Surau.co. Dalam perjalanan hidup yang penuh dengan kesibukan, kadang kita lupa bahwa setiap langkah, ucapan, dan gerakan punya nilai ibadah. Di tengah hiruk pikuk dunia, kitab Safīnatun Najāh karya ulama Hadramaut, Sālim bin ʿAbdallāh bin Saʿd bin Sumayr al-Ḥaḍramī, hadir sebagai peta kecil yang menuntun hati agar tetap berlayar menuju keselamatan.
Kitab ini bukan sekadar buku fiqh; ia adalah panduan spiritual praktis — ringan dibaca, tetapi dalam maknanya. Sejak paragraf awalnya, Safīnatun Najāh mengajarkan bahwa keselamatan tidak hanya tentang akhirat, tetapi juga tentang bagaimana manusia menjaga keseimbangan hidup dengan ilmu, amal, dan niat yang lurus.
Menemukan Makna “Keselamatan” dalam Kehidupan Sehari-hari
Setiap manusia pasti mencari keselamatan — dari kesulitan, dari dosa, dan dari kebingungan hidup. Safīnatun Najāh membuka pengajaran dengan mengingatkan kita bahwa fondasi iman dan Islam harus kuat agar ibadah tidak hanya ritual kosong.
Penulis berkata:
فَصْلٌ فِي مَعْرِفَةِ أَرْكَانِ الإِسْلاَمِ وَالإِيمَانِ
“Bagian ini tentang mengenal rukun Islam dan iman.”
Ungkapan sederhana ini sesungguhnya menuntun pembaca untuk menyadari bahwa ibadah lahir (Islam) harus berjalan seiring dengan keyakinan batin (iman). Tanpa keimanan, amal hanya menjadi gerak tanpa arah; tanpa amal, keimanan akan layu tanpa bukti.
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan keseimbangan ini:
وَالْعَصْرِ إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh.” (QS. Al-‘Ashr: 1–3)
Keselamatan, dalam kacamata Safīnatun Najāh, bukan hasil spontan. Ia buah dari proses belajar, memperbaiki diri, dan menjaga hubungan dengan Allah serta sesama manusia.
Ilmu dan Ibadah: Dua Sayap untuk Terbang
Salah satu bagian yang indah dari kitab ini adalah penegasan bahwa tidak ada ibadah yang sah tanpa ilmu. Dalam Safīnatun Najāh disebutkan:
لَا تَصِحُّ عِبَادَةٌ إِلَّا بَعْدَ مَعْرِفَةٍ
“Tidak sah suatu ibadah tanpa disertai pengetahuan.”
Pernyataan ini sederhana tapi menggugah. Banyak dari kita yang beribadah dengan semangat, namun lupa memastikan apakah caranya sudah benar. Shalat, puasa, bahkan zakat, semua memerlukan pemahaman hukum dan syaratnya.
Kitab Safīnatun Najāh mengajarkan fiqh bukan dengan nada menghakimi, melainkan dengan kelembutan seorang guru yang ingin muridnya paham. Ia memulai dari dasar: thaharah (bersuci), shalat, zakat, puasa, hingga haji — ibarat mengajari seseorang cara menapaki tangga surga satu demi satu.
Kesucian sebagai Awal dari Segalanya
Kehidupan modern sering membuat manusia terasing dari makna “suci”. Kita mandi karena kotor, bukan karena ingin membersihkan diri untuk ibadah. Tapi dalam Safīnatun Najāh, bersuci (thaharah) adalah pintu masuk menuju kehadiran di hadapan Allah.
الطَّهَارَةُ مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ
“Thaharah adalah kunci bagi shalat.”
Kalimat pendek ini menegaskan bahwa tidak ada kedekatan dengan Allah tanpa kesucian. Ia bukan hanya tentang air dan sabun, tetapi tentang membersihkan hati dari sifat sombong, iri, dan riya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ
“Kesucian adalah separuh dari iman.” (HR. Muslim)
Maka, dalam keseharian, setiap kali kita berwudhu, sebenarnya kita sedang mengulang janji: membersihkan lahir sekaligus menenangkan batin.
Kesederhanaan sebagai Cermin Ilmu
Salah satu daya tarik Safīnatun Najāh adalah gaya bahasanya yang sangat sederhana. Tidak berbelit, tidak berat, tapi sangat dalam. Gaya ini mencerminkan kepribadian penulisnya, Sālim bin Sumair al-Ḥaḍramī, seorang alim dari Hadramaut yang menulis untuk para santri pemula.
Beliau ingin setiap Muslim, bahkan yang baru belajar sekalipun, bisa memahami dasar ibadah tanpa harus menunggu jadi ahli. Dalam salah satu bagiannya beliau menulis:
وَالنِّيَّةُ شَرْطٌ فِي كُلِّ عِبَادَةٍ
“Niat adalah syarat bagi setiap ibadah.”
Ungkapan ini terasa relevan dalam kehidupan modern: bahwa keikhlasan adalah inti dari segala amal. Entah bekerja, belajar, atau menolong sesama — semuanya bisa bernilai ibadah bila dimulai dengan niat yang benar.
Menjadi Penumpang Kapal Keselamatan
Bayangkan hidup seperti lautan luas, penuh gelombang dan badai. Safīnatun Najāh, yang berarti “Kapal Keselamatan”, adalah perahu kecil tempat kita belajar berlayar menuju Allah dengan tenang. Ia tidak menjanjikan perjalanan tanpa ombak, tapi memberi arah agar kita tidak tenggelam.
Dalam bab penutupnya, Sālim bin Sumair menulis nasihat lembut:
فَاسْعَ فِي طَلَبِ النَّجَاةِ بِالْعِلْمِ وَالْعَمَلِ وَالإِخْلَاصِ
“Berusahalah mencari keselamatan dengan ilmu, amal, dan keikhlasan.”
Tiga kunci itu — ilmu, amal, dan ikhlas — adalah bekal setiap penempuh jalan menuju Allah.
Penutup: Ibadah yang Menyentuh Hati
Di tengah rutinitas dan tekanan hidup modern, Safīnatun Najāh mengingatkan kita untuk tidak kehilangan arah. Ibadah bukan sekadar menggugurkan kewajiban, tetapi sarana agar hati tetap hidup.
Kitab ini mengajarkan fiqh bukan dengan kekakuan hukum, melainkan dengan kelembutan jiwa. Ia menuntun kita untuk menjalani kehidupan yang bersih, teratur, dan bermakna — sebuah perjalanan menuju keselamatan yang sejati.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatf Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
