Khazanah
Beranda » Berita » Puasa Ramadan dalam Safīnatun Najāh: Ibadah Menahan untuk Mendekat

Puasa Ramadan dalam Safīnatun Najāh: Ibadah Menahan untuk Mendekat

Ilustrasi puasa Ramadan dalam Safinatun Najah karya Sālim bin Sumair al-Ḥaḍramī.
Lukisan realis yang menggambarkan keheningan menjelang berbuka sebagai simbol spiritualitas puasa dalam Safīnatun Najāh.

Surau.co. Puasa Ramadan dalam Safinatun Najah – Setiap kali bulan Ramadan tiba, langit malam terasa lebih lembut, udara dini hari penuh harap, dan suara adzan magrib seakan membawa kedamaian yang tak tergantikan. Di balik semua rutinitasnya — sahur, menahan lapar, berbuka, dan tarawih — puasa Ramadan bukan sekadar ritual tahunan, melainkan sebuah latihan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Dalam kitab Safīnatun Najāh karya ulama besar Sālim bin ʿAbdallāh bin Saʿd bin Sumayr al-Ḥaḍramī, puasa dijelaskan secara ringkas tapi sangat mendalam. Kitab ini menuntun pembacanya untuk memahami bukan hanya hukum, tapi juga makna rohani di balik ibadah yang disebut sebagai “perisai dari api neraka” ini.

Menahan Diri, Menyucikan Hati

Puasa adalah ibadah yang mengajarkan menahan diri — dari makan, minum, amarah, hingga dorongan nafsu. Dalam Safīnatun Najāh, Sālim bin Sumair menulis:

وَالصَّوْمُ إِمْسَاكٌ عَنِ الْمُفَطِّرَاتِ مَعَ النِّيَّةِ مِنَ الْفَجْرِ إِلَى الْمَغْرِبِ
“Puasa adalah menahan diri dari segala hal yang membatalkan, disertai niat, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.”

Kalimat ini mungkin terdengar sederhana, tapi di dalamnya terkandung makna yang dalam: puasa bukan sekadar menahan lapar, tapi menahan seluruh diri.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan buruk, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhārī)

Puasa yang benar, kata Nabi, bukan hanya lapar di perut, tapi juga lapar di hati — lapar akan kasih Allah, lapar akan kebaikan. Ia mengajarkan kita untuk mengendalikan diri bukan karena takut, tetapi karena cinta.

Ramadan Sebagai Madrasah Jiwa

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering terjebak dalam keinginan tanpa batas. Dunia menggoda dengan banyak hal: ambisi, kesenangan, dan kecepatan hidup. Puasa datang seperti pause button dalam hidup kita — mengajak berhenti sejenak untuk menyadari makna menjadi manusia.

Sālim bin Sumair menulis dalam Safīnatun Najāh:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

الصَّوْمُ يُزَكِّي النَّفْسَ وَيُطَهِّرُ الْقَلْبَ مِنَ الْغَفْلَةِ
“Puasa menyucikan jiwa dan membersihkan hati dari kelalaian.”

Ramadan adalah waktu untuk menyapu debu hati. Dalam keheningan lapar, seseorang belajar tentang kelemahan dirinya — bahwa tanpa rahmat Allah, ia hanyalah makhluk yang rapuh.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Ayat ini menunjukkan bahwa puasa bukan hanya soal ritual, tapi transformasi batin. Tujuan akhirnya bukan sekadar menahan lapar, tetapi menumbuhkan takwa — kesadaran mendalam bahwa Allah selalu hadir dalam setiap detik kehidupan.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Puasa dan Keadilan Sosial: Merasakan Lapar, Memahami Derita

Ada sisi sosial yang kuat dalam ibadah puasa. Di siang hari, ketika perut mulai keroncongan dan tenggorokan kering, kita merasakan sedikit dari apa yang dirasakan mereka yang lapar sepanjang waktu.

Dalam Safīnatun Najāh, disebutkan:

وَمِنْ حِكْمَةِ الصِّيَامِ أَنْ يَشْعُرَ الْغَنِيُّ بِالْفَقِيرِ فَيَرْقَّ قَلْبُهُ وَيُسَاعِدَهُ
“Salah satu hikmah puasa adalah agar orang kaya merasakan penderitaan orang miskin, sehingga hatinya lembut dan ia terdorong untuk menolong.”

Betapa lembut pesan ini. Puasa bukan hanya tentang diri sendiri, tetapi tentang rasa kemanusiaan.

Di penghujung Ramadan, zakat fitrah menjadi perwujudan nyata dari rasa empati ini. Puasa melatih hati untuk peka, lalu zakat mengajarkan tangan untuk memberi. Dari situlah keseimbangan sosial Islam tercipta: bukan karena sistem ekonomi, tetapi karena cinta antar sesama.

Puasa dan Kedekatan dengan Allah

Dalam Islam, puasa adalah ibadah yang unik. Tidak ada manusia yang bisa mengawasi apakah seseorang benar-benar berpuasa atau tidak. Karena itu, Allah menyebutnya sebagai ibadah yang langsung untuk-Nya.

Dalam Safīnatun Najāh, Sālim bin Sumair menulis:

الصَّوْمُ سِرٌّ بَيْنَ الْعَبْدِ وَرَبِّهِ، لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا اللهُ
“Puasa adalah rahasia antara hamba dan Tuhannya; tidak ada yang mengetahuinya selain Allah.”

Hadis qudsi juga menyebutkan:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
“Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya, kecuali puasa. Ia adalah untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” (HR. Bukhārī dan Muslim)

Puasa adalah percakapan rahasia antara manusia dan Penciptanya. Tidak ada yang tahu ketika seseorang menahan diri dari godaan di tengah hari yang panas, kecuali Allah. Itulah bentuk tertinggi keikhlasan: menahan karena cinta.

Menyambut Magrib: Saat yang Mengajarkan Syukur

Ketika matahari mulai tenggelam dan adzan magrib terdengar, rasa syukur membuncah. Seteguk air dan sebutir kurma terasa seperti nikmat surga.

Itulah saat di mana puasa mengajarkan makna sejati dari rasa cukup.
Sālim bin Sumair menggambarkannya dengan lembut dalam Safīnatun Najāh:

إِذَا أَفْطَرَ الصَّائِمُ فَلْيَكُنْ شُكْرُهُ كَثِيرًا فَإِنَّهُ فِي نِعْمَةٍ كَبِيرَةٍ
“Ketika orang yang berpuasa berbuka, hendaklah ia banyak bersyukur, karena ia berada dalam nikmat yang besar.”

Fenomena sehari-hari seperti buka bersama keluarga, membagikan takjil, atau berbagi makanan dengan tetangga adalah cerminan nyata dari makna ini. Puasa mengajarkan bahwa berbagi adalah bentuk syukur yang paling indah.

Penutup: Menahan untuk Mendekat

Ramadan bukan bulan yang melelahkan, melainkan bulan yang menyadarkan. Ia mengajarkan bahwa menahan bukan berarti kehilangan, tapi menemukan. Menahan lapar untuk menemukan rasa syukur, menahan amarah untuk menemukan damai, menahan dunia untuk menemukan Allah.

Dalam Safīnatun Najāh, semua itu terangkum dalam satu kalimat yang menenangkan:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa berpuasa Ramadan dengan iman dan mengharap ridha Allah, maka diampuni dosanya yang telah lalu.”

Puasa, pada akhirnya, adalah perjalanan kembali — dari dunia menuju Tuhan. Dari sibuknya rutinitas menuju tenangnya makna.
Ramadan adalah undangan untuk kembali menjadi manusia yang sadar, lembut, dan dekat dengan Sang Pencipta.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement