Khazanah
Beranda » Berita » Lima Hukum Syariat dalam Safīnatun Najāh: Menimbang Amal dengan Timbangan Ilmu

Lima Hukum Syariat dalam Safīnatun Najāh: Menimbang Amal dengan Timbangan Ilmu

Ilustrasi lima hukum syariat dalam Safinatun Najah karya Sālim bin Sumair al-Ḥaḍramī.
Ilustrasi simbolik lima hukum syariat sebagai timbangan spiritual antara amal dan pengetahuan.

Surau.co . Lima Hukum Syariat dalam Safīnatun Najāh – Dalam hidup, setiap langkah manusia selalu mengandung pilihan: antara kebaikan dan keburukan, antara yang diperintahkan dan yang dilarang, antara yang dianjurkan dan yang sebaiknya dihindari. Namun, tak semua orang mampu memahami bagaimana Islam menilai setiap tindakan. Di titik inilah, Safīnatun Najāh karya Sālim bin ʿAbdallāh bin Saʿd bin Sumayr al-Ḥaḍramī muncul sebagai kompas sederhana. Kitab kecil ini membantu setiap orang membaca “timbangan amal” dalam pandangan syariat — agar hidup dijalani dengan ilmu dan kesadaran.

Melalui penjelasan yang ringkas namun padat, Sālim bin Sumair memperkenalkan lima hukum syariat: wājib, sunnah, harām, makrūh, dan mubāḥ. Setiap hukum bukan sekadar kategori, tetapi panduan agar manusia mampu menata langkah dengan arah yang benar.

Menimbang Amal di Tengah Arus Kehidupan

Kehidupan sering membawa manusia pada tindakan yang spontan. Banyak orang berbuat tanpa benar-benar tahu nilainya di sisi Allah. Ada yang menganggap amal kecil tak berarti, padahal bisa menjadi sebab ampunan. Sebaliknya, ada pula yang menyepelekan dosa kecil, padahal bisa menyeret pada kebinasaan.

Karena itulah, Sālim bin Sumair membuka pembahasan dengan kalimat yang sangat mendasar:

فَصْلٌ فِي مَعْرِفَةِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ الخَمْسَةِ
“Bagian tentang mengenal lima hukum syariat.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Ungkapan singkat ini menunjukkan betapa pentingnya mengenal hukum sebelum bertindak. Tanpa panduan itu, seseorang mudah terjebak dalam amal tanpa arah. Oleh sebab itu, setiap perbuatan perlu ditimbang: apakah tergolong wajib, sunnah, atau justru terlarang?

Allah berfirman:

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ ۝ وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, ia akan melihat balasannya; dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, ia akan melihat balasannya pula.” (QS. Az-Zalzalah: 7–8)

Ayat ini menegaskan kesadaran moral. Sekecil apa pun tindakan, semuanya berada dalam pengawasan dan perhitungan Allah. Karena itu, memahami hukum syariat menjadi langkah awal untuk menata amal.

Wajib: Pondasi yang Tak Boleh Ditinggalkan

Hukum pertama, wājib (الفَرْض), menjadi dasar seluruh amal. Ia berarti setiap perbuatan yang mendatangkan pahala saat dilakukan dan membawa dosa bila diabaikan.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Sālim bin Sumair menulis:
الفَرْضُ مَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَيُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ
“Fardhu adalah sesuatu yang diberi pahala bila dikerjakan, dan disiksa bila ditinggalkan.”

Contohnya jelas: shalat lima waktu, puasa Ramadan, zakat, dan haji bagi yang mampu. Namun, kewajiban tidak hanya menyangkut ibadah ritual. Ia juga mencakup hal sosial — seperti menepati janji, menolong sesama, dan menjaga amanah.

Selain itu, Rasulullah ﷺ mengingatkan:
رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ، وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ
“Pokok perkara (agama) adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. Tirmidzi)

Dari sini tampak bahwa kewajiban bukan sekadar rutinitas. Ia adalah tiang iman. Tanpa menjalankannya, bangunan agama runtuh pelan-pelan, meskipun tampak berdiri tegak di permukaan.

Sunnah: Jalan Lembut Menuju Cinta Ilahi

Selanjutnya, sunnah (المندوب) membuka ruang bagi cinta. Ia memberi pahala bagi yang melakukannya, tanpa menimbulkan dosa bagi yang meninggalkannya.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Sālim bin Sumair menulis:
وَالْمَنْدُوبُ مَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَلَا يُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ
“Sunnah adalah sesuatu yang diberi pahala bila dikerjakan, dan tidak disiksa bila ditinggalkan.”

Sunnah lahir dari kerinduan seorang hamba untuk semakin dekat kepada Tuhannya. Ia menjadi bukti cinta yang tidak berhenti di batas kewajiban. Misalnya, shalat sunnah, sedekah diam-diam, atau sekadar memberi senyum tulus — semuanya memperhalus hubungan dengan Allah.

Kemudian, dalam hadis qudsi Allah berfirman:
وَلَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“Hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhārī)

Sunnah membuat agama terasa lembut. Ia menumbuhkan rasa cinta, melatih keikhlasan, dan menghadirkan ibadah yang tumbuh dari kerelaan, bukan sekadar kewajiban.

Haram: Batas yang Menyelamatkan

Jika wajib membangun tiang iman, maka haram (الحرام) berfungsi sebagai pagar keselamatan.

وَالْحَرَامُ مَا يُثَابُ عَلَى تَرْكِهِ وَيُعَاقَبُ عَلَى فِعْلِهِ
“Haram adalah sesuatu yang diberi pahala bila ditinggalkan, dan disiksa bila dilakukan.”

Larangan Allah tidak lahir dari sekadar aturan keras, melainkan dari kasih sayang. Sebab, setiap larangan berfungsi melindungi. Seperti pagar di tepi jurang, hukum haram menjaga agar manusia tidak jatuh ke dalam kebinasaan.

Sayangnya, sebagian orang modern memandang larangan agama sebagai belenggu kebebasan. Padahal, di balik setiap “jangan” tersimpan kasih yang besar. Allah tidak pernah melarang kecuali demi kebaikan.

Firman-Nya:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Janganlah kalian mendekati zina, karena sesungguhnya itu perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (QS. Al-Isrā’: 32)

Oleh sebab itu, menjauhi yang haram berarti menjaga diri dari luka batin dan kehancuran moral. Ia bukan pengekangan, melainkan penjagaan penuh kasih.

Makruh: Kepekaan Hati yang Menjernihkan Jiwa

Berbeda dari haram, makrūh (المكروه) mengajarkan kehalusan rasa. Ia memberi pahala bagi yang menahan diri, namun tidak mendatangkan dosa bila dilakukan.

وَالْمَكْرُوهُ مَا يُثَابُ عَلَى تَرْكِهِ وَلَا يُعَاقَبُ عَلَى فِعْلِهِ
“Makruh adalah sesuatu yang diberi pahala bila ditinggalkan, dan tidak disiksa bila dilakukan.”

Makruh melatih batin agar lebih sensitif terhadap hal-hal yang dapat mengeraskan hati. Misalnya, berbicara berlebihan, makan sampai kekenyangan, atau tidur terlalu lama. Semua itu tidak haram, tetapi jika dilakukan terus-menerus, akan mengikis kesadaran spiritual.

Dengan demikian, meninggalkan makruh bukan sekadar menahan diri, tetapi menata hati agar tetap lembut dan jernih. Orang yang menjaga diri dari makruh sedang melatih kesopanan jiwa.

Mubah: Ruang Kebebasan dalam Batas Ilahi

Terakhir, mubāḥ (المباح) menunjukkan keluasan rahmat Allah.

وَالْمُبَاحُ مَا لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ أَمْرٌ وَلَا نَهْيٌ
“Mubah adalah sesuatu yang tidak terikat oleh perintah maupun larangan.”

Segala aktivitas manusia — makan, bekerja, berjalan, beristirahat — termasuk dalam kategori ini. Namun, bila disertai niat yang benar, semua kegiatan itu dapat berubah menjadi ibadah.

Oleh karena itu, mubah bukan ruang kosong tanpa makna, melainkan ladang pahala yang tersembunyi. Islam memberi kebebasan yang terarah, bukan kebebasan yang liar. Setiap tindakan, selama diniatkan untuk kebaikan, tetap bernilai di sisi Allah.

Menimbang Amal dengan Ilmu dan Hati

Kelima hukum syariat dalam Safīnatun Najāh bukan hanya teori fikih. Ia mencerminkan seni hidup. Setiap hukum mengajarkan keseimbangan antara kewajiban dan cinta, antara kebebasan dan kendali diri.

Sālim bin Sumair menasihati dengan lembut:
فَاعْلَمْ أَنَّ الدِّينَ لَا يَسْتَقِيمُ إِلَّا بِالْعِلْمِ
“Ketahuilah, agama tidak akan lurus kecuali dengan ilmu.”

Ilmu menuntun seseorang memahami batas, sementara hati menuntunnya menjaga makna. Ketika keduanya berjalan seiring, hidup akan terarah dan bercahaya.

Pada akhirnya, menimbang amal bukan hanya urusan hukum, tetapi juga urusan hati. Sebab, hanya dengan hati yang hidup, ilmu dapat menjelma menjadi amal yang bercahaya.

Reza AS
Pengasuh ruang kntemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement