Khazanah
Beranda » Berita » Ihram dan Adab Ziarah: Etika Suci dalam Safīnatun Najāh

Ihram dan Adab Ziarah: Etika Suci dalam Safīnatun Najāh

Ilustrasi ihram dan adab ziarah dalam Safinatun Najah karya Sālim bin Sumair al-Ḥaḍramī.
Lukisan realis menggambarkan jamaah haji mengenakan ihram di depan Ka’bah, simbol keikhlasan dan adab spiritual.

Surau.co. Ihram dan Adab Ziarah dalam Safinatun Najah – Ketika seorang Muslim melangkahkan kaki menuju Tanah Suci, ada satu momen yang selalu menggugah hati: saat mengenakan pakaian ihram. Dua lembar kain putih sederhana yang menghapus seluruh perbedaan duniawi — antara kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, tua dan muda. Dalam balutan kain itu, setiap manusia berdiri sama di hadapan Allah.

Dalam Safīnatun Najāh karya Sālim bin ʿAbdallāh bin Saʿd bin Sumayr al-Ḥaḍramī, ihram bukan hanya pakaian, melainkan pernyataan kesucian hati dan adab ziarah yang dalam. Ia menjadi simbol lahir batin: bersihnya penampilan harus diiringi bersihnya niat dan tutur. Ibadah haji dan umrah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab ini, dimulai bukan dari langkah kaki di tanah haram, tapi dari niat tulus dan etika yang terjaga.

Ihram: Simbol Kesucian dan Kerendahan Hati

Ihram adalah titik awal perjalanan spiritual menuju Allah. Ia bukan sekadar syarat ibadah, tetapi juga pernyataan diri bahwa manusia siap meninggalkan dunia dan berfokus pada penciptanya.

Sālim bin Sumair menjelaskan dalam Safīnatun Najāh:

الْإِحْرَامُ نِيَّةُ الدُّخُولِ فِي النُّسُكِ مَعَ التَّلَبِّيَةِ وَتَرْكِ الْمَحْظُورَاتِ
“Ihram adalah niat untuk memasuki ibadah (haji atau umrah) disertai talbiyah dan menjauhi hal-hal yang dilarang.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Dari kalimat ini terlihat jelas: ihram bukan hanya berpakaian putih, tapi memutihkan hati dari dosa, kesombongan, dan ego.
Talbiyah — “لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ” — bukan sekadar lantunan, melainkan jawaban lembut dari hamba yang terpanggil.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)

Ihram mengajarkan kerendahan hati total. Di hadapan Ka’bah, semua gelar dunia gugur. Yang tersisa hanyalah hati — jujur, lembut, dan siap menerima kasih Allah.

Adab Ziarah: Dari Lisan hingga Langkah

Setelah mengenakan ihram, setiap Muslim harus menjaga adab, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun niat. Dalam Safīnatun Najāh, Sālim bin Sumair memberi panduan halus namun mendalam:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

يَجِبُ عَلَى الْمُحْرِمِ أَنْ يَتَأَدَّبَ فِي كَلَامِهِ، وَلَا يَرْفَعَ صَوْتَهُ، وَلَا يُؤْذِي أَحَدًا
“Seorang yang sedang ihram wajib beradab dalam ucapannya, tidak meninggikan suara, dan tidak menyakiti siapa pun.”

Dalam keadaan ihram, bahkan hal-hal kecil yang biasa dilakukan menjadi dilarang: memotong kuku, mencabut rambut, membunuh serangga, hingga bertengkar. Semua itu bukan larangan semata, melainkan pelatihan spiritual agar manusia belajar mengontrol diri dan menjaga ciptaan Allah.

Fenomena yang sering terjadi di zaman modern adalah kesibukan dokumentasi: banyak jamaah yang sibuk mengambil gambar di depan Ka’bah, namun lupa menikmati kekhusyukan ziarah itu sendiri. Padahal, hakikat adab ziarah adalah hadir sepenuhnya — bukan hanya secara fisik, tetapi juga dengan hati yang tunduk.

Kesucian Niat: Ruh dari Ihram dan Ziarah

Dalam kitab Safīnatun Najāh, Sālim bin Sumair menegaskan pentingnya niat dalam setiap ibadah:

وَالنِّيَّةُ شَرْطٌ فِي كُلِّ عِبَادَةٍ، فَهِيَ الْقَصْدُ لِفِعْلِ الْعِبَادَةِ قُرْبَةً إِلَى اللهِ تَعَالَى
“Niat adalah syarat dalam setiap ibadah, yaitu kesengajaan melakukan ibadah sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah Ta‘ala.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Ketika seseorang berniat untuk berhaji atau berumrah, ia bukan sekadar ingin menunaikan kewajiban, tetapi ingin menemui Allah dengan hati yang bersih.

Karena itu, setiap langkah menuju Tanah Suci seharusnya disertai rasa rendah hati dan introspeksi. Mengapa aku datang? Apa yang ingin kucari? Bila jawaban itu adalah cinta Allah, maka perjalanan itu akan menjadi ziarah yang hakiki.

Allah ﷻ berfirman:

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
“Serukanlah kepada manusia untuk menunaikan haji; niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan menunggang unta yang kurus dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Ḥajj: 27)

Ayat ini bukan hanya panggilan perjalanan, tapi panggilan hati — “Datanglah kepada-Ku, dengan langkah, air mata, dan keikhlasanmu.”

Menjaga Lisan dan Pandangan: Adab Sehari-hari di Tanah Suci

Dalam suasana suci, setiap kata memiliki bobot. Sālim bin Sumair menulis dengan lembut:

وَيَحْرُمُ عَلَى الْمُحْرِمِ الرَّفَثُ وَالْفُسُوقُ وَالْجِدَالُ
“Haram bagi orang yang ihram untuk berkata kotor, berbuat maksiat, dan berdebat.”

Larangan ini melatih jamaah agar tidak hanya menjaga ibadah formal, tetapi juga membangun kesadaran sosial dan etika dalam interaksi. Di tengah keramaian jutaan manusia, setiap jamaah diajak untuk belajar sabar, menahan emosi, dan menjaga kehormatan sesama.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barang siapa berhaji tanpa berkata kotor dan berbuat maksiat, maka ia kembali seperti hari dilahirkan ibunya.” (HR. Bukhārī dan Muslim)

Setiap jamaah yang pulang dari Tanah Suci membawa bukan hanya gelar “haji”, tetapi juga jiwa yang lebih lembut dan hati yang lebih damai. Itulah buah dari ihram dan adab ziarah yang dijaga dengan penuh kesadaran.

Ziarah sebagai Cermin Kehidupan

Adab dalam berziarah ke Tanah Suci sejatinya adalah cermin adab dalam kehidupan. Saat di Makkah, seseorang belajar untuk tidak menyakiti siapa pun, tidak meninggikan suara, tidak menghakimi, dan tidak serakah. Bukankah seharusnya sikap itu juga terbawa pulang ke kehidupan sehari-hari?

Sālim bin Sumair mengingatkan dalam kalimat penutup bab ziarah:

مَنْ أَدَّبَ نَفْسَهُ فِي زِيَارَةِ الْبَيْتِ، أَدَّبَهُ اللهُ فِي سَائِرِ حَيَاتِهِ
“Barang siapa beradab ketika berziarah ke Baitullah, maka Allah akan mendidiknya dalam seluruh kehidupannya.”

Inilah makna terdalam dari ibadah haji dan umrah menurut Safīnatun Najāh: ziarah bukan sekadar perjalanan menuju rumah Allah, tapi perjalanan kembali ke dalam hati sendiri — menemukan kembali kelembutan, kesabaran, dan cinta kepada sesama.

Penutup: Menjadi Tamu Allah dengan Adab dan Hati

Ihram mengajarkan kesederhanaan, adab ziarah mengajarkan kelembutan, dan keduanya menjadi jalan menuju kesucian. Dalam setiap langkah di Tanah Suci, seorang Muslim diajak untuk menghapus ego dan membuka hati.

Ketika seseorang pulang dari Makkah dengan wajah tenang dan tutur lembut, di situlah tanda ziarahnya diterima. Sebab yang terpenting bukan berapa kali ia thawaf, tetapi seberapa jauh ia berubah menjadi manusia yang lebih beradab dan berkasih sayang.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement