Surau.co. Dalam kehidupan yang serba cepat, banyak orang berlari mengejar keberhasilan, namun tak semua menyadari pentingnya keseimbangan antara lahir dan batin. Kitab Safīnatun Najāh karya Sālim bin ʿAbdallāh bin Saʿd bin Sumayr al-Ḥaḍramī hadir sebagai panduan ringkas yang membantu kita memahami dua pondasi utama agama: Islam dan Iman.
Kedua istilah ini bukan sekadar terminologi teologis, melainkan dua sayap yang menuntun manusia menuju kesempurnaan ibadah dan keselamatan spiritual.
Menemukan Keseimbangan antara Lahir dan Batin
Dalam bab awal Safīnatun Najāh, penulis menjelaskan bahwa pemahaman terhadap Islam dan Iman adalah kunci agar seorang Muslim dapat menjalankan agamanya secara utuh. Beliau menulis:
فَصْلٌ فِي مَعْرِفَةِ أَرْكَانِ الإِسْلَامِ وَالإِيمَانِ
“Bab tentang mengenal rukun Islam dan rukun iman.”
Kalimat sederhana ini membuka pemahaman mendalam: bahwa keislaman tidak cukup dengan pengakuan lisan dan ibadah fisik, melainkan harus diiringi keyakinan yang kokoh di dalam hati.
Kehidupan modern sering membuat manusia terjebak dalam formalitas. Banyak yang rajin beribadah, tetapi kehilangan makna batin dari amalnya. Safīnatun Najāh mengingatkan bahwa rukun Islam — seperti shalat, puasa, dan zakat — hanyalah wadah yang akan kosong tanpa isi iman.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَـٰكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا
“Orang-orang Arab Badui berkata: ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah: ‘Kalian belum beriman, tetapi katakanlah kami telah masuk Islam.’” (QS. Al-Ḥujurāt: 14)
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam tanpa iman hanyalah permukaan. Sedangkan iman tanpa Islam, akan kehilangan manifestasi nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Islam: Jalan Lahiriah yang Menata Amal
Sālim bin Sumair al-Ḥaḍramī menulis dengan bahasa yang sangat mudah dipahami oleh santri pemula. Beliau mendefinisikan Islam dengan ringkas namun padat:
الإِسْلَامُ هُوَ الإِسْتِسْلَامُ لِأَمْرِ اللهِ بِالتَّوْحِيدِ وَالْإِنْقِيَادُ لَهُ بِالطَّاعَةِ
“Islam adalah tunduk kepada perintah Allah dengan mentauhidkan-Nya dan patuh kepada-Nya dengan ketaatan.”
Islam, menurut beliau, adalah bentuk kepasrahan total. Ia bukan sekadar simbol keanggotaan agama, melainkan sistem kehidupan yang menata seluruh perilaku manusia — dari cara berpakaian hingga cara berbicara, dari hubungan keluarga hingga urusan sosial.
Namun, Islam bukanlah beban. Ia justru membebaskan manusia dari kekacauan hidup tanpa arah. Dengan Islam, setiap tindakan mendapat makna: makan menjadi ibadah bila disyukuri, bekerja menjadi amal bila diniatkan untuk menafkahi keluarga, dan istirahat menjadi zikir bila diiringi doa.
Rasulullah ﷺ bersabda:
المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang Muslim sejati adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhārī & Muslim)
Makna Islam sejati, dengan demikian, bukan hanya ritual, melainkan juga etika dan kasih dalam interaksi sosial.
Iman: Cahaya Batin yang Menghidupkan Amal
Setelah membahas Islam, Safīnatun Najāh menguraikan tentang iman sebagai ruh dari seluruh ibadah. Dalam kitab disebutkan:
وَالإِيمَانُ هُوَ التَّصْدِيقُ بِالْجَنَانِ وَالإِقْرَارُ بِاللِّسَانِ وَالْعَمَلُ بِالأَرْكَانِ
“Iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan.”
Tiga unsur iman ini — hati, lisan, dan amal — membentuk kesatuan yang tak terpisahkan. Tanpa keyakinan, ibadah menjadi rutinitas kosong. Tanpa ucapan dan amal, keimanan hanya berdiam dalam jiwa tanpa membuahkan manfaat bagi orang lain.
Iman menuntut keyakinan akan hal-hal ghaib, sebagaimana yang disebutkan dalam rukun iman: kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan takdir baik maupun buruk. Dalam setiap ujian kehidupan, iman menjadi lentera yang menerangi jalan, agar manusia tidak mudah goyah.
Allah berfirman:
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh di kehidupan dunia dan di akhirat.” (QS. Ibrāhīm: 27)
Iman menenangkan hati ketika dunia mengguncang, dan menguatkan langkah ketika amal terasa berat.
Islam dan Iman: Dua Sayap yang Tak Terpisahkan
Sālim bin Sumair mengibaratkan Islam dan iman seperti dua sisi dari satu koin, atau dua sayap dari seekor burung. Tanpa salah satu, ia takkan mampu terbang menuju kesempurnaan.
مَنْ لَا إِيمَانَ لَهُ لَا إِسْلَامَ لَهُ، وَمَنْ لَا إِسْلَامَ لَهُ لَا إِيمَانَ لَهُ
“Barang siapa tidak memiliki iman, maka tiada Islam baginya; dan siapa yang tidak memiliki Islam, maka tiada iman baginya.”
Dalam praktiknya, keseimbangan ini bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, seseorang yang disiplin shalat (Islam) akan semakin tenang ketika ia menghayati maknanya (iman). Begitu pula, orang yang beriman kepada takdir akan menjalani ujian hidup dengan sabar dan lapang dada.
Keseimbangan inilah yang membuat Safīnatun Najāh selalu diajarkan di pesantren dan majelis ilmu. Ia menanamkan prinsip bahwa agama bukan hanya diucapkan, tetapi dijalankan dengan hati yang hidup dan akhlak yang lembut.
Menjadi Muslim yang Beriman dan Berilmu
Di dunia yang serba instan, banyak orang ingin hasil cepat dalam beragama — ingin tenang tanpa proses belajar, ingin bahagia tanpa mendekat kepada Allah. Safīnatun Najāh mengingatkan bahwa ilmu adalah kunci dari keimanan dan keislaman yang benar.
لَا تَصِحُّ عِبَادَةٌ إِلَّا بَعْدَ مَعْرِفَةٍ
“Tidak sah suatu ibadah tanpa ilmu.”
Ibadah tanpa ilmu ibarat kapal tanpa kompas — mungkin berlayar, tapi tak tahu ke mana tujuannya. Dengan ilmu, setiap amal menjadi terarah, setiap kesalahan bisa diperbaiki, dan setiap langkah menjadi lebih bermakna.
Penutup: Dua Sayap yang Menuntun Menuju Cinta Allah
Safīnatun Najāh bukan sekadar teks fiqh klasik. Ia adalah cermin kecil yang memantulkan wajah Islam dan iman dalam kehidupan nyata. Dengan Islam, kita beramal. Dengan iman, kita memberi makna pada amal itu.
Seorang Muslim sejati adalah mereka yang menjaga keseimbangan antara keduanya — menegakkan shalat sekaligus menjaga hati, berpuasa dari lapar sekaligus menahan amarah, memberi zakat sekaligus menumbuhkan kasih.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang. Yang tertinggi adalah ucapan ‘Lā ilāha illallāh’, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.” (HR. Muslim)
Islam dan iman adalah dua sayap menuju langit cinta Allah. Dengan keduanya, hidup menjadi lebih damai, terarah, dan penuh berkah.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
