Kisah
Beranda » Berita » Kisah Perjanjian Nikah Sukainah binti Husain

Kisah Perjanjian Nikah Sukainah binti Husain

Kisah Perjanjian Nikah Sukainah binti Husain
Ilustrasi Sukainah binti Husain (Foto:Istimewa)

SURAU.CO – Sukainah binti Husain adalah salah satu tokoh perempuan paling menonjol dalam sejarah Islam awal. Ia sosok perempuan yang cerdas, cantik, dan berkepribadian kuat. Kisah perjanjian perkawinannya yang unik menjadikannya simbol ketegasan perempuan dalam menjaga hak dan kehormatannya.

Menurut Ibnu Asakir dalam Tarikh Madinati Dimasyqa (Beirut: Darul Fikr, 1995, vol. 79, hal. 204–205), Sukainah adalah putri Sayyidina Husain dari istrinya, al-Rabbab binti Imru’ul Qays bin Adi bin Aus bin Jabir. Nama aslinya adalah Amimah atau Aminah, tetapi ia lebih dikenal dengan nama Sukainah. Ibnu Asakir menyebut sebagai wanita tercantik dari suku Quraisy pada masanya. Kecantikannya bukan sekedar fisik, melainkan juga terpancar dari kecerdasan dan gerakannya dalam kecepatan.

Sukainah hidup di masa penuh gejolak politik setelah tragedi Karbala. Ia menjadi saksi kehilangan ayah, saudara, dan persaudaraan dalam peristiwa memilukan itu. Namun, alih-alih terpuruk, Sukainah tampil sebagai perempuan tangguh yang menjaga kehormatan keluarganya dan memegang kendali atas kehidupannya sendiri.

Pembuatan Perjanjian Pernikahan

Ibnu Asakir mencatat bahwa Sukainah pernah menikah beberapa kali. Suami pertamanya adalah sepupunya sendiri, Abdullah bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, yang gugur di Karbala bersama Husain. Setelah itu, ia menikah dengan Mush’ab bin Zubair bin Awam, kemudian dengan Abdullah bin Utsman bin Abdullah bin Hakim bin Hizam, lalu dengan Zaid bin Amr bin Utsman bin Affan, dan terakhir dengan Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf.

Namun, yang paling menarik perhatian para sejarawan adalah pernikahannya dengan Zaid bin Amr bin Utsman bin Affan. Dalam pernikahan ini, Sukainah menetapkan perjanjian perkawinan yang luar biasa untuk ukuran zamannya.

Kisah Nama Abu Hurairah: Dari Pecinta Kucing Menjadi Penjaga Hadis

Abu al-Faraj al-Ashbihani dalam Kitabul Aghani (Beirut: Dar Sader, 2008, vol. 16, hal. 101–102) mencatat bahwa Sukainah membuat beberapa kesepakatan dengan suaminya: Zaid tidak boleh membuatnya cemburu, tidak boleh melarangnya melakukan apa yang ia inginkan, harus menempatkannya di rumah bersama Ummi Mandzur, dan tidak boleh melarang hal-hal yang disukai oleh Sukainah.

Zaid mematuhi seluruh permintaan itu dengan patuh. Ketika Sukainah berkata, “Hai Ibnu Utsman, mari pergi ke Makkah,” Zaid segera menuruti dan berangkat. Saat Sukainah meminta pulang ke Madinah, Zaid pun langsung menuruti permintaannya. Kepatuhan ini membuat Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik merasa heran. Ia berkata kepada Zaid, “Aku tahu kamu telah membuat syarat dengan istrimu yang tidak bisa kau penuhi, maka ceraikanlah dia.” Zaid akhirnya menceraikan Sukainah sesuai perintah Khalifah.

Peran Umar bin Abdul Aziz sebagai Penengah

Kisah menarik lainnya terjadi ketika hubungan Sukainah dan Zaid memburuk. Menurut al-Ashbihani, Umar bin Abdul Aziz yang saat itu menjabat sebagai Wali Madinah turun tangan sebagai penengah. Diceritakan bahwa Zaid meninggalkan Sukainah selama tujuh bulan dan bergaul dengan budak-budak sepanjang tahun. Sukainah merasa haknya dilanggar dan melapor kepada Umar bin Abdul Aziz.

Dalam laporan itu, Sukainah menyebutkan adanya tiga poin perjanjian dalam akad mereka: (1) jika Zaid berhubungan dengan perempuan lain, (2) membatasi akses Sukainah harta terhadap suami, atau (3) melarang Sukainah keluar rumah tanpa alasan yang sah, maka ia berhak meminta cerai.

Umar bin Abdul Aziz memerintahkan ajudannya menghadirkan Zaid dan menunjuk Ibnu Hazm sebagai mediator. Saat mediasi berlangsung, Sukainah datang dengan keberanian sekaligus keberanian luar biasa. Ia berbicara dengan tegas, menegur Zaid di hadapan semua orang, dan menyatakan bahwa ia tidak akan lagi hidup bersamanya.

Mengenal Dunia agar Tidak Tertipu olehnya: Tafsir Hikmah Al-Hikam

Kisah ini menunjukkan betapa kuatnya karakter Sukainah dalam menegakkan hak-hak perempuan bahkan di hadapan kantor tinggi. Ia tidak ragu-ragu berbicara lantang demi keadilan. Meski akhirnya Umar bin Abdul Aziz memutuskan agar Zaid bersumpah dan mengembalikan Sukainah, pernikahan mereka berakhir dengan perceraian.

Kontroversi Pernikahan Terakhir

Setelah bercerai dari Zaid, Sukainah menikah dengan Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf. Namun, pernikahan ini pun menuai kontroversi karena Sukainah menikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Hisyam bin Ismail, wali daerah Madinah, melaporkan hal itu kepada Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Sang khalifah kemudian membatalkan pernikahan tersebut dan memerintahkan agar Ibrahim melamar Sukainah secara sah kepada walinya.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa Sukainah bukan perempuan pasif. Ia berani mengambil keputusan sendiri, meski tindakannya menimbulkan polemik di kalangan penguasa.

Akhir Hayat Sukainah

Sukainah menghabiskan masa tuanya di Madinah al-Munawwarah. Al-Ashbihani mencatat (hal. 113) bahwa ketika wafat, jenazahnya dishalati tanpa imam, sebagaimana jenazah Rasulullah SAW—sebuah penghormatan besar bagi seorang perempuan mulia.

Kisah hidup Sukainah binti Husain menegaskan bahwa perempuan dalam Islam memiliki ruang untuk berdiskusi, bernegosiasi, bahkan membuat perjanjian dalam pernikahan. Ia bukan hanya simbol kecantikan, tetapi juga simbol intelektualitas dan ketegasan.

Panjang Umur Belum Tentu Bermakna: Hikmah dalam Al-Hikam tentang Kualitas Usia

Melalui perjanjian perkawinannya, Sukainah menunjukkan kepada dunia bahwa perempuan berhak menentukan batas dan menjaga martabatnya. Dalam sejarah yang sering kali mengesampingkan suara perempuan, Sukainah menunjukkan sebagai sosok yang menegaskan bahwa prinsip keteguhan adalah bentuk kemuliaan yang sejati.

Dengan keberaniannya, Sukainah meninggalkan jejak sejarah yang berharga: bahwa cinta, keadilan, dan penghormatan dalam pernikahan harus dibangun atas kesetaraan dan saling menghormati.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement