SURAU.CO – Maimunah binti Al Harits adalah istri terakhir Rasulullah SAW. Ia perempuan salehah yang beriman dan cerdas. Ia termasuk dalam golongan Ummahatul Mukminin —para ibu bagi kaum mukminin—yang menduduki posisi mulia dalam sejarah Islam.
Maimunah binti Al Harits lahir di tengah keluarga yang masih menganut kepercayaan jahiliyah. Namun, cahaya keimanan telah memenuhi hatinya bahkan sebelum ia melompat langsung dengan Rasulullah SAW. Dalam Kisah Pahlawan Muslimah Dunia karya Hafidz Muftisany, penulis menggambarkan Maimunah sebagai wanita mukminah yang rela menyerahkan dirinya untuk Islam dan Rasulullah SAW.
Ketulusan Maimunah Allah abadikan dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 50:
“…dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya sebagai pengkhususan bagimu, bukan semua orang mukmin (yang lain)…” (QS Al-Ahzab: 50).
Ayat ini menegaskan keistimewaan Maimunah di sisi Allah SWT. Ia membuktikan dirinya sebagai perempuan beriman yang berani mengambil langkah besar demi memperjuangkan keyakinan.
Pernikahan yang Dilandasi Keimanan
Sebelum Rasulullah SAW menikahinya, Maimunah telah menjanda menjadi dari Abu Rahm bin Abdul Uzza, yang meninggal dalam keadaan musyrik. Ketika Rasulullah SAW datang ke Makkah pada tahun ke-7 Hijriah untuk menunaikan umroh, Maimunah bertekad menampakkan keimanannya secara terbuka. Ia menolak menyembunyikan lebih lama dari kaum musyrikin.
Maimunah menyampaikan keinginannya kepada Abbas bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah sekaligus suami dari saudara kandungnya, Ummu Fadhl. Abbas kemudian menemui Rasulullah SAW dan menyampaikan niat Maimunah untuk memeluk Islam dan menjadi istri beliau. Rasulullah SAW menerima lamaran itu dan memberikan mahar sebesar 400 dirham.
Kaum musyrikin menolak diadakannya walimah di Makkah, sehingga Rasulullah SAW memutuskan untuk meninggalkan kota itu bersama rombongan menuju Madinah. Dalam perjalanan, tepatnya di daerah Sarf—sekitar sepuluh mil dari Makkah—Rasulullah SAW menikahi Maimunah. Peristiwa bahagia itu terjadi pada bulan Syawal tahun ke-7 Hijriah.
Kehidupan Bersama Rasulullah SAW
Setelah menikah, Maimunah tinggal di Madinah bersama Rasulullah SAW. Ia berusaha menjadi istri dengan penuh keikhlasan, ketaatan, dan kesetiaan. Maimunah senantiasa mendukung perjuangan dakwah Rasulullah dan ikut menjaga keharmonisan rumah tangga beliau.
Ia menunjukkan kerendahan hati dan kasih sayang terhadap sesama. Sebagai istri, Maimunah tidak hanya mendampingi Rasulullah dalam kehidupan pribadi, tetapi juga ikut berperan dalam keluarga besar yang menyebarkan ilmu dan kebaikan di kalangan sahabat.
Ketika Rasulullah SAW wafat, Maimunah tetap menjalani hidup dengan sabar dan memelihara kehormatannya hingga akhir hayat. Ia meninggal pada usia 80 tahun, sekitar tahun 61 Hijriah, pada masa pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Sebelum meninggal, Maimunah berpesan agar keluarganya memakamkannya di tempat ia melangsungkan walimatul ‘ursy bersama Rasulullah SAW di Sarf. Keluarganya pun melaksanakan wasiat tersebut dengan penuh hormat.
Hadits Perempuan Berilmu dan Penyebar
Maimunah binti Al Harits dikenal bukan hanya karena keimanannya, tetapi juga karena kedalaman ilmunya. Dalam Perempuan-Perempuan Surga karya Imron Mustofa, penulis menyebut bahwa Maimunah merupakan perempuan berpengetahuan luas yang aktif menyebarkan ilmu dari Rasulullah SAW kepada para sahabat dan generasi setelahnya.
Ia meriwayatkan sekitar 76 hadits dari Rasulullah SAW, dan beberapa di antaranya tercantum dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim . Maimunah menunjukkan kemampuan luar biasa dalam menghafal dan memahami setiap ajaran Rasulullah. Para ulama menilai Maimunah sebagai sosok tsiqah (terpercaya), sehingga banyak sahabat dan tabi’in menerima periwayatannya tanpa keraguan.
Maimunah mengajarkan ilmu agama kepada sahabat laki-laki maupun perempuan. Ia menegaskan setiap perkataan dan pengajarannya berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah. Melalui ketekunan dan kecerdasannya, Maimunah membantu menjaga kemurnian ajaran Islam dan memastikan generasi setelahnya tetap memahami pesan Rasulullah SAW dengan benar.
Keberanian dan Jiwa Patriotik
Maimunah binti Al Harits juga menonjol karena keberanian dan ketegasannya. Ia tidak pernah ragu untuk menentukan siapa pun yang melanggar ajaran Allah SWT, bahkan jika pelakunya berasal dari keluarganya sendiri.
Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Yazid bin al-Ahsam bahwa suatu hari seorang kerabat Maimunah datang kepadanya dalam keadaan mabuk. Begitu mencium bau minuman keras, Maimunah segera menegurnya dengan tegas, “Demi Allah, kenapa kamu tidak keluar dari tengah-tengah kaum muslimin agar mereka mencambukmu?”
Peristiwa ini menampilkan sikap berani Maimunah dalam menegakkan hukum Allah SWT. Ia menolak segala bentuk kemaksiatan dan tidak membiarkan siapa pun meremehkan syariat Islam. Maimunah menegakkan kebenaran pandangan bulu dan menunjukkan komitmen yang kuat terhadap keadilan.
Teladan dari Maimunah binti Al Harits
Kisah hidup Maimunah binti Al Harits mencerminkan kesetiaan, keimanan, dan keteguhan perempuan dalam membela Islam. Ia menunjukkan bahwa keimanan sejati harus diwujudkan melalui tindakan nyata—dengan keberanian menegakkan kebenaran, dukungan terhadap perjuangan Rasulullah, serta semangat menyebarkan ilmu bagi umat.
Dari kisah Maimunah, umat Islam dapat belajar bahwa kemuliaan seorang perempuan tidak terletak pada status sosial, melainkan pada ketulusan hati, keluasan ilmu, dan pengabdian terhadap agama. Maimunah binti Al Harits meninggalkan jejak sejarah sebagai istri terakhir Rasulullah SAW yang memiliki jiwa besar, kecerdasan, dan keberanian luar biasa.
Semoga teladan Maimunah menginspirasi umat Islam, khususnya kaum perempuan, untuk terus memperkuat iman, menuntut ilmu, dan berani mewujudkan kebenaran di jalan Allah SWT.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
