Khazanah
Beranda » Berita » Imam Al-Ghazali dan Dua Jalan Menuju Kesucian Jiwa

Imam Al-Ghazali dan Dua Jalan Menuju Kesucian Jiwa

Imam Al-Ghazali dan Dua Jalan Menuju Kesucian Jiwa
Ilustrasi (Foto: Net)

SURAU.CO – Tasawuf adalah ajaran tentang bagaimana seseorang menyucikan jiwa, memperbaiki akhlak, serta membangun keseimbangan antara lahir dan batin demi mencapai kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan itu bukan sekadar kenikmatan duniawi, melainkan kebahagiaan abadi di kelak akhirat. Dalam pandangan para ulama, tasawuf bukan hanya teori spiritual, tetapi juga jalan hidup yang menuntun manusia untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Namun, di tengah kehidupan modern saat ini, banyak orang salah memahami hakikat tasawuf. Tidak sedikit yang menganggap tasawuf identik dengan pakaian jubah, surban, atau kemampuan melakukan hal-hal di luar kebiasaan manusia. Mereka mengira, semakin seseorang terlihat “sufi” secara penampilan, maka semakin tinggi pula derajat kesufiannya. Padahal, Imam Al-Ghazali—seorang ulama besar bergelar Hujjatul Islam —telah memberikan penjelasan yang sangat mendalam tentang siapa sebenarnya sufi sejati.

Hakikat Sufi dalam Pandangan Imam Al-Ghazali

Dalam karyanya Ayyuhal Walad juz 1 halaman 15, Imam Al-Ghazali menulis:

“Kemudian ketahuilah bahwa tasawuf mempunyai dua pilar: istiqamah bersama Allah dan menyelaraskan dengan makhluk-Nya. Maka barang siapa yang istiqamah bersama Allah Ta’ala, memperbaiki akhlak bersama manusia, dan berinteraksi dengan mereka dengan santun, maka dia adalah seorang sufi.”

Pernyataan ini begitu sederhana, tetapi sangat dalam maknanya. Menurut Imam Al-Ghazali, inti dari tasawuf sejati hanya memiliki dua ciri utama: istiqamah bersama Allah dan memperbaiki akhlak bersama manusia . Dua hal ini menjadi ukuran sejati seseorang dalam menapaki jalan spiritual. Dengan memahami dua karakter tersebut, kita tidak mudah tertipu oleh tampilan luar atau ucapan-ucapan manis yang mengaku sebagai jalan sufi.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

1. Istiqamah Bersama Allah

Istiqamah berarti teguh, konsisten, dan berpegang teguh pada jalan kebenaran. Dalam konteks tasawuf, istiqamah merupakan kunci utama untuk mencapai wushul —kedekatan dengan Allah. Seseorang tidak bisa mencapai derajat spiritual tinggi hanya dengan semangat sesaat atau ibadah musiman. Ia harus melatih diri untuk terus beribadah, berzikir, dan menjaga ketaatan kepada Allah dalam kondisi segala.

Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa jalan menuju Allah bukanlah jalan yang ditempuh dalam waktu singkat. Ia memerlukan kesabaran dan kesinambungan amal. Shalat, puasa, zikir, membaca Al-Qur’an, dan menahan diri dari maksiat adalah bagian dari latihan ruhani. Seseorang yang istiqamah dalam beribadah akan mendapat tempat istimewa di sisi Allah.

Rasulullah SAW juga pernah bersabda, “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan secara terus-menerus, meskipun sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menjaga pentingnya kontinuitas dalam ibadah. Seorang sufi sejati tidak diukur dari banyaknya amal yang dilakukan sekaligus, tetapi dari kemantapan hati dalam mempertahankan hubungan dengan Allah setiap saat.

Istiqamah juga mencakup keteguhan dalam menjaga niat. Banyak orang yang beramal dengan semangat di awal, namun berhenti di tengah jalan karena dorongan dunia atau rasa malas. Sufi sejati tidak demikian. Ia beribadah bukan untuk pujian, bukan pula untuk memperoleh keistimewaan duniawi, melainkan semata-mata karena cinta dan ketaatan kepada Allah.

2. Memperbaiki Akhlak Bersama Manusia

Selain istiqamah kepada Allah, karakter kedua sufi sejati menurut Imam Al-Ghazali adalah memiliki akhlak yang baik terhadap sesama manusia. Ia tidak hanya fokus pada hubungan vertikal (dengan Allah), tetapi juga memperhatikan hubungan horizontal (dengan manusia).

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Sufi sejati memiliki tutur kata yang lembut, sikap yang rendah hati, dan hati yang penuh kasih. Ia tidak sombong, tidak memberi komentar pada orang lain, serta tidak merasa lebih suci dari mereka. Ia justru berusaha menjadi manfaat bagi sesama. Dalam kesehariannya, ia menebar senyum, menolong yang membutuhkan, dan menahan amarah ketika disakiti.

Bagi Imam Al-Ghazali, akhlak yang mulia adalah buah dari hati yang bersih. Jika seseorang benar-benar mengenal Allah, maka ia akan memandang sesama manusia dengan kasih sayang, karena mereka semua adalah ciptaan-Nya. Tidak mungkin seseorang mengaku dekat dengan Allah, namun tetap menyakiti sesamanya.

Sikap seperti ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi). Dengan kata lain, kemuliaan seseorang di sisi Allah tidak ditentukan oleh pakaian, status, atau pengetahuan semata, tetapi oleh perilaku dan adabnya terhadap makhluk Allah.

Tasawuf Bukan Penampilan Luar

Imam Al-Ghazali mengingatkan agar umat Islam tidak tertipu oleh tampilan luar. Banyak orang yang memakai jubah, surban, atau berbicara dengan bahasa sufistik, namun perilakunya jauh dari nilai-nilai tasawuf. Penampilannya bisa saja menipu, tetapi hati dan amal tidak akan pernah berbohong.

Seseorang mungkin terlihat sederhana tanpa atribut keagamaan yang menonjol, tetapi hatinya selalu terhubung dengan Allah dan tindakannya mencerminkan kasih sayang. Justru mereka inilah yang lebih dekat dengan makna tasawuf sejati. Sebaliknya, orang yang gemar menonjolkan kesalehan lahiriah tanpa memperbaiki batin hanya akan terjerumus dalam jebakan riya’ dan kesombongan spiritual.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Penutup

Dua karakter sufi sejati menurut Imam Al-Ghazali— istiqamah bersama Allah dan memperbaiki akhlak bersama manusia —menjadi pedoman bagi siapa pun yang ingin menempuh jalan kesucian hati. Keduanya saling melengkapi: hubungan yang baik dengan Allah melahirkan kebaikan dalam berhubungan dengan sesama, dan sebaliknya, kebaikan terhadap sesama menjadi cerminan kedekatan seseorang dengan Tuhannya.

Sufi sejati tidak diukur dari kefasihan berbicara tentang hakikat, bukan pula dari penampilan yang mencolok. Ukuran seorang sufi sejati adalah konsistensinya dalam beribadah serta keindahan akhlaknya dalam bermasyarakat. Itulah ajaran yang diwariskan Imam Al-Ghazali—sebuah pelajaran berharga agar manusia tidak tertipu secara bentuk, tetapi memahami substansi dari jalan tasawuf yang sesungguhnya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement