Khazanah
Beranda » Berita » Fitrah, Moral, dan Kebahagiaan Hakiki dalam Pandangan Al-Ghazali

Fitrah, Moral, dan Kebahagiaan Hakiki dalam Pandangan Al-Ghazali

Ilustrasi hamba yang menundukkan hati dalam doa yang tulus kepada Allah.
Ilustrasi hamba yang menundukkan hati dalam doa yang tulus kepada Allah.

SURAU.CO– Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (450–505 H/1058–1111 M) menyatakan bahwa moral Islam yang membentuk insan kamil bukanlah sesuatu yang berada dari luar diri manusia, bahkan sudah tertanam dalam jiwanya, yang ia sebut dengan “fitrah”. Karena moral Islam itu berasal dari Tuhan yang menjadikan seluruh alam, maka moral itu juga menjadi tiang sendi bagi kejadian alam seluruhnya

Moral Islam sebagai Fitrah Manusia

Dalam ayat  al-Qur’an:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”

Terhadap fitrah itu, Muhammad al-Ghazali memberikan tafsirannya:

“Sesungguhnya fitrah manusia adalah baik, tetapi ini janganlah diartikan bahwa manusia itu adalah malaikat yang selamanya hanya berlaku baik saja. Arti yang sebenarnya ialah kebaikan adalah sesuai dengan watak yang asli dari manusia, dan ia mengutamakan kebaikan dan bekerja ke arah kebaikan itu, sebagaimana halnya watak burung yang terbang tinggi bila terlepas dari tali ikatannya.”

Peran Ilmu dalam Mengenal Tuhan dan Kebahagiaan

Walaupun manusia terbawa oleh fitrahnya untuk mengenal Allah, ia tidak dapat tertarik ke dekat Allah melalui fitrah atau prinsip-prinsip akali, kecuali melalui ilmu-ilmu yang ia peroleh. Dengan perkataan lain, perolehan ilmu pengetahuan sangat penting di dalam mencari pengetahuan tentang Allah. Pengetahuan tentang alam semesta merupakan tangga menuju pengetahuan (ma’rifat) tentang Penciptanya. Alam semesta merupakan “tulisan” Allah, yang mana terdapat tulisan-tulisan dan perwujudan kebenaran-kebenaran Ilahi.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Sedangkan pemenuhan diri atau kebahagiaan berasal dari dua sumber pengetahuan. Sumber pertama adalah shar’i yang diperoleh dari al-Qur’an dan Sunnah, dan sumber kedua ialah “intelektual” (aqli) yang berasal dari akal pikiran. Kedua sumber ini sebenarnya tidak terpisahkan, karena mereka yang memahami kebanyakan dari pengetahuan shar’i juga memahami aqli, dan bagi mereka yang mengerti kebanyakan dari pengetahuan aqli juga memahami shar’i.

Empat Sumber Kebaikan Duniawi

Lantas, apakah yang dimaksud dengan kebahagiaan? Kemungkinan kita beranggapan bahwa al-Ghazali berpendapat kebahagiaan itu adalah kebaikan tertinggi (summum bonum), sebagaimana pendapat Aristoteles. Akan tetapi, kebahagiaan dalam konteks ini bukanlah kebaikan tertinggi atau tabiat yang lebih mendalam; suatu kebaikan-kebaikan dalam pengertian umum, dan suatu kebaikan antara kebaikan-kebaikan tertinggi. Al-Ghazali berpendapat bahwa sesungguhnya kebaikan-kebaikan di dalam kehidupan ini banyak. Akan tetapi, kebaikan-kebaikan itu dapat terbagi pada empat macam, yakni: Kebaikan-kebaikan jiwa, yakni keutamaan-keutamaan pokok/dasar, seperti ilmu, kebijaksanaan, keamanan, keberanian, dan keadilan. Lalu kebaikan-kebaikan jasmani atau keutamaan-keutamaannya, misal kesehatan, kekuatan, keelokan, dan panjang umur.

Ada pula kebaikan-kebaikan sampingan. Hal ini juga terbagi empat: seperti harta, keluarga, kemuliaan, dan kehormatan.Dan terakhir kebaikan-kebaikan atau keutamaan-keutamaan taufiqiyah. Ini juga terbagi empat macam: seperti hidayah Allah, petunjuk-Nya, kebenaran, dan kekuatan-Nya.

Dengan memperhatikan uraian al-Ghazali tersebut, maka kebaikan yang terbagi menjadi empat macam tersebut terbagi lagi masing-masing empat macam pula. Dengan demikian, jumlah kebaikan seluruhnya ada enam belas dalam kehidupan ini. Setiap macam dari kebaikan itu ada empat keutamaan, maka macam-macam kebahagiaan itu menjadi enam belas pula. Kebaikan di sini adalah sesuatu yang harus melengkapi antara sebagiannya pada sebagian yang lain, atau sebagiannya itu mengantarkan kepada kesempurnaan-kesempurnaannya. Itu bukanlah sesuatu yang darinya merupakan kebaikan tertinggi (kebahagiaan) dalam pendapat al-Ghazali. Apabila ada kebutuhan kepadanya (pada kebaikan tersebut), semuanya itu merupakan kesempurnaan.

Kebahagiaan Sejati di Akhirat

Al-Ghazali selanjutnya menegaskan bahwa sesungguhnya kebaikan tertinggi itu adalah kebahagiaan akhirat, yang mana ia akan kekal abadi, kegembiraan yang tidak pernah putus-putus, ilmu tanpa kerapuhan kebenarannya, kekayaan tanpa kekurangan. Dan itulah maksud dari kebahagiaan sebenarnya. Sedangkan selain itu, seperti apa yang manusia kenali, maka penamaan seperti itu adalah keliru.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Atau dengan kata lain, sesuatu yang mengantarkan kepada kebahagiaan ukhrawi dari kebahagiaan-kebahagiaan dunia, atau yang kita maksudkan dengan kebahagiaan ukhrawi itu ialah kekal tidak sirna, lezat tanpa lelah, kegembiraan tanpa kesedihan, kekayaan tanpa kebutuhan, dan kesempurnaan tanpa kekurangan, kemuliaan tanpa kehinaan. Keseluruhan dari gambaran itu yang kita cari dan rindukan dan berharap akan berlangsung abadi.

Selanjutnya, kebahagiaan sebenarnya yang al-Ghazali sifatkan itu dan yang mengantarkan kepadanya dengan segala keutamaan-keutamaan dan kebaikan-kebaikan  dunia ini, hal itu bukanlah di dalam kelezatan atau dalam beberapa kelezatan yang terasakan oleh kebanyakan orang bodoh dan sempit pandangan, sehingga sesuatu itu terbetik dalam hatinya; seperti bidadari, anak-anak, buah-buahan, kurma, bunga-bungaan, dan dari segala apa yang telah dijanjikan Allah bagi orang-orang takwa tentang apa yang mata belum pernah melihat, telinga belum pernah mendengar, dan belum pernah sedikit pun terlintas dalam pikiran manusia.

Dari pernyataan tersebut dapat kita pahami bahwa kebahagiaan sebenarnya, sebagaimana yang filsuf cita-citakan, menurut al-Ghazali, hanya akan dapat tercapai nanti di akhirat. Hanya orang-orang yang bertakwa sajalah yang akan memperolehnya. Sementara di dunia ini, kebahagiaan sempurna tak mungkin manusia capai, karena sifat dari kehidupan dunia ini yang terus berubah dan adanya paket hidup antara senang dan susah terus yang manusia alami. Kebahagiaan sempurna baru akan manusia dapatkan kelak di akhirat. (St.Diyar)

 

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement