SURAU.CO– Jika membandingkan catatan yang Tomé Pires tulis antara tahun 1513-1515, kita dapat mengetahui bahwa Siak adalah kawasan yang berada antara Arcat dan Indragiri. Sebelum Kerajaan Siak berdiri, daerah Siak adalah wilayah bawahan kekuasaan Kerajaan Johor. Pemimpin yang mengawasi daerah ini adalah raja yang mendapat penunjukan dari Sultan Johor. Namun, selama hampir 100 tahun, daerah ini tidak ada yang memerintah karena Kerajaan Johor runtuh akibat perebutan kekuasaan internal.
Raja Kecik mendirikan Kerajaan Siak
Pada tahun 1717, Raja Kecik, yang merupakan keturunan dari Raja Johor, berhasil merebut kembali dan menghidupkan Johor setelah perang saudara. Akan tetapi, tahun 1722 Kerajaan Johor kembali mengalami perang saudara. Tengku Sulaiman, putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah dan ipar Raja Kecik, merebut kekuasaan. Dalam merebut Kerajaan Johor ini, Tengku Sulaiman mendapat bantuan dari beberapa bangsawan Bugis. Perang saudara ini mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada kedua belah pihak. Akhirnya, masing-masing pihak mengundurkan diri. Pihak Johor bermundur diri ke Pahang, dan Raja Kecik mengundurkan diri ke Bintan, kemudian ia mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan, anak Sungai Siak. Demikianlah awal berdirinya Kerajaan Siak di Buantan.
Pusat Kerajaan Siak tidak menetap di Buantan. Pusat kerajaan kemudian selalu berpindah-pindah, dari kota Buantan pindah ke Mempura, kemudian pindah ke Senapelan Pekanbaru, dan kembali lagi ke Mempura. Semasa pemerintahan Sultan Ismail, atau Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin, yang memerintah dari tahun 1827 sampai tahun 1864, pusat Kerajaan Siak ia pindahkan ke kota Siak Sri Indrapura dan akhirnya menetap di sana sampai masa pemerintahan Sultan Siak terakhir.
Siak : salah satu pusat dakwah Islam
Perkembangan agama Islam di Siak menjadikan kawasan ini sebagai salah satu pusat penyebaran dakwah Islam. Hal ini tidak lepas dari penggunaan nama Siak secara luas di kawasan Melayu. Pada masa pemerintahan Sultan ke-11, yaitu Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889, ia membangun istana yang megah terletak di kota Siak. Istana ini ia beri nama Istana Asseraiyah Hasyimiah .
Jika dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang terkenal: Adat menurun, syara’ mendaki, hal ini dapat bermakna bahwa Islam masuk ke dataran tinggi pedalaman Minangkabau dari Siak. Akibatnya, orang-orang yang ahli dalam agama Islam, sejak dahulu sampai sekarang, masih tetap disebut dengan Orang Siak. Sementara di Semenanjung Malaya, penyebutan Siak masih digunakan sebagai nama jabatan yang berkaitan dengan urusan agama Islam.
Pengaruh Minangkabau dengan identitas matrilinealnya masih mewarnai tradisi masyarakat Siak, meskipun mereka telah menerapkan hukum Islam. Hal ini terlihat dalam tata cara pembagian warisan: masyarakat Siak mengikuti hukum waris sebagaimana berlaku dalam Islam. Namun, dalam hal tertentu, mereka menyepakati secara adat bahwa warisan dalam bentuk rumah hanya dapat mereka serahkan kepada anak perempuan saja.
Kemajuan pada masa Sultan Syarif Hasyim
Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini, Siak mengalami kemajuan, terutama dalam bidang ekonomi. Sultan Syarif Hasyim bahkan berkesempatan berkunjung ke Eropa, yaitu Jerman dan Belanda. Setelah wafat, putranya menggantikan beliau. Putranya, Tengku Sulung Syarif Kasim, saat itu masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia. Baru pada tahun 1915, ia resmi berkuasa sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin, dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani atau Sultan Syarif Kasim II.
Keruntuhan Kerajaan Siak berawal dari ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatra. Ekspansi Belanda tersebut tidak mendapat hadangan berarti dari Kesultanan Siak. Pengaruh ekspansi Belanda sedikit demi sedikit mulai terlihat dengan runtuhnya Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan, dan Kesultanan Langkat. Setelah itu, muncul Indragiri sebagai kawasan mandiri. Begitu juga Kerajaan Johor yang kembali berdiri, dipimpin oleh seorang sultan dari keturunan Tumenggung Johor. Kerajaan Johor ini berada dalam perlindungan Inggris di Singapura. Tidak mau kalah dengan Inggris, Belanda kemudian memulihkan kedudukan Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat, dan kemudian mendirikan Kesultanan Lingga di Pulau Lingga. Selain itu, Belanda juga mempersempit wilayah kedaulatan Siak dengan mendirikan Residentie Riouw, pemerintahan Hindia-Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang.
Perjanjian dengan Inggris yang merugikan
Pada tahun 1840, penguasaan Inggris atas Selat Melaka memaksa Sultan Siak untuk menerima tawaran perjanjian baru menggantikan perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya pada tahun 1819. Perjanjian tersebut menyebabkan Kesultanan Siak semakin kecil dan terjepit di antara wilayah kerajaan-kerajaan kecil yang mendapat perlindungan dari Inggris. Demikian juga pihak Belanda memaksa Sultan Siak menandatangani perjanjian pada 1 Februari 1858 yang menjadikan kawasan Siak sebagai salah satu bagian dari pemerintahan Hindia-Belanda. Kerajaan Siak Sri Inderapura benar-benar kehilangan kedaulatannya setelah perjanjian dengan Belanda tersebut. Apa lagi terdapat aturan bahwa dalam setiap pengangkatan raja Siak mesti mendapat persetujuan dari Belanda. Tidak berhenti sampai di situ, Belanda mendirikan pos militer di Bengkalis serta melarang Sultan Siak membuat perjanjian dengan pihak asing tanpa persetujuan Residen Riau pemerintahan Hindia-Belanda. Hal ini merupakan usaha Belanda dalam pengawasan dan kontrol wilayah.
Kehilangan hegemoni kekuasaan
Pengaruh hegemoni Kesultanan Siak atas wilayah-wilayah yang pernah mereka kuasai lenyap sama sekali setelah adanya perubahan peta politik atas penguasaan jalur Selat Malaka, serta adanya pertikaian internal Siak dan persaingan dengan Inggris dan Belanda. Tarik ulur kepentingan kekuatan asing terlihat pada Perjanjian Sumatra antara pihak Inggris dan Belanda, hal ini menempatkan Siak pada posisi yang dilematis, berada dalam posisi tawar yang lemah. Kemudian, berdasarkan perjanjian pada 26 Juli 1873, pemerintah Hindia-Belanda memaksa Sultan Siak untuk menyerahkan wilayah Bengkalis kepada Residen Riau. Namun, di tengah tekanan tersebut, Kesultanan Siak tetap masih mampu bertahan sampai masa kemerdekaan Indonesia. Walau pada masa pendudukan tentara Jepang, sebagian besar kekuatan militer Kesultanan Siak sudah tidak signifikan lagi. Sultan Syarif Kasim II, yang merupakan Sultan Siak terakhir, tidak memiliki putra. Seiring dengan kemerdekaan Indonesia, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan negara Republik Indonesia. Penyerahan ini menandai berakhirnya kekuasaan Kerajaan Siak di Nusantara.(St.Diyar)
Referensi: Binuko Amarseto, Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia, 2015
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
