SURAU.CO – Mu’adz bin Jabal adalah sosok sahabat Rasulullah SAW yang cerdas, pikirannya tajam dan ilmu sangat luas. Ia mendapat pengakuan langsung dari Rasulullah dalam hal kemampuan berijtihad. Padahal, pada masa Rasulullah masih hidup, pintu ijtihad belum dibuka secara luas, karena sumber hukum Islam saat itu masih bisa disampaikan langsung kepada Nabi. Namun, kepada Mu’adz, Rasulullah justru memberi kepercayaan penuh untuk berijtihad.
Suatu hari Rasulullah SAW mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman untuk menjadi hakim dan da’i. Sebelum berangkat, beliau mendapat pertanyaan langsung dari Rasulullah, “Bagaimana engkau akan memutuskan suatu perkara jika tidak ditemukan dalam Al-Qur’an?” Mu’adz menjawab, “Aku akan mencari dalam Sunnah Rasulullah.” Nabi lalu bertanya lagi, “Jika kamu tidak menemukannya juga dalam Sunnahku?” Dengan penuh keyakinan Mu’adz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku.” Rasulullah pun menepuk bahunya dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah dengan sesuatu yang diridhai oleh Rasul-Nya.”
Kisah ini bukan hanya menggambarkan keilmuan Mu’adz, tetapi juga menunjukkan legitimasi ijtihad dalam Islam. Rasulullah mengakui dan merestui kemampuan berpikir kritis Mu’adz, menandai bahwa ilmu dalam Islam bukan sekadar hafalan teks, melainkan hasil pemikiran mendalam yang berpijak pada prinsip dan nilai kebenaran.
Pengakuan Rasulullah dan Para Sahabat
Rasulullah SAW memberikan penghormatan besar kepada Mu’adz bin Jabal. Dalam satu hadis beliau bersabda, “Mu’adz bin Jabal adalah pemimpin para ulama di hari berhenti.” Gelar ini menunjukkan kedudukan tinggi Mu’adz dalam bidang keilmuan dan spiritualitas. Rasulullah juga pernah berkata kepadanya dengan penuh kasih, “Wahai Mu’adz, demi Allah aku sayang. Jangan pernah kamu lupa doa ini: Ya Allah, tolonglah aku untuk selalu mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan menonton dengan sebaik-baiknya kepada-Mu.”
Nabi mengajarkan doa ini kepada Mu’adz, kemudian diwariskan oleh para ulama dan kiai sebagai bagian dari zikir setelah shalat. Kalimat doa tersebut menjadi semacam “kode etik ulama” yang mengajarkan bahwa seorang berilmu harus rendah hati, bersyukur, dan selalu memohon bimbingan agar ilmunya membawa manfaat, bukan sombong.
Selain Rasulullah, Umar bin Khattab juga mengakui keilmuan dan integritas Mu’adz bin Jabal. Ketika menjelang wafat, Umar pernah ditanya siapa yang pantas menggantikannya sebagai khalifah. Beliau menjawab, “Seandainya Mu’adz bin Jabal masih hidup, niscaya aku akan mengangkatnya menjadi khalifah. Jika Allah bertanya kepadaku mengapa, aku akan menjawab: karena aku telah mendengar bersabda bahwa Mu’adz bin Jabal Rasulullah adalah pemimpin para ulama di hari kiamat.”
Makna Otoritas Keilmuan
Otoritas keilmuan berarti pengakuan terhadap seseorang yang memiliki kapasitas, kedalaman pemahaman, dan tanggung jawab moral atas ilmunya. Dalam konteks ini, Mu’adz menjadi simbol bahwa keilmuan sejati tidak hanya diukur dari luasnya wawasan, tetapi juga dari ketulusan hati, kedekatan spiritual, dan tanggung jawab terhadap kebenaran.
Sayangnya, nilai otoritas keilmuan ini mulai memudar di zaman sekarang. Kita melihat fenomena yang sering disebut “anomali cendekiawan” — di mana banyak orang ingin menjadi tokoh agama tanpa dasar keilmuan yang kokoh. Beberapa alumni perguruan tinggi umum berlomba menjadi ustaz karena popularitas, sementara sebagian alumni pesantren justru enggan menjadi kiai karena merasa tidak relevan dengan dunia modern. Akibatnya, muncullah generasi yang menggunakan “ilmu aji mumpung” — ilmu untuk membangun citra dan pengaruh pribadi.
Proses Panjang Lahirnya Ilmu
Islam mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan tidak lahir secara instan. Ia tumbuh dari proses panjang, melewati tahapan-tahapan otoritas dan disiplin yang jelas. Setiap cabang ilmu memiliki garis silsilah keilmuan yang harus dihormati. Misalnya, sosiologi tidak muncul begitu saja, tetapi berkembang dari pertemuan antara ekonomi dan sejarah. Begitu pula fiqh — sebagai salah satu cabang keilmuan Islam — tidak akan berdiri tanpa dukungan ilmu tafsir, bahasa Arab, kalam, dan teologi.
Dengan kata lain, setiap disiplin ilmu lahir dari hasil kerja keras para pemikir yang memahami batas otoritas keilmuannya. Rasulullah SAW telah meletakkan dasar-dasar itu melalui para sahabat yang berilmu, seperti Mu’adz bin Jabal. Dari akhirnya lahirlah berbagai cabang ilmu Islam: tafsir, fiqh, hadis, hingga tasawuf. Semua itu berkembang karena adanya legitimasi keilmuan dan tanggung jawab moral yang kuat.
Pelajaran bagi Generasi Masa Kini
Kita yang hidup di era modern hendaknya meneladani semangat Mu’adz bin Jabal dalam mencari ilmu. Ia tidak hanya berilmu luas, tetapi juga memiliki kedalaman spiritual dan integritas moral. Ilmunya bukan sekadar alat untuk berdebat, tetapi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memberi manfaat bagi umat.
Sudah sepatutnya generasi sekarang kembali menghargai otoritas keilmuan. Setiap bidang ilmu memiliki pakarnya masing-masing, dan menghormati mereka berarti menjaga tatanan keilmuan agar tidak pembohong. Sebab, tanpa penghormatan terhadap otoritas, ilmu akan kehilangan arah, dan umat akan mudah tersesat dalam opini yang tidak berdasar.
Mu’adz bin Jabal menunjukkan bahwa ilmu sejati memerlukan dasar spiritual, kedewasaan berpikir, dan tanggung jawab moral. Rasulullah menanamkan nilai-nilai itu melalui pengakuan dan doa khusus kepadanya.
Menghargai orang berilmu berarti menghormati warisan Rasulullah SAW. Karena dari tangan dan pikiran merekalah peradaban Islam tumbuh, berkembang, dan terus memberi cahaya bagi dunia. Otoritas keilmuan bukan soal gelar, tetapi tentang tanggung jawab menjaga kebenaran.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
