Khazanah
Beranda » Berita » Makna Khusyuk dalam Safīnatun Najāh: Dari Gerakan ke Kehadiran Hati

Makna Khusyuk dalam Safīnatun Najāh: Dari Gerakan ke Kehadiran Hati

Ilustrasi khusyuk dalam shalat menurut Safinatun Najah karya Sālim bin Sumair al-Ḥaḍramī.
Lukisan realis menggambarkan keheningan dan kehadiran spiritual dalam ibadah shalat menurut Safīnatun Najāh.

Surau.co. Di zaman yang serba cepat ini, shalat sering kali menjadi rutinitas yang dilakukan tergesa-gesa—sekadar menggugurkan kewajiban tanpa menyentuh kedalaman maknanya. Banyak yang berdiri di atas sajadah, namun pikirannya berkelana jauh dari keheningan ibadah. Dalam konteks inilah kitab Safīnatun Najāh karya Sālim bin ʿAbdallāh bin Saʿd bin Sumayr al-Ḥaḍramī hadir sebagai panduan lembut yang mengingatkan: shalat bukan hanya gerakan, tapi kehadiran hati.

Kitab klasik ini memang sederhana dalam bentuk, namun kaya dalam pesan. Ia tidak hanya mengajarkan tata cara ibadah, tetapi juga ruh yang menghidupinya—termasuk makna khusyuk, inti dari shalat yang diterima Allah.

Khusyuk: Inti yang Hilang dari Ibadah Sehari-hari

Pernahkah kita selesai shalat tapi merasa seperti belum beribadah? Fenomena ini bukan baru. Sejak dahulu, para ulama memperingatkan bahwa shalat bisa menjadi ritual kosong jika hati tak ikut bersujud.

Sālim bin Sumair dalam Safīnatun Najāh menulis dengan singkat namun padat makna:

لَا تُقْبَلُ الصَّلَاةُ إِلَّا بِالْحُضُورِ وَالْخُشُوعِ
“Shalat tidak akan diterima kecuali dengan kehadiran hati dan kekhusyukan.”

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Kata al-khusyu‘ (الخشوع) dalam bahasa Arab berasal dari akar kata khasya‘a (خَشَعَ) yang berarti tunduk, tenang, dan lembut. Dalam ibadah, khusyuk bukan sekadar menundukkan kepala, melainkan menundukkan ego, pikiran, dan perasaan di hadapan Allah.

Allah ﷻ berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ ۝ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minūn: 1–2)

Ayat ini menegaskan bahwa keberuntungan sejati bukan diukur dari harta atau jabatan, melainkan dari kemampuan seorang hamba menghadirkan hati dalam ibadahnya.

Ketenangan Gerakan, Ketenangan Jiwa

Banyak orang merasa sulit khusyuk karena pikirannya melayang ke pekerjaan, keluarga, atau dunia. Padahal, ketenangan hati dimulai dari ketenangan gerakan. Dalam Safīnatun Najāh, Sālim bin Sumair menjelaskan rukun-rukun shalat dengan urutan yang sangat rapi—menunjukkan pentingnya keteraturan dan ketenangan dalam beribadah.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

أَرْكَانُ الصَّلَاةِ سَبْعَةَ عَشَرَ رُكْنًا، مِنْهَا النِّيَّةُ، وَالْقِيَامُ، وَالْقِرَاءَةُ، وَالرُّكُوعُ، وَالسُّجُودُ، وَالتَّشَهُّدُ الأَخِيرُ، وَالسَّلَامُ
“Rukun shalat ada tujuh belas: di antaranya niat, berdiri, membaca (Al-Fatihah), rukuk, sujud, tasyahhud akhir, dan salam.”

Gerakan shalat bukan sekadar urutan fisik. Setiap rukun adalah perjalanan spiritual.

Berdiri (qiyam) melambangkan kesiapan untuk menghadap Tuhan.

Rukuk adalah simbol kerendahan diri.

Sujud menjadi titik tertinggi kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Salam adalah perwujudan kedamaian setelah hati dibersihkan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ
“Posisi paling dekat seorang hamba dengan Rabb-nya adalah ketika ia bersujud.” (HR. Muslim)

Ketika tubuh bergerak sesuai tuntunan, hati pun lebih mudah menyatu dengan makna ibadah.

Hadirnya Hati: Jalan Menuju Cahaya Iman

Khusyuk bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. Ia adalah hasil latihan dan kesadaran. Dalam kehidupan modern yang sibuk, hati mudah teralihkan. Namun, shalat justru dimaksudkan untuk menenangkan, bukan menambah beban.

Sālim bin Sumair menulis lagi:

الصَّلَاةُ نُورٌ لِلْقَلْبِ وَرَاحَةٌ لِلنَّفْسِ
“Shalat adalah cahaya bagi hati dan ketenangan bagi jiwa.”

Cahaya itu hadir ketika hati benar-benar hadir. Kita bisa mulai dengan hal kecil: melambatkan bacaan, memahami maknanya, dan menyadari ke mana arah wajah dan jiwa kita tertuju.

Allah ﷻ berfirman:

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ۝ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
“Celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al-Mā‘ūn: 4–5)

Ayat ini bukan mengecam orang yang meninggalkan shalat, tetapi mereka yang melaksanakan shalat tanpa kesadaran hati. Lalai bukan berarti tidak hadir secara fisik, tetapi tidak hadir secara batin.

Mengubah Rutinitas Menjadi Renungan

Fenomena umum hari ini: banyak Muslim menunaikan shalat tanpa benar-benar menikmatinya. Kita terburu-buru, tergesa, bahkan kadang sibuk dengan ponsel sesaat sebelum takbir.

Safīnatun Najāh mengingatkan kita bahwa ibadah sejati tidak lahir dari kebiasaan semata, tapi dari kesadaran. Ketika kita memperlambat gerakan, membaca dengan tenang, dan memahami makna bacaan, kita sedang membangun ruang sunyi dalam diri—tempat hati bisa mendengar bisikan lembut kehadiran Allah.

Seorang ulama besar pernah berkata:

إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ، فَقِفْ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِن لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Jika engkau berdiri dalam shalat, berdirilah seolah-olah engkau melihat Allah. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

Kata-kata ini menjadi jantung dari khusyuk: kehadiran hati yang merasa dilihat dan disapa langsung oleh Sang Pencipta.

Khusyuk sebagai Cermin Kehidupan

Menariknya, Safīnatun Najāh mengajarkan bahwa khusyuk bukan hanya berlaku di shalat, tapi juga dalam kehidupan. Seseorang yang terbiasa khusyuk akan membawa ketenangan dalam pekerjaannya, dalam bicara, bahkan dalam cara ia memperlakukan sesama.

Shalat adalah cermin perilaku. Jika khusyuknya baik, maka kehidupan sehari-hari pun akan terpantul baik.
Allah ﷻ berfirman:

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabūt: 45)

Khusyuk membuat shalat hidup. Dan shalat yang hidup akan menghidupkan akhlak manusia.

Menemukan Keheningan di Tengah Kesibukan

Di dunia yang terus bergerak, menemukan khusyuk adalah menemukan diri. Mungkin tidak semua orang langsung bisa mencapainya, tapi setiap usaha menuju kekhusyukan sudah termasuk ibadah.

Mulailah dengan satu langkah sederhana: hadiri shalatmu dengan hati. Rasakan udara, cahaya, dan keheningan di sekitarmu. Ketika dahi menyentuh sajadah, biarkan semua beban dunia lepas sejenak.

Sālim bin Sumair menutup nasihatnya dengan indah:

فَمَنْ حَضَرَ قَلْبُهُ فِي صَلَاتِهِ، فَقَدْ نَالَ لَذَّةَ الْمُنَاجَاةِ
“Barang siapa menghadirkan hatinya dalam shalat, maka ia telah merasakan manisnya berdoa kepada Allah.”

Penutup: Dari Gerakan ke Kehadiran Hati

Khusyuk bukan hanya tentang bagaimana kita bergerak, tetapi bagaimana kita hadir. Ia bukan hasil hafalan, melainkan hasil kesadaran.

Safīnatun Najāh mengajarkan kita bahwa shalat yang sempurna tidak dilihat dari lamanya waktu, tetapi dari sejauh mana hati ikut bersujud. Karena hanya dengan khusyuk, shalat bisa menjadi “tali penghubung” antara bumi dan langit—antara seorang hamba dan Tuhannya.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement