Surau.co. Air adalah anugerah yang tak tergantikan. Ia menenangkan, menyegarkan, dan menghidupkan segala sesuatu. Namun, dalam pandangan Islam — terutama sebagaimana dijelaskan dalam kitab Safīnatun Najāh karya Sālim bin ʿAbdallāh bin Saʿd bin Sumayr al-Ḥaḍramī — air bukan hanya unsur alam, tetapi juga simbol rahmat dan kesucian. Dari air, lahirlah kebersihan fisik dan spiritual; dari air pula, seorang Muslim belajar arti kehidupan yang bersih, teratur, dan penuh berkah.
Kitab ini, yang menjadi pegangan fiqh pemula dalam madzhab Syāfi‘ī, memberikan pandangan mendalam tentang peran air dalam ibadah dan kehidupan. Melalui bab ṭahārah (bersuci), Safīnatun Najāh mengajarkan bahwa air bukan sekadar alat untuk membersihkan tubuh, tetapi juga medium penyucian jiwa.
Air: Unsur Suci yang Menyucikan
Dalam Safīnatun Najāh, Sālim bin Sumair memulai pembahasan bab ṭahārah dengan menegaskan kedudukan air dalam syariat:
الْمَاءُ الَّذِي يَجُوزُ بِهِ الطَّهُورُ هُوَ الْمَاءُ الْمُطْلَقُ
“Air yang boleh digunakan untuk bersuci adalah air yang mutlak (murni dan suci).”
Kata al-mā’ al-muṭlaq berarti air yang masih dalam bentuk aslinya — belum bercampur dengan zat lain yang mengubah sifatnya. Artinya, air yang murni adalah lambang dari hati yang bersih: tidak keruh oleh hawa nafsu, tidak berubah oleh dunia, tetap jernih sebagaimana Allah menciptakannya.
Setiap kali kita mengambil air wudhu, sesungguhnya kita sedang memegang rahmat Allah yang nyata. Karena dengan air itulah Allah menghapus dosa-dosa kecil yang melekat di tubuh dan hati manusia.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا تَوَضَّأَ الْعَبْدُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ
“Ketika seorang hamba berwudhu dan membasuh wajahnya, keluarlah bersama air itu setiap dosa yang dilakukan oleh matanya.” (HR. Muslim)
Air yang mengalir di tangan seorang mukmin bukan hanya membasuh kotoran, tetapi juga mengalirkan ampunan.
Air sebagai Rahmat dan Sumber Kehidupan
Fenomena sehari-hari sering kali membuat kita lupa bahwa air adalah rahmat yang paling nyata. Dari air tumbuh pepohonan, lahir hewan, dan hidup manusia. Tak heran, Al-Qur’an menegaskan bahwa seluruh kehidupan berawal darinya:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ
“Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup.” (QS. Al-Anbiyā’: 30)
Ayat ini menegaskan bahwa air adalah simbol kehidupan — lahir dan batin. Dalam konteks Safīnatun Najāh, air menjadi “penghubung” antara kebersihan jasmani dan ketenangan rohani. Seseorang yang menjaga wudhunya seolah menjaga hubungan dengan Allah dalam keadaan suci.
Menariknya, para ulama menjelaskan bahwa air bukan sekadar benda fisik, tetapi memiliki nilai spiritual. Ketika seorang Muslim berwudhu dengan niat ikhlas, setiap tetesan air menjadi saksi cinta antara hamba dan Tuhannya.
Jenis-jenis Air dan Hikmahnya
Dalam bab ṭahārah, Sālim bin Sumair menjelaskan klasifikasi air dengan bahasa yang ringkas namun padat:
الْمِيَاهُ أَرْبَعَةٌ: طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ، وَطَاهِرٌ غَيْرُ مُطَهِّرٍ، وَنَجِسٌ، وَمَشْكُوكٌ فِيهِ
“Air terbagi menjadi empat: suci dan menyucikan, suci tapi tidak menyucikan, najis, dan air yang diragukan.”
Penjelasan ini mengandung pelajaran moral yang halus. Bahwa seperti air, manusia pun memiliki tingkat “kesucian” dalam perilaku dan niatnya:
Air suci dan menyucikan diibaratkan orang yang bersih dan bermanfaat bagi orang lain.
Sedangkan air suci tapi tidak menyucikan ibarat orang baik tapi pasif — tak memberi manfaat nyata.
Air najis menyerupai orang yang merusak dirinya dan lingkungannya.
Dan air yang diragukan menggambarkan manusia yang hidup tanpa arah dan ketegasan.
Dari sini, Safīnatun Najāh tidak hanya membahas hukum fikih, tetapi juga menggugah kesadaran etika dan spiritual. Air, dalam maknanya yang lebih dalam, adalah cermin kepribadian manusia.
Thaharah: Kebersihan yang Melampaui Fisik
Kesucian dalam Islam tidak berhenti pada tubuh, tetapi meluas hingga ke hati. Dalam Safīnatun Najāh, Sālim bin Sumair menulis:
الطَّهَارَةُ طَهَارَتَانِ: طَهَارَةُ الظَّاهِرِ وَطَهَارَةُ الْبَاطِنِ
“Kesucian itu ada dua: kesucian lahir dan kesucian batin.”
Pesan ini terasa relevan di tengah masyarakat modern yang sibuk mengejar tampilan luar, namun sering melupakan kebersihan hati. Bersuci dalam Islam bukan hanya membasuh anggota tubuh, tetapi juga membasuh perasaan dari iri, dengki, dan kesombongan.
Kita mungkin mandi setiap hari, tetapi seberapa sering kita “memandikan” hati dari prasangka dan kelelahan batin?
Rasulullah ﷺ bersabda:
الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ
“Kebersihan adalah separuh dari iman.” (HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa kebersihan bukan hanya urusan fisik, tetapi inti dari keimanan itu sendiri.
Air yang Menyucikan Hati
Air adalah refleksi kehidupan rohani manusia. Ia mengalir lembut tapi mampu menembus batu. Demikian pula hati yang bersih — tampak tenang namun kuat menghadapi ujian. Dalam Safīnatun Najāh, setiap pembahasan tentang air selalu mengandung makna kesederhanaan dan keseimbangan.
Ketika seseorang menegakkan wudhu dengan benar, hatinya ikut disegarkan. Saat air menyentuh kulit, ia seolah sedang menenangkan jiwa. Dan ketika membasuh wajah, seakan ia membersihkan pandangan dari hal-hal yang melalaikan.
النِّيَّةُ شَرْطٌ فِي كُلِّ عِبَادَةٍ
“Niat adalah syarat bagi setiap ibadah.”
Dengan niat, setiap tetes air menjadi doa. Dengan kesadaran, setiap gerakan menjadi ibadah. Maka, bersuci bukan lagi sekadar persiapan, melainkan bagian dari perjalanan menuju Allah.
Menjaga Air, Menjaga Rahmat Allah
Sebagai sumber kehidupan, air juga amanah yang harus dijaga. Dalam konteks spiritual, menjaga air berarti menjaga keberkahan. Islam mengajarkan agar tidak boros dalam menggunakannya, bahkan saat berwudhu.
Fenomena kekeringan di berbagai daerah mengingatkan kita bahwa air bukan hak pribadi, melainkan nikmat bersama. Ketika seseorang menjaga air, ia sebenarnya sedang menjaga kehidupan banyak makhluk Allah.
Sālim bin Sumair, melalui Safīnatun Najāh, seolah berpesan agar umat Islam tidak hanya pandai bersuci, tetapi juga bijak menjaga sumber kesucian itu sendiri.
Kesimpulan: Mengalirkan Kesucian ke Dalam Kehidupan
Safīnatun Najāh tidak hanya mengajarkan cara bersuci, tetapi juga cara hidup bersih — dari pikiran, ucapan, dan tindakan. Air menjadi metafora bagi iman yang mengalir, membersihkan, dan menumbuhkan kehidupan baru.
Setiap tetesan air adalah ajakan untuk kembali kepada kesederhanaan. Setiap gerakan wudhu adalah latihan untuk menghapus kesalahan. Dan setiap percikan yang jatuh ke bumi adalah saksi cinta antara manusia dan Tuhannya.
Ketika hati sudah jernih seperti air, maka seluruh hidup pun akan memantulkan cahaya Ilahi.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
