Surau.co. Setiap tahun, jutaan Muslim dari berbagai penjuru dunia berkumpul di tanah suci Makkah. Dengan pakaian serba putih dan langkah yang tertata, mereka berangkat bukan sekadar untuk perjalanan fisik, tetapi perjalanan spiritual menuju pembersihan diri. Dalam kitab klasik Safīnatun Najāh karya Sālim bin ʿAbdallāh bin Saʿd bin Sumayr al-Ḥaḍramī, ibadah haji dan umrah digambarkan bukan hanya sebagai kewajiban, tetapi juga sebagai simbol penyucian total — lahir dan batin, jiwa dan jasad.
Makna Haji dan Umrah: Gerak Fisik yang Menghidupkan Ruh
Haji adalah ibadah yang menggabungkan tubuh, harta, dan hati. Ia menuntut kesiapan total: perjalanan jauh, pengorbanan materi, dan ketulusan niat. Dalam Safīnatun Najāh, Sālim bin Sumair menulis dengan padat namun sarat makna:
وَالْحَجُّ قَصْدُ الْبَيْتِ الْحَرَامِ لِأَدَاءِ النُّسُكِ فِي الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ
“Haji adalah menyengaja menuju Baitullah al-Haram untuk menunaikan ibadah tertentu pada waktu yang telah ditentukan.”
Sedangkan tentang umrah, beliau menulis:
وَالْعُمْرَةُ زِيَارَةُ الْبَيْتِ بِطَوَافٍ وَسَعْيٍ
“Umrah adalah berkunjung ke Baitullah dengan melakukan thawaf dan sa‘i.”
Dua ibadah ini sekilas tampak fisik — berjalan, berputar, berlari kecil — namun sesungguhnya setiap gerakannya adalah bahasa jiwa. Haji dan umrah melatih manusia untuk kembali taat, tunduk, dan ikhlas sepenuhnya kepada Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barang siapa berhaji dan tidak berkata kotor serta tidak berbuat fasik, maka ia akan kembali seperti hari ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhārī dan Muslim)
Haji bukan hanya tentang sampai ke Makkah, tetapi sampai ke keadaan fitrah — kembali bersih seperti bayi yang baru lahir.
Ihram: Simbol Kesetaraan dan Keikhlasan
Momen mengenakan ihram adalah titik awal perubahan. Ketika seseorang melepas pakaian duniawinya dan menggantinya dengan kain putih sederhana, di situlah ego luluh dan hati mulai tenang. Tidak ada lagi gelar, pangkat, atau perbedaan sosial; semua manusia sama di hadapan Allah.
Sālim bin Sumair menulis:
وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَلْبَسَ إِزَارًا وَرِدَاءً أَبْيَضَيْنِ نَقِيَّيْنِ، وَيَنْوِي الْإِحْرَامَ بِقَلْبِهِ
“Disunnahkan mengenakan dua kain putih yang bersih dan meniatkan ihram dengan hati.”
Ihram bukan hanya pakaian, tetapi pernyataan niat. Ia menandakan kesiapan total untuk meninggalkan dunia demi mendekat kepada Allah.
Allah ﷻ berfirman:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
“Sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah.” (QS. Al-Baqarah: 196)
Ayat ini menegaskan: tujuan utama bukan sekadar ritual, tapi lillāh — hanya untuk Allah. Itulah inti keikhlasan sejati yang menjadi ruh dari setiap ibadah besar.
Thawaf dan Sa’i: Menelusuri Jejak Cinta dan Pengorbanan
Setiap putaran di sekitar Ka’bah adalah simbol cinta yang mengelilingi pusat kehidupan. Setiap langkah adalah bentuk penyerahan total kepada Allah. Dalam Safīnatun Najāh, disebutkan:
وَالطَّوَافُ سَبْعَةُ أَشْوَاطٍ بِالْبَيْتِ مُبْتَدِئًا بِالْحَجَرِ وَمُخْتَتِمًا بِهِ
“Thawaf dilakukan tujuh kali mengelilingi Ka’bah, dimulai dan diakhiri di Hajar Aswad.”
Tujuh putaran itu bukan tanpa makna — ia melambangkan perjalanan hidup yang berulang, penuh ujian, tapi selalu berpusat pada Allah.
Kemudian dilanjutkan dengan sa’i — berjalan antara bukit Shafa dan Marwah, menapaktilasi perjuangan Siti Hajar mencari air untuk Ismail.
Sālim bin Sumair menjelaskan:
وَالسَّعْيُ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ تَذْكِيرٌ بِسَعْيِ هَاجَرَ وَدَلِيلٌ عَلَى الصَّبْرِ وَالثِّقَةِ بِاللهِ
“Sa’i antara Shafa dan Marwah adalah pengingat akan perjuangan Hajar, dan tanda kesabaran serta kepercayaan penuh kepada Allah.”
Dalam langkah-langkah itu, umat Islam belajar tentang sabar dan tawakkal. Bahwa bahkan di tengah keputusasaan, Allah tetap menyediakan Zamzam — sumber kehidupan yang lahir dari iman dan ketulusan seorang ibu.
Wukuf di Arafah: Puncak Kesadaran dan Pengampunan
Arafah adalah puncak dari seluruh perjalanan spiritual. Di padang luas dan sunyi, jutaan manusia berdiri dalam kesederhanaan, tanpa pembeda, dengan satu tujuan: mencari ampunan dan kasih sayang Allah.
Sālim bin Sumair menulis dalam Safīnatun Najāh:
وَالْوُقُوفُ بِعَرَفَةَ رُكْنُ الْحَجِّ، وَهُوَ الْوُقُوفُ بَعْدَ الزَّوَالِ إِلَى الْغُرُوبِ بِالدُّعَاءِ وَالضَّرَاعَةِ
“Wukuf di Arafah adalah rukun haji, yaitu berdiri setelah tergelincir matahari hingga terbenamnya dengan berdoa dan merendahkan diri.”
Wukuf adalah momen penyatuan spiritual seluruh umat. Ia bukan sekadar berdiri, tetapi berdiri di hadapan Tuhan dengan seluruh kerendahan hati.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الْحَجُّ عَرَفَةُ
“Haji itu (intinya adalah) Arafah.” (HR. Tirmidzi)
Di Arafah, semua topeng dunia runtuh. Tidak ada lagi ‘aku’ yang sombong, tidak ada lagi ‘mereka’ yang berbeda. Hanya hamba dan Tuhannya — dalam pengakuan dan harapan yang tulus.
Haji dan Umrah: Cermin Kehidupan Manusia
Setiap bagian dari haji dan umrah memiliki makna yang dalam. Thawaf melambangkan kehidupan yang berputar, sa’i menggambarkan perjuangan, Arafah mengajarkan introspeksi, dan melontar jumrah melatih keberanian melawan godaan dunia.
Sālim bin Sumair menulis penutup bab haji dengan kalimat yang penuh renungan:
مَنْ أَدَّى الْحَجَّ بِقَلْبٍ خَاشِعٍ وَنِيَّةٍ خَالِصَةٍ، فَقَدْ زَارَ رَبَّهُ بِرُوحِهِ قَبْلَ جَسَدِهِ
“Barang siapa berhaji dengan hati yang khusyuk dan niat yang tulus, maka ia telah mengunjungi Tuhannya dengan ruhnya sebelum jasadnya.”
Haji bukan tentang perjalanan ribuan kilometer, tetapi tentang perjalanan menuju kedalaman hati. Ia mengajarkan manusia bahwa Allah tidak jauh — hanya sering tertutup oleh kesibukan dan kesombongan kita sendiri.
Penutup: Dari Tanah Suci ke Kehidupan Sehari-hari
Setelah seseorang menunaikan haji atau umrah, perubahan sejati tidak diukur dari gelar “haji” di depan namanya, tetapi dari bagaimana ia menjalani hidup setelah kembali.
Apakah ia lebih sabar? Lebih rendah hati? Lebih ringan tangan dalam membantu sesama?
Dalam Safīnatun Najāh, ibadah haji bukan akhir dari perjalanan, tetapi awal dari perjalanan spiritual seumur hidup.
Allah ﷻ berfirman:
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
“Serukanlah kepada manusia untuk menunaikan haji; niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan menunggang unta yang kurus dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Ḥajj: 27)
Seruan ini tak hanya panggilan fisik, tapi panggilan jiwa — agar setiap insan berangkat, menanggalkan dunia, dan kembali dalam keadaan suci.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
