Fiqh datang untuk menjembatani keduanya — menghadirkan keseimbangan antara lahir dan batin.
Dalam Safīnatun Najāh, Sālim bin Sumair dengan indah menggambarkan keseimbangan ini:
الشَّرِيعَةُ بِلَا حَقِيقَةٍ عَطَلٌ، وَالْحَقِيقَةُ بِلَا شَرِيعَةٍ زَيْغٌ
“Syariat tanpa hakikat adalah kering, sedangkan hakikat tanpa syariat adalah sesat.”
Artinya, ilmu fiqh menjaga manusia agar spiritualitasnya tetap berada dalam batas yang benar. Ia memastikan bahwa cinta kepada Allah tidak menjelma menjadi kesesatan, dan ibadah lahir tidak kehilangan makna batin.
Allah ﷻ berfirman:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
“Dan demikianlah Kami jadikan kalian umat yang seimbang (wasath).” (QS. Al-Baqarah: 143)
Keseimbangan inilah yang menjadi inti dari ajaran Islam. Fiqh melatih manusia untuk berjalan di tengah — tidak ekstrem dalam ibadah, tidak pula lalai dalam kehidupan.
Fiqh sebagai Warisan Ilmu yang Hidup
Salah satu keistimewaan Safīnatun Najāh adalah kesederhanaannya. Kitab ini tidak hanya ditujukan bagi ulama, tetapi bagi siapa pun yang ingin memahami dasar agama. Ia menjadi pintu masuk menuju samudra ilmu Islam yang luas.
Di pesantren-pesantren Nusantara, Safīnatun Najāh sering diajarkan kepada santri pemula sebagai bekal awal. Melalui kitab ini, santri belajar bahwa agama bukan sekadar hafalan, tetapi penghayatan. Bahwa setiap amal — dari cara berwudhu hingga niat shalat — adalah bagian dari perjalanan menuju Allah.
Sālim bin Sumair menulis pesan yang menggugah:
الْعِلْمُ نُورٌ، وَمَنْ لَا يَتَعَلَّمُ لَا يَسْتَطِعْ أَنْ يَهْتَدِيَ إِلَى الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيمِ
“Ilmu adalah cahaya, dan barang siapa tidak belajar, ia tidak akan mampu berjalan di jalan yang lurus.”
Dalam kalimat sederhana itu, tersimpan kesadaran mendalam: bahwa kebodohan bukan hanya ketidaktahuan, tetapi bentuk kegelapan yang menutup pintu hidayah. Maka belajar fiqh bukan hanya tuntutan, tetapi kebutuhan spiritual setiap Muslim.
Fiqh dan Amanah Sosial
Menariknya, Safīnatun Najāh tidak hanya membahas ibadah pribadi, tetapi juga tanggung jawab sosial. Fiqh mengajarkan bahwa kesalehan sejati harus tampak dalam perilaku sehari-hari — kejujuran dalam berdagang, keadilan dalam memimpin, dan kasih sayang terhadap sesama.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang Muslim sejati adalah yang orang lain selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhārī dan Muslim)
Inilah makna luas dari fiqh: bukan hanya hukum-hukum ibadah, tetapi juga etika sosial. Orang yang memahami fiqh sejati tidak akan mudah menyakiti, tidak akan menipu, dan selalu menjaga kehormatan orang lain.
Penutup: Menyelami Samudra Hikmah Safīnatun Najāh
Safīnatun Najāh ditulis dengan bahasa sederhana, tapi memiliki kedalaman yang luar biasa. Ia ibarat kapal kecil yang membawa manusia menuju keselamatan, sebagaimana namanya berarti “Perahu Keselamatan.”
Melalui ilmu fiqh yang diajarkan di dalamnya, manusia diajak mengenal Tuhan melalui keteraturan, disiplin, dan kesadaran spiritual.
Sālim bin Sumair menulis di bagian penutup:
مَنْ عَمِلَ بِعِلْمِهِ نَجَا، وَمَنْ أَهْمَلَهُ هَلَكَ
“Barang siapa beramal dengan ilmunya, maka ia selamat; dan barang siapa mengabaikannya, maka ia akan binasa.”
Fiqh bukan hanya ilmu yang harus diketahui, tapi harus dihidupi. Sebab pengetahuan tanpa pengamalan hanyalah ombak yang tidak membawa ke tepian.
Dan Safīnatun Najāh adalah peta yang menuntun manusia menyeberangi lautan dunia menuju pantai keselamatan.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
