Khazanah
Beranda » Berita » Shalat sebagai Tiang Agama: Pandangan Safīnatun Najāh tentang Kewajiban Utama

Shalat sebagai Tiang Agama: Pandangan Safīnatun Najāh tentang Kewajiban Utama

Ilustrasi shalat sebagai tiang agama menurut Safinatun Najah karya Sālim bin Sumair al-Ḥaḍramī.
Lukisan realis yang menggambarkan makna spiritual shalat sebagai tiang agama dan sumber kedamaian jiwa.

Surau.co. Di antara sekian banyak ibadah yang diajarkan dalam Islam, shalat menempati posisi paling agung. Ia bukan hanya ritual yang dilakukan lima kali sehari, tetapi juga tiang agama, penanda keimanan, dan penghubung langsung antara hamba dengan Sang Pencipta. Dalam kitab Safīnatun Najāh karya Sālim bin ʿAbdallāh bin Saʿd bin Sumayr al-Ḥaḍramī, shalat dibahas sebagai kewajiban utama yang menjadi fondasi kehidupan spiritual seorang Muslim.

Shalat, Ritme Kehidupan Seorang Mukmin

Setiap hari, azan bergema dari penjuru masjid, memanggil jiwa yang penat agar kembali pada keheningan makna. Di tengah hiruk-pikuk dunia, shalat menjadi oase bagi hati yang haus akan ketenangan.

Sālim bin Sumair membuka pembahasan tentang shalat dalam Safīnatun Najāh dengan menegaskan statusnya sebagai rukun Islam kedua:

وَالصَّلَاةُ رُكْنٌ مِنْ أَرْكَانِ الإِسْلَامِ، وَهِيَ وَاجِبَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ بَالِغٍ عَاقِلٍ طَاهِرٍ
“Shalat adalah salah satu rukun Islam, wajib bagi setiap Muslim yang baligh, berakal, dan suci.”

Kalimat ini sederhana, tetapi memiliki kedalaman makna. Shalat bukan hanya perintah, melainkan juga tanda kehidupan batin. Orang yang menjaga shalatnya berarti menjaga jantung spiritualnya tetap berdetak. Sebaliknya, jika shalat diabaikan, maka keringlah makna hidup yang sejati.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Rasulullah ﷺ bersabda:

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ، وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ
“Pokok perkara (agama) adalah Islam, dan tiangnya adalah shalat.” (HR. Tirmidzi)

Tanpa tiang, bangunan akan roboh. Demikian pula agama tanpa shalat akan kehilangan kekuatannya.

Menghidupkan Shalat di Tengah Rutinitas Modern

Fenomena sehari-hari menunjukkan bahwa banyak Muslim yang masih memandang shalat sebagai beban, bukan kebutuhan. Waktu yang sempit, pekerjaan yang menumpuk, atau sekadar rasa malas sering menjadi alasan. Padahal, justru di tengah kesibukan itulah shalat hadir sebagai jeda rohani yang menenangkan.

Sālim bin Sumair dalam Safīnatun Najāh menulis:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

مَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ عَمْدًا فَقَدْ كَفَرَ
“Barang siapa meninggalkan shalat dengan sengaja, maka ia telah kafir.”

Pernyataan keras ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menggugah kesadaran bahwa shalat adalah penentu eksistensi iman. Ia menjadi garis pemisah antara ketaatan dan kelalaian, antara kehidupan spiritual dan kekosongan batin.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisā’: 103)

Shalat mengajarkan disiplin. Ia melatih kita untuk menghargai waktu, menundukkan ego, dan menyeimbangkan dunia serta akhirat.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Rukun dan Syarat Shalat: Jalan untuk Kesempurnaan Ibadah

Dalam Safīnatun Najāh, dijelaskan pula tentang rukun dan syarat sah shalat. Bukan sekadar formalitas, tetapi panduan untuk mencapai kesempurnaan ibadah.

أَرْكَانُ الصَّلَاةِ سَبْعَةَ عَشَرَ رُكْنًا، مِنْهَا النِّيَّةُ، وَالْقِيَامُ، وَالْقِرَاءَةُ، وَالرُّكُوعُ، وَالسُّجُودُ، وَالتَّشَهُّدُ الأَخِيرُ، وَالسَّلَامُ
“Rukun shalat ada tujuh belas: di antaranya niat, berdiri, membaca (Al-Fatihah), rukuk, sujud, tasyahhud akhir, dan salam.”

Setiap gerakan shalat memiliki makna spiritual yang dalam:

Takbiratul ihram mengajarkan penyerahan total kepada Allah.

Rukuk menanamkan kerendahan hati.

Sujud adalah puncak keintiman seorang hamba dengan Tuhannya.

Salam mengajarkan kasih dan kedamaian kepada sesama.

Shalat bukan hanya ritual, tapi juga pendidikan moral dan emosional. Ia menundukkan keangkuhan, melembutkan hati, dan meneguhkan kesadaran bahwa kita hanyalah makhluk kecil di hadapan Yang Maha Agung.

Shalat sebagai Obat Hati dan Penenang Jiwa

Dalam dunia yang penuh tekanan dan kompetisi, manusia sering kehilangan arah. Stres, cemas, dan lelah menjadi teman sehari-hari. Islam menawarkan terapi yang sederhana namun mendalam: shalat.

Sālim bin Sumair menulis:

الصَّلَاةُ نُورٌ لِلْقَلْبِ وَرَاحَةٌ لِلنَّفْسِ
“Shalat adalah cahaya bagi hati dan ketenangan bagi jiwa.”

Cahaya shalat tidak hanya memancar di waktu ibadah, tetapi juga menerangi perilaku sehari-hari. Orang yang menjaga shalatnya akan lebih tenang, lebih sabar, dan lebih peka terhadap kebaikan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

جُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ
“Dijadikan penyejuk mataku pada shalat.” (HR. Ahmad dan An-Nasā’ī)

Dalam setiap gerakan shalat, ada ketenangan yang menyejukkan. Ia bukan beban, melainkan pelukan lembut dari Allah kepada hamba-Nya yang gelisah.

Shalat yang Diterima: Ketika Gerakan Bertemu Keikhlasan

Tak semua shalat diterima, sebagaimana tak semua gerakan dianggap ibadah. Shalat yang diterima adalah yang dilakukan dengan khusyuk dan niat yang tulus.

Sālim bin Sumair menegaskan dalam Safīnatun Najāh:

لَا تُقْبَلُ الصَّلَاةُ إِلَّا بِالْحُضُورِ وَالْخُشُوعِ
“Shalat tidak akan diterima kecuali dengan kehadiran hati dan kekhusyukan.”

Khusyuk bukan berarti selalu menangis dalam shalat, melainkan menghadirkan kesadaran penuh akan kehadiran Allah.
Fenomena umum di masjid sering memperlihatkan tubuh yang shalat tapi pikiran yang melayang — membayangkan urusan dunia. Inilah tantangan spiritual di zaman modern: bagaimana menjaga hati tetap hadir saat sujud.

Allah mengingatkan:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ ۝ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) mereka yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minūn: 1–2)

Khusyuk adalah inti dari komunikasi dengan Tuhan. Ia menjadikan shalat bukan sekadar kewajiban, tetapi pengalaman spiritual yang menyembuhkan jiwa.

Penutup: Shalat, Nafas Kehidupan Seorang Mukmin

Safīnatun Najāh menempatkan shalat sebagai titik pusat seluruh ibadah. Ia bukan hanya perintah, tapi juga hadiah — kesempatan untuk berbicara langsung kepada Allah tanpa perantara.

Shalat melatih manusia untuk taat, tenang, dan berakhlak mulia. Ia adalah cermin iman dan ukuran keberkahan hidup.
Bila seseorang menegakkan shalat, maka seluruh amalnya akan tegak. Namun bila shalatnya rusak, maka seluruh amalnya pun runtuh.

Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ
“Amalan yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalat.” (HR. Tirmidzi)

Maka, menjaga shalat berarti menjaga kehidupan. Karena di setiap rukuk, ada kerendahan diri; di setiap sujud, ada harapan; dan di setiap salam, ada kedamaian.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement