SURAU.CO – Nabi Yusya’ bin Nun menorehkan sejarah besar dalam perjalanan umat Bani Israil. Ia menjadi murid setia Nabi Musa AS sekaligus penerus perjuangan beliau dalam menegakkan ajaran tauhid dan memerdekakan Baitul Maqdis dari tangan kaum zalim. Walaupun Al-Qur’an tidak menyebutkan namanya secara eksplisit, para ulama tafsir sepakat bahwa dialah pemuda yang disebut fatâ dalam kisah pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir sebagaimana termaktub dalam QS Al-Kahfi ayat 60.
Imam ath-Thabari dalam Tafsir ath-Thabari menegaskan bahwa kata fatâ dalam ayat tersebut merujuk pada Yusya’ bin Nun. Hadits riwayat Imam al-Bukhari juga memperkuat keterangan itu dengan menyebut Yusya’ secara jelas sebagai sahabat Nabi Musa dalam perjalanan spiritual tersebut. Keterangan ini menunjukkan bahwa Yusya’ bin Nun tumbuh sebagai murid yang setia, sabar, dan berilmu, serta siap melanjutkan risalah kenabian setelah Nabi Musa wafat.
Keturunan Mulia dan Awal Kenabian
Imam Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah menjelaskan bahwa Yusya’ bin Nun berasal dari keturunan langsung Nabi Yusuf AS melalui jalur Afrayim. Nasabnya ialah Yusya’ bin Nun bin Afrayim bin Yusuf bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Khalil. Ia lahir dari keluarga para nabi, tumbuh dalam suasana penuh keimanan, dan membentuk kepribadian yang tangguh serta pemerintahan.
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Allah mengangkat Yusya’ menjadi nabi menjelang akhir kehidupan Nabi Musa. Namun Ibnu Katsir menolak anggapan tersebut karena banyak hadits shahih yang menegaskan bahwa Nabi Musa tetap menerima wahyu langsung dari Allah hingga akhir hayat. Ia menilai bahwa riwayat yang menyebut kenabian Yusya’ muncul sebelum wafatnya Musa kemungkinan bersumber dari kisah-kisah Ahli Kitab.
Pemimpin Baru Bani Israil
Setelah Nabi Musa dan Harun wafat di padang Tih, Yusya’ bin Nun memimpin Bani Israil sebagai nabi dan pemimpin baru. Ia menanggung amanah besar untuk membangkitkan kembali semangat umat yang terpuruk secara spiritual dan moral akibat pembangkangan generasi sebelumnya. Bani Israil tersesat di padang Tih selama empat puluh tahun karena mereka menolak perintah Allah untuk memasuki Tanah Suci (QS Al-Maidah: 24–26).
Selama masa pengembaraan itu, Allah memberi mereka makanan manna dan salwa serta menaungi mereka dengan awan sebagai bentuk kasih sayang-Nya. Ketika generasi yang durhaka telah tiada, Yusya’ memimpin generasi baru yang beriman dan siap berjuang untuk menegakkan perintah Allah.
Penaklukan Baitul Maqdis
Nabi Yusya’ memimpin pasukan Bani Israil keluar dari padang Tih dengan penuh keberanian dan keyakinan. Ia membawa mereka menuju kota Ariha (Yerikho), benteng terkuat di wilayah Syam yang dihuni oleh kaum jabbârîn —bangsa besar, kuat, dan bengis yang pernah menakuti Bani Israil. Nabi Yusya’menangkap kota tersebut selama enam bulan hingga akhirnya berhasil mendudukinya.
Setelah menguasai Ariha, Yusya’ memimpin pasukannya menaklukkan banyak kota lain dan mengalahkan tiga puluh satu kerajaan di wilayah Syam. Puncak kejayaannya terjadi ketika ia tiba di Baitul Maqdis pada hari Jumat menjelang Ashar. Saat itu, waktu hampir masuk malam Sabtu—hari suci bagi Bani Israil yang tidak boleh mereka gunakan untuk bernyanyi. Dalam keadaan genting, Yusya’ berdoa, “Engkau diperintahkan, dan aku pun diperintahkan. Ya Allah, tahanlah matahari untukku.”
Allah pun menahan matahari hingga Yusya’ berhasil menaklukkan Baitul Maqdis. Rasulullah SAW bersabda, “Matahari tidak pernah ditahan untuk seorang manusia pun kecuali untuk Yusya’ ketika ia berjalan menuju Baitul Maqdis.” (HR Ahmad). Mukjizat ini menegaskan bahwa Allah selalu menolong hamba-hamba-Nya yang beriman dan teguh di jalan-Nya.
Kemenangan dan Pembaruan Bani Israil
Setelah memasuki Baitul Maqdis, Nabi Yusya’ memerintahkan umatnya agar masuk dengan hati yang rendah sambil mengucapkan “ hitthah ” (ampunilah dosa kami). Namun, sebagian dari mereka mengganti ucapan itu dan berbuat zalim. Allah kemudian menjatuhkan hukuman kepada mereka sebagaimana disebut dalam QS Al-Baqarah: 58–59.
Meski sebagian umatnya berbuat salah, Nabi Yusya’ tetap menegakkan syariat Allah dengan tegas. Ia memimpin rakyatnya secara adil, menegakkan hukum ilahi, dan membangun kembali Baitul Maqdis bersama para pengikutnya yang saleh. Ia juga menyiapkan landasan spiritual dan sosial yang kokoh untuk kejayaan Bani Israil di masa kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman kelak.
Imam Ibnu Katsir mencatat bahwa Nabi Yusya’ memimpin Bani Israil selama puluhan tahun setelah wafatnya Nabi Musa dan Harun. Ia meninggal pada usia seratus dua puluh tujuh tahun, sekitar dua puluh tujuh tahun setelah Nabi Musa wafat.
Pelajaran dari Kisah Nabi Yusya’
Kisah Nabi Yusya’ bin Nun memberikan pelajaran berharga tentang arti keberanian, keimanan, dan kepemimpinan sejati. Ia membuktikan bahwa kemenangan tidak bergantung pada jumlah pasukan atau kekuatan fisik, melainkan pada keteguhan iman dan kepatuhan terhadap perintah Allah.
Yusya’ tidak hanya merebut Baitul Maqdis secara fisik, tetapi juga menghapus rasa takut dan keraguan dari hati umatnya. Ia menunjukkan bahwa setiap generasi akan meraih kesuksesan jika mereka berpegang teguh pada kebenaran dan menjauhi hawa nafsu duniawi.
Mukjizat ketika Allah menahan matahari menjadi simbol bahwa waktu pun tunduk kepada kehendak-Nya bagi hamba yang beriman dan berjuang di jalan-Nya. Dari perjuangan Yusya’ bin Nun, kita belajar bahwa kepemimpinan sejati lahir dari iman, keberanian, dan keikhlasan dalam menunaikan amanah.
Kisah hidupnya mengajarkan bahwa Allah selalu menolong hamba-hamba-Nya yang teguh menegakkan kebenaran. Seperti yang diperlihatkan oleh Nabi Yusya’, ketaatan kepada Allah menjadi kunci utama untuk meraih kemenangan dan kemakmuran di dunia maupun akhirat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
