Kisah
Beranda » Berita » Kisah Kepekaan Ibnu Abbas yang Lahir dari Hati Bersih

Kisah Kepekaan Ibnu Abbas yang Lahir dari Hati Bersih

Kisah Kepekaan Ibnu Abbas yang Lahir dari Hati Bersih
Ilustrasi Abdullah bin Abbas (Foto:Istimewa)

SURAU.CO – Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fathul Bārī memeriwayatkan kisah menarik tentang Ibnu Abbas kecil. Suatu hari Rasulullah memasuki kamar mandi. Tanpa diminta, Ibnu Abbas meletakkan udara di depan pintu. Ketika Rasulullah keluar, beliau bertanya, “Siapa yang meletakkan udara ini?” Setelah para sahabat memberitahukan bahwa Ibnu Abbas yang melakukannya, Rasulullah pun berdoa, “Ya Allah, berilah ia kepahaman dalam agama.”

Kisah ini tampak sederhana, tetapi menyimpan pelajaran yang mendalam. Sejak kecil, Abdullah bin Abbas menunjukkan kepekaan hati dan kecerdasan praktikal. Ia memahami kebutuhan Rasulullah tanpa menunggu perintah atau petunjuk. Ia tidak menantikan instruksi, tidak pula mencari pujian. Ia langsung bertindak karena tahu bahwa orang yang memasuki kamar mandi pasti membutuhkan udara untuk bersuci.

Inilah wujud empati intelektual —kepekaan intelektual yang langsung diwujudkan dalam tindakan nyata. Ibnu Abbas kecil tidak hanya peka secara emosional, tetapi juga berpikir logis dan bertindak tepat waktu. Ia membaca situasi dengan baik dan meresponsnya secara cerdas.

Kepekaan yang Mengundang Doa

Tindakan sederhana itu membuat Rasulullah terkagum-kagum. Beliau melihat potensi besar dalam diri anak kecil itu: ketajaman nalar, kelembutan akhlak, dan kesiapan hati untuk berbuat baik. Rasulullah pun mendoakan Ibnu Abbas agar memiliki pemahaman mendalam dalam agama. Doa itu menjadi berkah yang mengiringi sepanjang perjalanan ilmunya.

Peristiwa itu terjadi di rumah Sayyidah Maimunah binti Al-Harits, istri Rasulullah sekaligus bibi Ibnu Abbas dari pihak ibu. Hubungan keluarga tersebut memberi Ibnu Abbas kesempatan untuk dekat dengan Rasulullah dan menyerap keteladanan beliau secara langsung.

Mengenal Dunia agar Tidak Tertipu olehnya: Tafsir Hikmah Al-Hikam

Beberapa sejarah mencatat variasi doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas, seperti “Allahumma ‘allimhul hikmah” (Ya Allah, ajarkanlah ia hikmah) dan “’allimhul kitab” (ajarkanlah ia Kitab [Al-Qur’an]). Semua versi doa itu menyatakan satu hal: Rasulullah mengakui kecerdasan dan kesiapan spiritual Ibnu Abbas untuk menjadi pewaris ilmu.

Kecerdasan yang Tumbuh Sejak Usia Belia

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah wafat ketika Ibnu Abbas berusia sepuluh tahun, sedangkan riwayat lain menyebut lima belas tahun. Apa pun perbedaannya, yang pasti masa kecil Ibnu Abbas terjadi di sisi Rasulullah. Ia menyaksikan akhlak, tutur kata, dan perilaku Nabi dari jarak yang sangat dekat.

Kedekatannya menumbuhkan karakter intelektual yang matang. Ibnu Abbas tidak sekedar mempelajari teori agama, tetapi juga berlatih adab dan empati setiap hari. Ia memahami bahwa kecerdasan sejati bukan sekedar kemampuan berpikir, melainkan kemampuan membaca situasi dan bertindak dengan tepat.

Ibnu Abbas menampilkan kecerdasannya dalam peristiwa lain. Saat ia shalat malam bersama Rasulullah, ia berdiri di belakang beliau. Rasulullah lalu menariknya agar sejajar. Setelah selesai shalat, Ibnu Abbas bertanya, “Apakah pantas aku shalat bersamamu, wahai Rasulullah, padahal engkau orang yang dimuliakan Allah?” Rasulullah tersenyum dan kembali berdoa, “Ya Allah, tambahkanlah pemahaman dan ilmu untuknya.”

Peristiwa itu menunjukkan bahwa Ibnu Abbas kecil memiliki nalar yang tajam, kepekaan adab, dan rasa hormat yang tinggi. Ia sadar bahwa berdiri sejajar dengan Rasulullah tidak pantas baginya. Kesadaran etis seperti itu tumbuh dari hati yang hidup dan budi yang terasah.

Panjang Umur Belum Tentu Bermakna: Hikmah dalam Al-Hikam tentang Kualitas Usia

Dari Teori ke Aksi

Kisah Ibnu Abbas kecil mengajarkan bahwa kecerdasan tidak berhenti pada kemampuan menghafal atau berbicara dengan indah. Kecerdasan sejati lahir dari kepekaan untuk berbuat baik tanpa disuruh, memahami kebutuhan orang lain, dan bertindak dengan tepat. Inilah kecerdasan laku —gabungan antara empati, nalar, dan tindakan nyata.

Banyak orang tahu mana yang baik, tetapi tidak semua mau melakukannya. Ibnu Abbas kecil justru membuktikan pengetahuannya melalui tindakan spontan yang penuh makna. Ia menunjukkan bahwa ilmu harus hidup dalam perbuatan. Dari lahirnya keberkahan ilmu yang menjadikannya kelak menjadi ulama besar.

Doa yang Menjadi Kenyataan

Doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas benar-benar terwujud. Seiring berjalannya waktu, Ibnu Abbas tumbuh menjadi sahabat yang paling memahami Al-Qur’an. Rasulullah bahkan bersabda kepadanya, “Ni’ma turjumanul Qur’an anta” —“Sebaik-baik penafsir Al-Qur’an adalah engkau.”

Ibnu Abbas dikenal karena kedalaman ilmunya tentang tafsir, fiqih, dan sejarah Islam. Para ulama setelahnya menyanjungnya dengan sebutan “bahrul ‘ilm” —samudera ilmu. Semua itu berawal dari satu tindakan kecil yang lahir dari kepekaan dan cinta tulus kepada Rasulullah.

Kisah Ibnu Abbas kecil menegaskan bahwa kepekaan menjadi pintu awal kecerdasan sejati. Dengan hati yang peka, akal yang tajam, dan tindakan yang tepat, seseorang dapat meraih doa, keberkahan, dan ilmu yang hidup dalam dirinya.

Bahagia di Tengah Luka: Rahasia Spiritual Dzikir dari Al-Hikam

Serupa Rasulullah mendoakan Ibnu Abbas agar menjadi ahli agama dan penafsir Al-Qur’an, semoga kita pun meneladani kepekaannya: memahami kebutuhan sekitar, berbuat baik tanpa menunggu perintah, dan menanamkan empati sebagai wujud ilmu yang sejati.

 

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement