SURAU.CO – Thufail bin Amr ad-Dausi adalah seorang penyair dan pemuka suku Daus yang berasal dari wilayah Yaman. Ia dikenal sebagai sosok yang terpandang, dihormati karena kebijaksanaan dan kefasihan lisannya. Sebelum masuk Islam, Thufail adalah tokoh yang disegani di kalangan bangsanya. Namun takdir Allah menuntunnya menuju cahaya iman melalui kisah yang penuh pelajaran tentang keberanian berpikir dan ketulusan mencari kebenaran.
Pada masa awal dakwah Rasulullah ﷺ di Makkah, suasana di sana sedang panas. Kaum Quraisy merasa risau dengan ajaran baru yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ karena dianggap menggoyahkan keyakinan nenek moyang mereka. Mereka pun berusaha keras menghalangi setiap orang yang hendak mendengarkan dakwah Nabi, termasuk para pendatang dari luar Makkah.
Suatu hari, Thufail bin Amr datang ke Makkah untuk suatu keperluan. Kaum Quraisy yang mengetahui kedatangannya segera mendekatinya. Mereka berkata, “Hai Thufail, engkau adalah pemuka kaummu dan orang yang dihormati di Yaman. Telah datang kepada kami seorang lelaki yang memecah belah umat kami. Ia mengaku sebagai nabi dan membawa ajaran baru. Kami khawatir engkau akan terpengaruh oleh kata-katanya.” (Sahih al-Bukhari dan Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari).
Mereka terus menakut-nakuti Thufail dengan berbagai cerita buruk tentang Rasulullah ﷺ. “Jangan dengarkan dia!” kata mereka. “Ucapannya seperti sihir. Ia bisa memisahkan antara ayah dan anak, suami dan istri.”
Karena sering mendengar peringatan itu, Thufail menjadi sangat waspada. Ia pun bertekad untuk tidak mendengarkan apa pun dari Nabi Muhammad ﷺ. Apalagi saat hendak menuju Masjidil Haram, ia menyumpal telinga dengan kapas agar tidak mendengar lantunan ayat-ayat Al-Qur’an dari Rasulullah.
Hidayah di Masjidil Haram
Namun, takdir Allah tak dapat dihalangi. Ketika Thufail sedang berada di Masjidil Haram, ia melihat Rasulullah ﷺ sedang berdiri melaksanakan shalat di dekat Ka’bah. Gerak-geriknya menimbulkan rasa penasaran di hati Thufail. Meskipun suaranya tertutup kapas, ia tetap bisa menangkap sedikit lantunan ayat yang dibacakan Nabi. Irama dan keindahan bacaan itu membuatnya tercengang.
Ia berkata dalam hati, “Demi Allah, aku adalah seorang penyair. Aku tahu mana ucapan yang baik dan mana yang batil. Mengapa aku harus menutup telinga dan tidak mendengarkan sendiri apa yang ia katakan? Jika apa yang dibawanya baik, aku akan menerimanya. Tapi jika buruk, aku akannya.” (Sirah Ibnu Hisyam dan Musnad Ahmad).
Akhirnya Thufail pun mendekati Rasulullah ﷺ dengan hati yang terbuka. Setelah Nabi selesai shalat, ia menghampirinya dan berkata dengan jujur, “Wahai Muhammad, kaumku telah mengatakan berbagai hal buruk tentangmu hingga aku menutup telingaku dengan kapas. Namun Allah berkehendak lain. Aku mendengar sebagian dari bacaanmu, dan aku merasa itu adalah sesuatu yang indah. menceritakan apa sebenarnya yang kau bawa.”
Mendengar Al-Qur’an dan Beriman
Rasulullah ﷺ pun menyampaikan dakwahnya dengan penuh kelembutan. Beliau membacakan beberapa ayat Al-Qur’an tentang keesaan Allah, kehidupan setelah mati, dan keadilan Tuhan. Kata-kata itu menembus hati Thufail. Ia merasa seolah-olah mendengarkan kebenaran yang selama ini ia cari.
Setelah mendengarkan dengan penuh perhatian, Thufail spontan berkata, “Demi Allah, ini bukanlah ucapan manusia. Ini adalah firman Tuhan.” Saat itu juga, ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah ﷺ.
Nabi Muhammad ﷺ kemudian menasihatinya agar kembali ke kaumnya dan menyampaikan ajaran Islam dengan bijak. Thufail pun meminta doa agar Allah memberikan tanda yang dapat membantu berdakwah di tengah masyarakatnya yang masih kafir. Maka Rasulullah ﷺ berdoa, dan dengan izin Allah, muncul cahaya di antara kedua mata Thufail. Namun ia merasa khawatir orang akan berpikir aneh, maka ia berdoa agar cahaya itu berpindah ke ujung tongkatnya. Doanya dikabulkan, dan sejak itu tongkat Thufail memancarkan cahaya terang di malam hari.
Dakwah di Negeri Daus
Setelah kembali ke negerinya, Thufail segera mengajak keluarganya untuk memeluk Islam. Orang pertama yang ia dakwahi adalah ayah dan istrinya. Dengan penuh kasih sayang, ia menjelaskan ajaran Islam kepada mereka, dan keduanya pun menerima Islam tanpa ragu.
Namun, ketika ia mencoba mengajak kaumnya yang lain, mereka menolak. Thufail tidak menyerah. Ia terus berdakwah dengan sabar, namun hasilnya belum memuaskan. Akhirnya ia kembali ke Rasulullah ﷺ di Madinah dan berkata, “Wahai Rasulullah, kaum Daus menolak Islam. Doakanlah agar mereka binasa.”
Namun Rasulullah ﷺ tidak mendoakan keburukan. Beliau malah mengangkat tangan dan berdoa, “Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaum Daus, dan datangkanlah mereka kepada kami dalam keadaan beriman.” (Hadis Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim)
Doa itu menjadi bukti kasih sayang Nabi terhadap umat manusia. Thufail kembali ke kaumnya dengan semangat baru. Ia terus berdakwah hingga akhirnya banyak orang dari suku Daus yang memeluk Islam, termasuk sahabat terkenal — Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Thufail bin Amr terus setia kepada Islam hingga akhir hayatnya. Setelah Rasulullah ﷺ wafat, ia ikut berjuang bersama kaum Muslimin dalam penaklukan Yamamah melawan Musailamah al-Kadzdzab, nabi palsu yang melemparkan banyak orang. Dalam pertempuran itu, Thufail menunjukkan keberanian yang luar biasa. Ia berdoa agar gugur sebagai syahid, dan Allah mengabulkan doanya.
Kisah Thufail bin Amr ad-Dausi adalah cermin tentang mencari kebenaran. Ia tidak membiarkan prasangka menutup hatinya, tetapi membuka diri untuk menimbang dengan akal dan hati nurani. Dari sinilah ia menemukan hidayah yang mengubah seluruh jalan hidupnya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
