Khazanah
Beranda » Berita » Menunaikan Zakat dengan Ikhlas: Amanah Sosial Menurut Safīnatun Najāh

Menunaikan Zakat dengan Ikhlas: Amanah Sosial Menurut Safīnatun Najāh

Ilustrasi zakat menurut Safinatun Najah karya Sālim bin Sumair al-Ḥaḍramī.
Lukisan realis yang menggambarkan makna sosial dan spiritual zakat dalam Islam — harmoni antara pemberi dan penerima.

Surau.co. Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan individualistis, sering kali manusia terjebak dalam rutinitas mencari nafkah tanpa sempat menengok makna sejati dari harta yang dimilikinya. Di sinilah zakat hadir bukan hanya sebagai kewajiban keagamaan, tetapi sebagai amanah sosial yang menghidupkan keadilan dan kasih sayang dalam masyarakat.
Dalam kitab Safīnatun Najāh karya Sālim bin ʿAbdallāh bin Saʿd bin Sumayr al-Ḥaḍramī, zakat dijelaskan dengan bahasa yang sederhana namun menggetarkan — bukan hanya soal jumlah yang dikeluarkan, tapi tentang keikhlasan hati dalam menunaikannya.

Makna Zakat dalam Pandangan Syariat dan Kemanusiaan

Secara bahasa, zakat berarti bersih dan berkembang. Sedangkan secara syariat, ia adalah pengeluaran harta tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah dan membantu mereka yang berhak menerima.

Dalam Safīnatun Najāh, Sālim bin Sumair menulis:

فَرْضُ الزَّكَاةِ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ مَالِكٍ لِلنِّصَابِ الْمَخْصُوصِ حَوْلًا كَامِلًا
“Zakat diwajibkan atas setiap Muslim yang memiliki harta mencapai nisab tertentu selama satu tahun penuh.”

Kalimat ini menunjukkan bahwa zakat bukan hanya ritual tahunan, melainkan sistem sosial yang menjaga keseimbangan ekonomi. Ia menumbuhkan empati, mengikis kesenjangan, dan meneguhkan rasa persaudaraan.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Allah menegaskan dalam Al-Qur’an:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103)

Zakat bukan sekadar transfer harta, melainkan proses penyucian jiwa dari sifat kikir dan ketergantungan terhadap dunia.

Zakat sebagai Amanah Sosial dan Cermin Keimanan

Dalam Safīnatun Najāh, zakat disebut sebagai fardhu ‘ain bagi yang memenuhi syarat. Bukan hanya urusan antara hamba dan Allah, tapi juga antara manusia dan sesamanya.

وَالزَّكَاةُ رُكْنٌ مِنْ أَرْكَانِ الإِسْلَامِ، تُؤَدَّى بِالنِّيَّةِ وَالْإِخْلَاصِ
“Zakat adalah salah satu rukun Islam, yang wajib ditunaikan dengan niat dan keikhlasan.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Sālim bin Sumair menekankan dua hal penting: niat dan ikhlas. Banyak orang menunaikan zakat, tapi sedikit yang benar-benar memahami ruhnya. Zakat yang dilakukan tanpa niat tulus akan kehilangan maknanya; sebaliknya, zakat yang diiringi keikhlasan akan membuka pintu berkah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَا نَقَصَ مَالٌ مِنْ صَدَقَةٍ
“Harta tidak akan berkurang karena sedekah.” (HR. Muslim)

Hadis ini mengajarkan logika spiritual yang berbeda dari logika ekonomi biasa. Dalam pandangan iman, memberi justru memperkaya — bukan karena jumlahnya bertambah, tetapi karena keberkahan yang tumbuh.

Delapan Golongan Penerima Zakat dan Nilai Keadilan

Safīnatun Najāh juga menegaskan tentang pihak-pihak yang berhak menerima zakat sesuai Al-Qur’an.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

وَيُصْرَفُ الزَّكَاةُ لِثَمَانِيَةٍ: الْفُقَرَاءِ، وَالْمَسَاكِينِ، وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا، وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ، وَفِي الرِّقَابِ، وَالْغَارِمِينَ، وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَابْنِ السَّبِيلِ
“Zakat disalurkan kepada delapan golongan: fakir, miskin, amil zakat, muallaf, pembebasan budak, orang berhutang, perjuangan di jalan Allah, dan musafir yang kehabisan bekal.”

Delapan asnaf ini mencerminkan keadilan sosial yang luar biasa. Fakir dan miskin mendapatkan bantuan langsung. Amil zakat diberi penghargaan atas dedikasinya. Muallaf mendapat dukungan agar hatinya mantap dalam Islam. Mereka yang berjuang di jalan Allah memperoleh dukungan moral dan material. Bahkan musafir yang terputus perjalanan pun tidak ditinggalkan.

Zakat, dengan demikian, bukan hanya instrumen ekonomi, tapi juga peta cinta sosial yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat.

Ikhlas dalam Memberi: Ruh dari Zakat

Sering kali orang terjebak dalam hitung-hitungan: berapa persen, berapa nisab, berapa tahun. Padahal, dalam kitab Safīnatun Najāh, penulis mengingatkan bahwa inti zakat bukan pada nominalnya, melainkan pada hati yang rela.

مَنْ أَدَّى الزَّكَاةَ بِنِيَّةٍ صَادِقَةٍ بَارَكَ اللهُ فِي مَالِهِ وَزَادَهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Barang siapa menunaikan zakat dengan niat yang tulus, Allah akan memberkahi hartanya dan menambahkannya dengan karunia-Nya.”

Kalimat ini menegaskan bahwa zakat yang disertai keikhlasan akan mendatangkan limpahan keberkahan. Tidak hanya bagi yang memberi, tapi juga bagi penerima dan masyarakat secara luas.

Fenomena sehari-hari menunjukkan bahwa semakin banyak orang yang mengeluarkan zakat dengan kesadaran spiritual, semakin sehat pula tatanan sosial di sekitarnya. Dari pesantren kecil di pelosok hingga platform zakat digital di kota besar, semangat memberi dengan ikhlas terus menyala.

Zakat sebagai Jalan Ketenangan dan Kemenangan

Dalam dunia yang penuh persaingan, zakat mengajarkan keseimbangan: bekerja keras tanpa lupa berbagi. Ia melatih manusia untuk tidak diperbudak oleh harta, tapi menjadikan harta sebagai alat untuk mendekat kepada Allah.

Allah berfirman:

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Apa pun yang kamu infakkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dia adalah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Saba’: 39)

Janji ini bukan sekadar retorika spiritual, tetapi hukum kehidupan. Ketika seseorang memberi dengan ikhlas, ia sedang membuka jalan bagi keberkahan yang jauh melampaui nilai materi.

Dalam Safīnatun Najāh, zakat ditulis ringkas tapi mengandung makna mendalam: memberi untuk membersihkan, bukan untuk dipuji.

Zakat yang benar adalah zakat yang menumbuhkan cinta dan harapan — bukan hanya di tangan yang memberi, tapi juga di hati yang menerima.

Penutup: Zakat sebagai Nafas Kehidupan Sosial

Di tengah dunia yang semakin materialistik, pesan Safīnatun Najāh terasa semakin relevan. Zakat bukan hanya kewajiban agama, tetapi sistem sosial yang menumbuhkan empati, menyatukan umat, dan menyeimbangkan kehidupan.

Menunaikan zakat dengan ikhlas adalah cara kita membersihkan diri, menegakkan keadilan, dan membangun masyarakat yang penuh kasih. Harta bukan milik mutlak manusia; ia hanyalah titipan yang harus dikelola dengan amanah.

Maka, setiap kali tangan kita menyalurkan zakat, sesungguhnya kita sedang menyalakan cahaya — cahaya keikhlasan yang menuntun menuju ridha Allah.

 

* Reza AS
Pengasu ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement