Surau.co. Zakat Fitrah dalam Pandangan Safinatun Najah – Setiap kali Ramadan mendekati akhir, suasana umat Islam berubah. Ada haru yang menyelinap di antara kebahagiaan menyambut Idulfitri. Di tengah persiapan menyambut hari kemenangan, umat Islam melaksanakan satu kewajiban mulia: zakat fitrah. Ibadah ini bukan sekadar kewajiban materi, tetapi juga penyucian jiwa — sebagaimana dijelaskan dalam kitab Safīnatun Najāh karya Sālim bin ʿAbdallāh bin Saʿd bin Sumayr al-Ḥaḍramī, sebuah teks fiqh klasik yang menjadi rujukan penting di banyak pesantren Nusantara.
Dalam kitab tersebut, zakat fitrah dijelaskan bukan hanya dari sisi hukum dan jumlah, tetapi juga dari sisi hikmah spiritual: menyeimbangkan hubungan manusia dengan Tuhannya, sekaligus menguatkan ikatan sosial antar sesama.
Makna Zakat Fitrah: Ibadah di Ujung Ramadan yang Menyentuh Hati
Zakat fitrah memiliki posisi istimewa di antara ibadah Ramadan. Ia hadir di akhir bulan suci, sebagai penutup yang menyempurnakan ibadah puasa. Dalam Safīnatun Najāh, Sālim bin Sumair menulis:
وَفَرْضُ الزَّكَاةِ فِطْرَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَامَ رَمَضَانَ وَقَدْرُهَا صَاعٌ مِنْ قُوتِ الْبَلَدِ
“Zakat fitrah diwajibkan atas setiap Muslim yang berpuasa Ramadan, dengan ukuran satu sha‘ dari makanan pokok negeri tersebut.”
Satu sha‘ kira-kira setara dengan 2,5–3 kilogram beras di konteks Indonesia. Namun lebih dari sekadar ukuran, pesan di baliknya begitu dalam: zakat fitrah adalah wujud syukur dan pembersihan diri dari kekurangan dalam ibadah.
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:
قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan dirinya dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.” (QS. Al-A‘lā: 14–15)
Ayat ini memberi pesan kuat bahwa keberuntungan sejati bukan pada harta atau kedudukan, tetapi pada kesucian hati. Zakat fitrah menjadi salah satu sarana untuk mencapai kesucian tersebut — menyapu debu dosa dan kelalaian selama Ramadan.
Membersihkan Diri dan Harta: Dua Sisi dari Satu Ibadah
Dalam kehidupan modern, banyak orang fokus pada nilai ekonomi zakat fitrah, tapi lupa pada nilai batinnya. Padahal, menurut Safīnatun Najāh, zakat fitrah bukan hanya tentang memberi beras atau uang, melainkan tentang menyucikan diri dan harta.
Sālim bin Sumair menulis:
الزَّكَاةُ تُطَهِّرُ النَّفْسَ مِنَ الْبُخْلِ وَتُنَقِّي الْمَالَ مِنَ الْحَقِّ الْمَوْقُوفِ فِيهِ
“Zakat menyucikan jiwa dari sifat kikir dan membersihkan harta dari hak orang lain yang masih ada di dalamnya.”
Ibadah ini mengajarkan keseimbangan: bahwa harta yang kita miliki bukan sepenuhnya milik kita. Ada hak yang harus disampaikan kepada mereka yang membutuhkan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
طُهْرَةٌ لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةٌ لِلْمَسَاكِينِ
“Zakat fitrah adalah penyucian bagi orang yang berpuasa dari kata-kata sia-sia dan kotor, serta makanan bagi orang miskin.” (HR. Abu Dawud)
Hadis ini menunjukkan bahwa zakat fitrah memiliki dua dimensi: spiritual dan sosial. Ia membersihkan jiwa yang berpuasa, sekaligus memberi kehidupan bagi mereka yang kekurangan.
Menumbuhkan Solidaritas dan Cinta Sosial di Hari Raya
Salah satu hikmah zakat fitrah yang dijelaskan Safīnatun Najāh adalah menciptakan kebersamaan di hari kemenangan. Tak ada yang boleh lapar di Idulfitri. Semua harus merasakan kegembiraan.
يُسْتَحَبُّ أَنْ تُخْرَجَ الزَّكَاةُ قَبْلَ صَلَاةِ الْعِيدِ، لِكَيْ يَسْتَغْنِيَ الْفُقَرَاءُ عَنِ السُّؤَالِ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ
“Disunnahkan mengeluarkan zakat sebelum shalat Id agar orang-orang miskin tidak perlu meminta pada hari itu.”
Pesan ini menunjukkan betapa Islam sangat memperhatikan perasaan sosial. Bayangkan, di hari yang penuh kebahagiaan, seseorang yang tidak mampu bisa tersenyum karena kita berbagi.
Dalam masyarakat modern, tradisi zakat fitrah juga memperkuat jaringan sosial. Lembaga amil zakat, masjid, hingga pesantren menjadi penghubung antara yang mampu dan yang membutuhkan. Momen ini menjadikan Ramadan bukan hanya bulan ibadah pribadi, tapi juga bulan cinta sosial.
Allah ﷻ berfirman:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan pada harta mereka terdapat hak untuk orang yang meminta dan orang yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz-Dzāriyāt: 19)
Zakat fitrah menjadi bentuk nyata dari ayat ini. Ia memastikan bahwa kebahagiaan tidak dimonopoli, tapi dibagi.
Zakat Fitrah dan Spirit Kemandirian Sosial
Dalam Safīnatun Najāh, Sālim bin Sumair tidak hanya menekankan aspek ibadah, tetapi juga kemandirian umat. Dengan zakat fitrah, setiap individu berkontribusi terhadap kesejahteraan sosial tanpa menunggu bantuan negara atau lembaga besar.
الزَّكَاةُ تُقَوِّي رَوَابِطَ الْأُمَّةِ وَتَجْعَلُهَا كَجَسَدٍ وَاحِدٍ
“Zakat memperkuat ikatan umat dan menjadikannya seperti satu tubuh yang utuh.”
Zakat fitrah mengajarkan bahwa kesejahteraan adalah tanggung jawab bersama. Ketika seseorang membayar zakat fitrah, ia tidak hanya memenuhi kewajiban, tetapi ikut menjaga kehormatan orang lain agar tidak harus meminta.
Fenomena ini terasa nyata di kampung-kampung. Setiap menjelang Idulfitri, para pengurus masjid membagikan beras zakat kepada warga kurang mampu. Wajah-wajah yang semula muram berubah cerah. Anak-anak tersenyum sambil memeluk beras di tangan ibunya. Itulah wajah sejati Islam: lembut, peduli, dan penuh cinta.
Menutup Ramadan dengan Kesucian dan Syukur
Setelah sebulan penuh berpuasa, berzikir, dan berdoa, zakat fitrah menjadi penutup yang sempurna. Ia menyempurnakan amal Ramadan dan membuka jalan menuju hari yang bersih.
Sālim bin Sumair menulis:
مَنْ أَدَّى الزَّكَاةَ فِي وَقْتِهَا نَالَ الْأَجْرَ وَقُبُولَ الصِّيَامِ
“Barang siapa menunaikan zakat fitrah pada waktunya, maka ia mendapatkan pahala dan diterima puasanya.”
Artinya, zakat fitrah bukan sekadar formalitas akhir Ramadan, tetapi kunci diterimanya amal ibadah. Tanpa zakat fitrah, ibadah puasa kita belum sempurna.
Zakat fitrah juga melatih kita untuk tidak terikat pada harta. Ia menanamkan kesadaran bahwa kebahagiaan sejati bukan dari apa yang kita simpan, tetapi dari apa yang kita bagi.
Penutup: Zakat Fitrah, Jembatan Antara Dunia dan Akhirat
Dalam pandangan Safīnatun Najāh, zakat fitrah adalah ibadah yang menyatukan dunia dan akhirat. Di dunia, ia menumbuhkan keadilan sosial dan rasa kasih antar manusia. Di akhirat, ia menjadi cahaya yang menerangi langkah menuju ampunan Allah.
Ketika kita menyalurkan zakat fitrah dengan tulus, sesungguhnya kita sedang mempersembahkan cinta dan syukur atas kehidupan. Ramadan mengajarkan lapar, zakat fitrah mengajarkan berbagi. Dua hal ini jika digabungkan akan melahirkan manusia yang lembut hatinya dan kuat imannya.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
