SURAU.CO. Pepatah Jawa “Anak polah, bapa kepradah” menyimpan makna yang dalam dan menyentuh nurani. Ungkapan ini tampak sederhana, tetapi sesungguhnya mengandung pesan kuat tentang tanggung jawab moral antara anak dan orang tua. Artinya, ketika anak berbuat sesuatu, orang tua ikut menanggung akibatnya. Pepatah Jawa ini menegaskan bahwa setiap tindakan anak selalu berakar pada didikan, perhatian, dan teladan dari orang tuanya.
Hubungan batin itu tumbuh sejak awal kehidupan dan terus mengalir tanpa henti, menembus batas waktu. Jabatan tinggi atau kemajuan teknologi tidak pernah mampu memutus jalinan kasih dan tanggung jawab di antara keduanya. Dalam kehidupan modern yang serba cepat ini, pepatah tersebut mengingatkan kita untuk tetap menjaga nilai-nilai keluarga agar anak tumbuh dengan bimbingan, dan orang tua hadir bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara hati.
Kesejajaran dalam Pandangan Islam
Falsafah ini sejalan dengan pandangan Islam yang menekankan pentingnya tarbiyah (pendidikan) dan amanah (tanggung jawab). Islam memandang anak sebagai titipan yang harus dijaga, dibimbing, dan diarahkan menuju kebaikan. Allah Swt. berfirman dalam Surah At-Tahrim ayat 6:
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
Ayat ini menegaskan bahwa tanggung jawab orang tua tidak berhenti pada memberi nafkah dan memenuhi kebutuhan lahiriah, tetapi juga mencakup penjagaan jiwa, akhlak, dan arah hidup anak. Ketika anak berbuat dosa atau menyimpang dari kebenaran, orang tua pun ikut menanggung akibat moralnya karena pendidikan yang lalai bisa menjadi akar dari penyimpangan itu. Dalam pandangan Islam, keluarga bukan sekadar tempat tumbuh, melainkan madrasah pertama tempat nilai iman dan adab ditanamkan.
Anak Polah: Belajar dari Kasus Mario Dandy
Pepatah ini menemukan relevansinya dalam kenyataan masa kini. Kasus Mario Dandy dan David Latumahina menjadi contoh nyata: anak pejabat yang pamer kekayaan lalu berbuat kekerasan tak hanya mencoreng diri sendiri, tetapi juga menjatuhkan nama ayahnya. Ia diperiksa, kehilangan jabatan, dan menanggung beban sosial yang berat.
Jika dulu “Bapa Kepradah” berarti malu di lingkungan sekitar, kini maknanya meluas ke dunia maya. Media sosial membuat setiap perilaku anak terekspos dan mudah menjadi konsumsi publik. Sekali anak berbuat salah, nama keluarga tercoreng seketika. Dunia digital memperluas konsekuensi moral, menegaskan bahwa tanggung jawab orang tua kini menjangkau hingga ruang maya—tempat adab, citra, dan nilai keluarga diuji setiap saat.
Ketika Tarbiyah Kehilangan Arah
Islam menegaskan bahwa pendidikan bukan hanya soal ilmu, tetapi juga pembentukan adab. Nabi Muhammad Saw bersabda,
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Orang tua menjadi pemimpin pertama bagi anaknya. Bila anak berbuat salah, tanggung jawab moral melekat pada mereka.
Dalam Islam, kegagalan mendidik akhlak lebih berat daripada kegagalan ekonomi. Rasulullah Saw mengajarkan bahwa pendidikan lahir dari kasih sayang dan keteladanan, bukan dari materi. Kini, banyak rumah kehilangan fungsi tarbiyah. Orang tua sibuk mengejar karier, sementara anak tumbuh bersama gawai dan media sosial. Nilai sabar dan jujur tergeser oleh keinginan mencari pengakuan. Anak makin berani pada manusia, namun kian lupa pada Tuhan.
Rasa Malu: Cermin Iman dalam Ajaran Islam
Budaya Jawa menempatkan rasa malu (isin) sebagai lambang kehormatan, dan Islam pun mengajarkan hal serupa. Rasulullah Saw bersabda,
“Rasa malu adalah cabang dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Saat anak tak malu berbuat maksiat dan orang tua pun tak malu menyaksikannya, akar iman dalam rumah mulai rapuh. Pepatah “Anak polah, bapa kepradah” mengingatkan agar rasa malu dijaga sebagai benteng moral, bukan sekadar tekanan sosial.
Sebaliknya, kebaikan anak menjadi pahala bagi orang tua. Nabi Saw bersabda,
“Apabila manusia meninggal dunia, terputus amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).
Hubungan anak dan orang tua tak berhenti di dunia; doa anak saleh menjadi cahaya yang menerangi orang tuanya hingga akhirat.
Refleksi “Anak Polah” untuk Zaman Viral
Di zaman ini, banyak anak terkenal karena konten, bukan karena kontribusi. Mereka mengejar views, tapi kehilangan nilai. Pepatah Jawa dan ajaran Islam sepakat: orang tua harus hadir membimbing, bukan sekadar memenuhi kebutuhan.
Iman dan adab harus ditanam sejak dini agar anak tak “polah” yang membuat “bapa kepradah.” Ketika adab hilang, akal mudah sesat; ketika iman redup, rasa malu pun lenyap. Rasulullah Saw bersabda,
“Tidak ada pemberian orang tua kepada anak yang lebih baik daripada adab yang baik.” (HR. Tirmidzi).
Dunia boleh berubah, tetapi tanggung jawab menanam adab tetap abadi. Jika adab hilang dari rumah, kehormatan pun ikut pergi.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
