SURAU.CO – Padang Tih adalah sebuah lembah di Semenanjung Sinai yang sarat dengan kisah penuh hikmah. Tempat ini dikenal dalam sejarah sebagai lokasi pengembaraan Bani Israil selama empat puluh tahun. Nama “Tih” sendiri berasal dari bahasa Arab at-tīh , yang berarti pengembaraan atau tersesat. Didalam umat Nabi Musa AS harus menjalani masa panjang penuh ujian akibat ketidaktaatan mereka terhadap perintah Allah. Kisah ini menjadi pelajaran penting tentang ketaatan, kesabaran, dan akibat dari keraguan terhadap janji Tuhan.
Setelah Allah memerdekakan Bani Israil dari menyisakan Firaun di Mesir, Nabi Musa AS memimpin mereka menuju Tanah Suci yang menjanjikan, yaitu Baitul Maqdis (Palestina). Dalam perjalanan itu, Allah telah memberikan banyak mukjizat kepada mereka — laut terbelah, tongkat menjadi ular, dan udara keluar dari batu. Namun, meskipun menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah secara langsung, sebagian dari mereka tetap memiliki hati yang keras.
Ketika mereka hampir sampai di perbatasan Tanah Suci, Nabi Musa AS memerintahkan mereka untuk masuk dan bersumpah melawan bangsa yang mendiaminya, yaitu kaum yang kuat dan sombong. Allah telah menjanjikan kemenangan bagi mereka jika mereka beriman dan berserah diri. Tetapi Bani Israel menolak. Mereka berkata dengan sombong, “Wahai Musa! Sesungguhnya di dalamnya ada kaum yang sangat kuat. Kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar, barulah kami akan masuk.” (QS. Al-Ma’idah : 22).
Penolakan dan Ketakutan yang Membawa Petaka
Ucapan itu menunjukkan betapa lemahnya iman mereka. Padahal, dua orang yang saleh dari kalangan mereka, yang disebutkan dalam Al-Qur’an, telah mengajak mereka berani dan percaya pada pertolongan Allah. Mereka menasihati kaumnya, “Masuklah ke pintu gerbang itu; jika kamu memasukinya, niscaya kamu akan menang.” (QS. Al-Ma’idah : 23). Namun, ajakan itu diabaikan.
Bani Israil justru menjawab dengan kata-kata yang sangat tidak sopan kepada Nabi Musa AS: “Wahai Musa! Kami tidak akan memasukinya selamanya selama mereka ada di dalamnya. Maka pergilah engkau bersama Tuhanmu, dan mengisyaratkanlah kamu berdua. Kami akan duduk di sini saja.” (QS. Al-Ma’idah : 24).
Kata-kata ini menyakiti hati Nabi Musa AS. Ia pun memohon kepada Allah agar memutuskan perkara antara dirinya dengan kaumnya yang keras kepala. Lalu turunlah keputusan Allah: Bani Israil tidak akan memasuki Tanah Suci selama empat puluh empat tahun. Mereka akan tersesat dan berputar-putar di padang yang luas bernama Padang Tih.
Tersesat Selama Empat Puluh Tahun
Sejak saat itu, Bani Israil benar-benar tidak bisa keluar dari lembah tersebut. Meskipun mereka berjalan jauh setiap hari, mereka selalu kembali ke tempat semula. Seakan-akan mereka berjalan dalam lingkaran tanpa arah. Padang Tih menjadi tempat ujian sekaligus hukuman yang penuh makna.
Namun, meski mereka dihukum, Allah tetap menunjukkan kasih sayangnya. Dalam masa pengembaraan itu, Allah menurunkan manna dan salwa sebagai makanan bagi mereka. Manna adalah makanan manis seperti madu, sedangkan salwa adalah burung kecil yang mudah ditangkap. Mereka tidak perlu cocok bercocok tanam atau berburu, karena rezeki datang langsung dari langit.
Selain itu, Allah juga menaungi mereka dengan awan agar terhindar dari panas terik padang pasir. Ketika kehausan mereka, Allah memerintahkan Nabi Musa AS memukul batu dengan tongkatnya, dan dari batu itu mengarahkan dua belas mata air — satu untuk setiap suku Bani Israil. Semua kenikmatan itu menunjukkan bahwa meski mereka dihukum, rahmat Allah tetap melingkupi mereka.
Pelajaran dari Ujian di Padang Tih
Empat puluh tahun bukan waktu yang singkat. Generasi yang membangkang akhirnya mati di padang itu. Mereka tidak pernah sampai ke Tanah Suci. Setelah generasi lama berlalu, muncullah generasi baru yang tumbuh dengan iman dan ketaatan. Dari generasi inilah kelak Nabi Yusya’ bin Nun memimpin Bani Israil memasuki Tanah Suci setelah wafatnya Nabi Musa AS.
Kisah ini menjadi pelajaran penting bahwa ketidaktaatan dan rasa takut yang berlebihan terhadap manusia dapat menjauhkan seseorang dari rahmat Allah. Padahal, jika mereka percaya pada janji Allah dan bersatu dalam ketaatan, kemenangan pasti ada di tangan mereka.
Padang Tih menjadi simbol tempat penyucian jiwa bagi Bani Israil. Di sanalah Allah menghapus sifat buruk, keras kepala, dan kemalasan dari diri mereka. Selama empat puluh tahun itu, mereka belajar arti kemandirian, kesabaran, dan keimanan sejati.
Makna yang Relevan Hingga Kini
Kisah Bani Israil di Padang Tih bukan sekedar cerita sejarah. Ia adalah cermin bagi umat manusia di setiap zaman. Banyak orang modern yang juga “tersesat di padang Tih” kehidupan — bukan dalam bentuk fisik, tetapi dalam makna spiritual. Mereka berputar-putar dalam kebingungan, kehilangan arah, dan enggan mengikuti petunjuk Allah karena lebih percaya pada kekuatan manusia daripada janji Tuhan.
Seperti halnya Bani Israel, manusia sering kali menolak perubahan yang membutuhkan keberanian dan pengorbanan. Mereka lebih memilih zona nyaman, meski itu berarti tertinggal dari rahmat Allah. Padahal, setiap perintah Allah selalu mengandung hikmah yang membawa keselamatan.
Kisah pengembaraan Bani Israil di Padang Tih mengajarkan bahwa ketaatan adalah kunci keberhasilan, dan keengganan untuk tunduk pada perintah Allah yang akan membawa kesesatan. Meski mereka diberi kenikmatan luar biasa di tengah padang tandus, semua itu tidak menggantikan rasa nyaman yang hilang akibat kerasnya hati.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
