SURAU.CO – Thawus bin Kaisan adalah sosok ulama yang teguh, berani, dan zuhud. Keteguhannya dalam menjaga kemurnian iman serta keberaniannya menegur penguasa zalim menjadi teladan bagi siapa pun yang menempuh jalan ilmu dan kebenaran.
Thawus bin Kaisan, yang bernama lengkap Dzakwan bin Kaisan, berasal dari Yaman. Ia hidup pada masa pemerintahan Bani Umayyah ketika kekuasaan dijalankan dengan tangan besi oleh Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi, dan saudaranya, Muhammad bin Yusuf, menjadi gubernur di wilayah Yaman. Keduanya terkenal sebagai penguasa yang keras, ambisius, dan kerap menindas rakyatnya. Dalam situasi seperti itulah Thawus tampil sebagai suara nurani umat yang tak gentar menegur penguasa meski berisiko tinggi.
Suatu musim dingin, ketika rakyat Yaman menderita karena keserakahan penguasa, Thawus bersama sahabatnya, Wahab bin Munabbih, memberanikan diri mengunjungi istana gubernur Muhammad bin Yusuf. Dengan penuh ketenangan, Thawus duduk di hadapan sang gubernur dan mulai menyampaikan nasihat. Ia berbicara lebar-lebar tentang amanah kekuasaan dan tanggung jawab di hadapan Allah.
Kata- katanya tegas, jujur, dan menusuk hati. Semua yang hadir merenung, takjub menyaksikan keberanian Thawus menegur penguasaan yang ditakuti banyak orang.
Godaan Hadiah dari Penguasa
Namun, bukannya tersentuh, Muhammad bin Yusuf justru tersenyum sinis. Ia berbisik kepada pengawalnya agar mengambilkan pakaian mahal berwarna hijau dan meletakkannya di bahu Thawus. “Letakkan itu di bahunya. Setelah ini dia pasti akan diam,” ujarnya dengan nada meremehkan.
Sang pengawal pun segera melaksanakan perintah. Ia menaruh pakaian itu di bahu Thawus yang tengah berbicara. Thawus merasakan ada sesuatu di pundaknya, dan aroma harum dari kain mahal itu segera tercium. Ia tahu bahwa itu bukan sekedar hadiah, melainkan suap halus untuk memberikan nasihatnya. Dengan tenang, tanpa henti pembicaraannya, ia menggoyangkan bahunya perlahan hingga pakaian itu jatuh ke tanah. Setelah menyelesaikan nasihatnya, ia berdiri dan meninggalkan majelis.
Hikmah dari Penolakan Thawus
Wajah Muhammad bin Yusuf memerah menahan amarah. Ia merasa dipermalukan, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Di luar istana, Wahab bin Munabbih berkata kepada Thawus, “Wahai Abu Abdurrahman, mengapa kamu menolaknya? Andaikan kamu terima lalu menjualnya untuk disedekahkan kepada fakir miskin, bukankah itu lebih bermanfaat?”
Thawus menjawab dengan hikmah, “Benar katamu, wahai Wahab, andai tidak ada kekhawatiran bahwa orang setelah kita akan berkata, ‘Kami juga akan mengambil seperti Thawus,’ tetapi mereka tidak akan menyampaikan sebagaimana yang kamu niatkan.” Ucapan ini menunjukkan betapa dalamnya pemandangan Thawus. Ia menolak bukan karena sombong, melainkan demi menjaga teladan agar para ulama setelahnya tidak terbiasa menerima pemberian penguasa yang berpotensi mencemari integritas mereka.
Upaya Licik yang Gagal
Namun, Gubernur terus berusaha menggoda Thawus. Ia ingin membuktikan bahwa semua orang bisa dibeli. Beberapa hari kemudian, ia memerintahkan bendaharanya membawa tujuh ratus dinar emas untuk diberikan kepada Thawus. “Berikan kepada Abu Abdurrahman dan pastikan dia menerimanya,” katanya.
Utusan itu pun datang ke rumah Thawus di desa al-Janad dekat Shan’a. Ia memberi salam dan berkata, “Wahai Abu Abdurrahman, ini nafkah dari amir untuk Anda.” Dengan lembut, Thawus menjawab, “Aku tidak memerlukan itu.” Namun utusan tersebut menjanjikan, bahkan mengancam akan berlaku tidak adil bila Thawus menolak. Akhirnya, ketika Thawus sedang lengah, ia bersembunyi pundi-pundi emas itu di salah satu sudut rumah, lalu kembali kepada gubernur dan berkata, “Wahai amir, Thawus telah bertahan.”
Mendengar laporan itu, Muhammad bin Yusuf tersenyum puas. Ia berpikir rencana liciknya berhasil. Beberapa hari kemudian, ia mengutus dua pengawalnya untuk datang kembali ke rumah Thawus dengan alasan bahwa pemberian itu keliru dan harus dikembalikan. Ia ingin mempermalukan Thawus di depan umum agar nama baik jatuh.
Kebenaran yang Mengalahkan Kelicikan
Ketika para utusan tiba, mereka berkata, “Wahai Abu Abdurrahman, kami datang untuk menarik kembali pemberian dari amir yang telah disampaikan kepada Anda.” Thawus menjawab dengan tenang, “Aku tidak menerima apa pun dari kalian. Apa yang harus kukembalikan?”
Mereka ramah. Thawus menoleh ke utusan pertama dan bertanya, “apakah aku menerima sesuatu darimu?” Dengan ekspresi wajahnya, utusan itu menjawab, “Tidak, wahai Abu Abdurrahman. Saya meletakkan uang itu di lubang dinding tanpa sepengetahuan Anda.”
Thawus berkata, “Kalau begitu, lihatlah di tempat itu.” Mereka memeriksa, dan benar saja, pundi-pundi emas itu masih utuh seperti semula. Semua yang hadir, malu atas gambaran mereka sendiri. Rencana jahat dan gubernur gagal total. Keteguhan iman Thawus bin Kaisan kembali membungkam kesombongan penguasa zalim.
Kisah ini, menjadi pelajaran bagi umat Islam. Thawus bin Kaisan menunjukkan bahwa seorang ulama sejati tidak menjual agamanya demi kenikmatan dunia. Dalam kehidupan modern, ketika godaan harta dan jabatan begitu besar, keteladanan Thawus bin Kaisan tetap relevan. Ia mengajarkan bahwa kekuasaan tanpa kejujuran hanya akan melahirkan, dan ilmu tanpa keberanian hanya akan menjadi hiasan kosong. Thawus bin Kaisan berdiri tegak dalam kebenaran, karena baginya, kemuliaan sejati tidak diukur dari apa yang dimiliki, tetapi dari keteguhan menjaga iman dan kehormatan.
Sumber rujukan:
Riwayat para tabi’in tentang Thawus bin Kaisan, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Thabaqat al-Kubra dan al-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala’.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
